• Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

    Bergabung dengan 8 pelanggan lain
  • Kategori

  • Tulisan Terakhir

Fiskal

Fiskal adalah keuangan negara yang mencakup dua sisi yaitu penerimaan dan pengeluaran.

Pengalaman Penelitian

 

No. 

Judul 

1.

Djinar Setiawina Nyoman, 1982. Pengaruh Pendapatan dan Jumlah Keluarga Terhadap Konsumsi Sayur-sayuran di Kota Administratif Denpasar. (Sekrepsi, S1).

Biaya: Mandiri.

2.

——————————-, 1984. Pengaruh Motorisasi Terhadap Pendapatan Nelayan di Desa Lebih Kabupaten Gianyar.

Biaya: Mandiri.

3.

——————————-, 1985. Pola Konsumsi Ikan dan Daging Atas Pengaruh Pendapatan dan Jumlah Keluarga di Kota Administratif Denpasar.

Biaya: Mandiri.

4.

——————————-, 1985. Pengaruh Program Bimas Terhadap Pendapatan Usaha Tani Padi di Desa Rejasa Kecamatan Penebel.

Biaya: Mandiri.

5.

——————————-, 1985. Pengaruh Bantuan Sarana Produksi Terhadap Tingkat Pendapatan Masyarakat Desa Kelating Kecamatan Kerambitan Kabupaten Tabanan.

Biaya: Mandiri.

6.

——————————-, 1985. Pengaruh Pendapatan dan Jumlah Keluarga Terhadap Konsumsi Gula Pasir di Desa Celuk Kecamatan Sukawati.

Biaya: Mandiri.

7.

——————————-, 1986. Studi Perbandingan Tingkat Pendapatan Petani Cengkeh Rakyat di Atas Tanah Sawah Dengan di Atas Tanah Tegalan Di Desa Sudaji.

Biaya: Mandiri.

8.

——————————-, 1986. Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Beras (Suatu Studi Kasus Di Desa Sidakarya) Kecamatan Denpasar Selatan.

Biaya: Mandiri.

9.

——————————-, 1986. Pengaruh Penggunaan Traktor Tangan Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Pendapatan Petani Padi Di Desa Biaung.

Biaya: Mandiri.

10.

——————————-, 1986. Pengaruh Biaya Pupuk Terhadap Hasil Penjua;an Cengkeh Di Desa Mundeh Kecamatan Selemadeg Kabupaten Tabanan.

Biaya: Mandiri.

11.

——————————-, 1988. Dampak Irigasi Mertegangga Terhadap Hasil Pertanian Padi Di Kabupaten Badung.

Biaya: Mandiri.

12.

——————————-, 1992. Pengaruh Tenaga Kerja dan Kredit Candak Kulak Terhadap Pendapatan Pengerajin Genteng Di Desa Pejaten Kecamatan Kediri, Kabupaten Daerah Tingkat II Tabanan.

Biaya: Mandiri.

13.

——————————-, 1986. Analisis Pendapatan dan Jam Kerja Peternak Babi Bali dan Babi Sudle Back Di Kecamatan Tabanan.

Biaya: Mandiri.

14.

——————————-, 1986. Analisis Produksi Industri Kerajinan Sanggah Kayu Ukiran Di Kecamatan Mengwi Kabupaten Daerah Tingkat II Badung.

Biaya: Mandiri.

15.

——————————-, 1986. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Pemilik Art Shop Di Obyek Wisata Tirta Empul, Gunung Kawi, dan Goa Gajah Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar.

Biaya: Mandiri.

16.

——————————-, 1986. Analisis Pedagang Sektor Informal Di Kecamatan Kediri Daerah Tingkat II Kabupaten Tabanan.

Biaya: Mandiri.

17.

——————————-, 1986. Pengaruh Modal dan Jam Kerja Terhadap Pendapatan Pedagang Kaki Lima Di Kecamatan Denpasar Barat Kota Madya Denpasar.

Biaya: Mandiri.

18.

——————————-, 1990. Analisis Curahan Jam Kerja dan Produktivitas Tenaga Kerja Rumah Tangga Petani Rumput Laut Di Nusa Penida. (Thesis S2).

Biaya: TMPD (Dikti).

19.

——————————-, 1993. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Rumah Tangga Pengerajin Industri Gedeg Di Desa Kukuh Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan Bali.

Biaya: Proyek Peningkatan Penelitian dan Pengabdian pada

Masyarakat (P 4 M).

20.

——————————-, 2001. Pengaruh Sektor Moneter dan Fiskal Terhadap Perekonomian Indonesia Selama Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (1969–1993). (Desertasi S3.).

Biaya: TMPD (Dikti).

Penulisan Buku dan Terjemahan

 

No 

Judul 

 

Djinar Setiawina Nyoman, 1989. Ilmu Ekonomi Tentang Pekerjaan dan Pembayaran. Ouwn Collction: T-No.01.

 

 

——————————-, 1991. Investasi Manusia: Suatu Ilmu Ekonomi Tentang Kualitas Penduduk. Ouwn Collction: T-No.02.

 

 

——————————-, 1996. Ekonomi Tenaga Kerja dan Hubungan Tenaga Kerja. Ouwn Collction: T-No.03.

 

 

——————————-, 1998. Perkiraan Sumbangan Ekonomi Wanita untuk Pembangunan. Ouwn Collction: T-No.04.

 

 

——————————-, 1995. Teori Pasar dan Sistem Harga. Ouwn Collction: T-No.05.

 

 

——————————-, 1995. Ekonomi Moneter. Ouwn Collction: T-No.06.

 

 

——————————-, 1995. Masalah Uang. Ouwn Collction: T-No.07.

 

 

——————————-, 1995. Filsafat dan Ilmu Ekonomi. Ouwn Collction: T-No.08.

 

 

——————————-, 1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Ouwn Collction: T-N0. 09.

 

 

10 

——————————-, 1995. Harapan Rasiopnal Dalam Ekonomi Makro. Ouwn Collction: T-No.10.

 

 

11 

——————————-, 1995. Sejarah Teori Ekonomi.

Ouwn Collction: T-No.11.

 

 

12 

——————————-, 1996. Monetarist and Keynesian. Ouwn Collction: T-No.18.

 

19 

——————————-, 2002. Ekonomi Moneter. Penerbit: Percetakan Universitas Udayana, Denpasar.

Biodata

 

No. 

Keterangan 

1 

Identitas Pribadi

 

Nama 

Dr. Nyoman Djinar Setiawina, SE., MS. 

 

Jenis Kelamin 

Laki-laki 

 

Tgl Lahir 

30 Juli 1953 

 

Tempat Lahir 

Nusa Penida, Kab. Klungkung. 

2 

Pendidikan 

 

Ijasah (Tahun) 

Tempat Pendidikan 

 

SD (1968) 

SD No.1, Tanah Bias, Nusa Penida.

 

SMP (1972) 

SMPN Klungkung berafiliasi SMP Widyasa di Nusa Penida 

 

SMEAN (1975) 

SMEAN Klungkung di Klungkung. 

 

FE UNUD

(1979) 

Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, di Denpasar, jurusan: Umum bergelar B.Sc.

 

FE UNUD (1982) 

Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, di Denpasar, jurusan: Umum bergelar Drs atau SE.

 

Pascasarjana UGM

(1990) 

Program S2, Bidang Studi Kependudukan pada Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta. Konsentrasi Tenaga kerja, bergelar: MS.

 

Pascasarjasna UNAIR

Ilmu Ekonomi (2001) 

Program S3, Bidang Studi Ilmu Ekonomi pada Universitas Airlangga (UNAIR), di Surabaya. Konsentrasi Fiskal dan Moneter, bergelar: Dr.

3 

Tempat Bertugas dan Masa Kerja 

 

Tugas 

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Udayana. 

 

Masa Kerja 

21 Tahun (1983 s/d sekarang / 2004)

 

Pangkat/Gol 

Penata Muda Tk. I / IV/ b. 

 

Jabatan 

Lektor Kepala 

 

N.I.P. 

131.287. 829. 

 

            Denpasar 8 Maret 2004

Pembuat Bio data ini,

 

 

Dr. Nyoman Djinar Setiawina, SE.,MS.

 


 

Daftar Pustaka

 

A. James Meigs, 1972.
Money Matters. Harper and Row, Macmillan, London, New York.

Boediono, 1985. Ekonomi Moneter. Seri Sinopsis, Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5, Penerbit: BPFE, Yogyakarta.

Millan Friedman,1969. Peranan Kebijaksanaan Moneter. American Economic Review, Maret 1968. Reprinted in Chicago.

Milton Friedman, 1969. Letter on Monetary Polecy, Review, Federal Reserve Bank of Saint Louis. Macmillan, London, New York.

Milton Friedman, 1974. The Optimum Quantity of Money. Macmillan, London, New York.

Milton Friedman, 1991. Monetarist Economics. Published: Basil Blackwell ltd, Cambrige, Massachusetts, USA.

Nopirin, 1965. Ekonomi Moneter. Buku I, Edisi ke-3. Penerbit: BPFE, Yogyakarta.

Oppusunggu, 1998. Sumber Krisis Moneter Indonesia. Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Ruppert J. Ederer, 1964. The Evolution of Money. Publick Affairs Press, Washington DC.

Stanly Jevons, 1984. An Expansion of The Currency Occurs One or Two Years Prior to a Rise of Price. Macmillan, London, New York.

Wincott, 1970. IEA Occasional Paper, No. 33. Published Originally, Senate House University of London, 16 September 1970.

BAB 7

Koreksi Moneter

 

 

Tidak ada masalah teknis mengenai bagaimana cara menghentikan inflasi. Rintangan utamanya adalah politis, bukan teknis. Inflasi yang berhenti akan merampas penghasilan pemerintah yang didapat tanpa legislasi. Pemindahan penghasilan ini akan memaksa pemerintah untuk mengurangi anggaran belanja; meningkatkan pajakpajak eksplisit, atau meminjam sejumlah dana dari publik, yang semuanya tidak menarik secara politis, sehingga tidak ditemukan jalan dalam menghindari rintangan ini. Itulah materi-materi yang tertuang dalam Bab 7 buku ini.

 

7.1. Rintangan Politis untuk Inflasi Berhenti

    Inflasi yang berhenti juga memiliki efek samping yaitu menghasilkan suatu periode resesi ekonomi sementara atau penurunan kecepatan (slow down), meskipun mungkin diukur dengan baik, dan tingkat pengangguran yang relatif tinggi. Kehendak politiknya saat ini adalah kurangnya penerimaan terhadap efekefek samping tersebut. Pengalaman mengatakan bahwa keadaan tersebut bukannya menghasilkan suatu reaksi berlebihan yang melibatkan pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan moneter yang berakselerasi, namun pada gilirannya akan menghasilkan efek samping yakni suatu boom yang tidak dapat dipertahankan yang diikuti oleh inflasi berakselerasi. Efekefek samping dari perubahan angka inflasi meningkat karena pemakaian waktu yang dibutuhkan untuk komunitas mengatur dirinya sendiri dalam angka-angka pertumbuhan pengeluaran yang berubah. Penundaan waktu mengganggu harga relatif, struktur produksi dan tingkat pekerjaan. Hasilnya, butuh waktu untuk mengkoreksi distorsidistorsi ini.

    Efekefek samping perubahan angka inflasi secara substansial bisa dikurangi dengan menyokong penggunaan klausaklausa eskalator harga secara meluas pada kontrakkontrak swasta dan pemerintah. Pengaturanpengaturan seperti itu melibatkan penghindaran pengambilan keuntungan dari penggunaan uang dan dari sini menjadi tidak baik bagi pengaturanpengaturan itu sendiri. Bisa dikatakan mereka adalah pekerjaan setan daripada manajemen uang buruk. Penggunaan klausaklausa eskalator yang meluas tidak meningkatkan atau mengurangi angka inflasi . Tetapi ia akan mengurangi penghasilan yang diperoleh pemerintah dari inflasi yang juga berarti bahwa pemerintah akan mendapatkan insentif lebih sedikit untuk menginflasi. Yang lebih penting, hal itu akan mengurangi efek samping awal yang buruk pada output dan penggunaan ukuran yang efektif dalam menghentikan inflasi.

 

7.2. Penguatan Legal

    Penggunaan klausaklausa eskalator dalam kontrakkontrak pemerintah seperti: perpajakan, peminjaman, penyewaan, pembayaran , seharusnya diminta secara hukum. Penggunaannya dalam kontrak swasta seharusnya diijinkan dan diperkuat dengan hukum, tetapi seharusnya dengan sukarela. Keduanya berhubungan karena adopsi pemerintah terhadap klausaklausa eskalator, khususnya dalam perpajakan, akan menghilangkan halanganhalangan serius untuk adopsi swasta.

    Keberatan terhadap eskalasi yang meluas sebagian besar merefleksikan konsepsi yang salah mengenai efekefeknya. Konsepsikonsepsi salah ini merefleksikan kebingungan yang sama mengenai harga relatif dan harga absolut yang bertanggung jawab atas efekefek buruk inflasi atau deflasi berakselerasi dan atas konsepsi salah mengenai penyebab dan pemulihan inflasi.

 

7.3. Penyebab dan Pemulihan Inflasi Secara Teknis

    Perubahan jalan pendek, baik dalam harga khusus maupun dalam tingkat harga umum, bisa memiliki banyak sumber. Tetapi inflasi berkelanjutan panjang selalu merupakan fenomena moneter yang terjadi di mana saja yang berkembang dari ekspansi yang lebih cepat dalam kuantitas uang daripada dalam output total. Milton Friedman (1991: 22) mengatakan bahwa meskipun saya cepatcepat menambahkan bahwa angka inflasi yang pasti tidak tepat secara mekanis berkaitan dengan angka pertumbuhan moneter yang pasti. Ini adalah suatu penyerderhanaan, sebab pernyataan kecaman dapat bertahan harus membiarkan perubahan outonomous dalam kecepatan, dan sebagainya. Dalam keseimbangan nyata, dan diharuskan untuk memisahkan definisi yang tepat dari “uang’. Tetapi nampak jelas bahwa tidak ada kasus tergolong penting.

Gambar: 7.1 menunjukkan harga konsumen di Inggris dan rasio kuantitas uang untuk output selama dekadedekade terakhir.) Statemen ini hanyalah langkah pertama menuju pemahaman penyebabpenyebab inflasi tertentu. Itu harus dilengkapi dengan penjelasan alasan pertumbuhan moneter yang cepat.

 

Pertumbuhan moneter cepat yang menyebabkan inflasi di Amerika Serikat dari tahun 1848 hingga 1860 merefleksikan penemuan emas di California. Pertumbuhan moneter cepat yang menciptakan inflasi dunia dari tahun 1890 hingga 1914 merefleksikan penyempurnaan proses sianida (proses memurnikan emas dari bijihnya). Pertumbuhan moneter cepat yang memiliki waktu dan menghasilkan inflasi karena perang merefleksikan penggunaan mesin cetak yang juga untuk pembiayaan belanja pemerintah masa perang.

 

7.4.
Sebabsebab Pertumbuhan Suplai Uang di Seluruh Dunia

    Di bawah kondisikondisi modern kuantitas uang ditentukan oleh otoritas moneter pemerintah. Peningkatan berakselerasi pada kuantitas uang seluruh dunia di masa lampau, bertanggung jawab pada akselerasi inflasi masa sekarang, merefleksikan sejumlah sebab seperti berikut ini.

1). Usaha untuk menjaga nilainilai perubahan yang bagus, yang mempengaruhi beberapa negara, contoh yang paling jelas adalah Jerman dan Jepang, untuk ‘mengimpor’ inflasi dari Amerika Serikat.

2). Ekspansi peranan pemerintah, dan keterpaksaan mengadakan pajak eksplisit, mempengaruhi pemerintahan untuk menggunakan pajak inflasi implisit.

3). Komitmen pemerintah untuk suatu kebijaksanaan pengerjaan penuh, yang menyebabkan pemerintah tersebut bereaksi terlalu berlebihan terhadap resesi sementara dengan ukuran yang membawa pertumbuhan moneter yang cepat.

    Inflasi panjang berkelanjutan hanya bisa dihentikan dengan pengurangan angka pertumbuhan moneter. Tetapi sekali lagi, pernyataan ini hanyalah suatu langkah awal. Ukuran yang bisa dipakai untuk mengurangi angka pertumbuhan moneter bisa bervariasi tergantung pada sumbersumber pertumbuhan di luar batas dan lembagalembaga yang ada di negara bersangkutan. Sebagai contoh, bila pertumbuhan moneter merefleksikan pembiayaan belanja pemerintah dengan penggunaan mesin cetak, hal itu bisa diakhiri dengan: (a) pengurangan belanja pemerintah, (b) menaikkan pajak, (c) membiayai defisit anggaran pemerintah dengan meminjam dana dari publik daripada mencetak uang. Tetapi metode (c) tak bisa dilakukan di negara yang tidak punya jaminan pasar yang baik. Semua inflasi yang berlebihan merefleksikan suatu pemerintahan yang loyo, tidak terorganisir dan tak sanggup melakukan metode (b).     

7.5. Kepentingan dan Batasan Kebijaksanaan Fiskal

    Pada saat komentarkomentar ini ada, kebijaksanaan fiskal bisa memainkan suatu peranan penting dalam menciptakan dan memulihkan inflasi. Pengaruhnya sebagian besar pada efeknya terhadap kuantitas uang. Tetapi pengaruhnya bisa diganti dengan kekuatankekuatan lain yang mempengaruhi kuantitas uang. Surplus pemerintah yang besar di Amerika Serikat pada tahun 1919 dan 1920 tidak mencegah inflasi cepat karena surplus tersebut diiringi dengan pertumbuhan moneter yang cepat yang membiayai pembelanjaan swasta. Defisit pemerintah yang besar di Amerika Serikat pada tahun 1931 hingga 1933 tidak menyebabkan inflasi cepat mencegah deflasi karena diiringi pembelokan tajam kuantitas uang yang secara tajam mengurangi pembelanjaan swasta.

Apa yang menjadi masalah bagi inflasi, bukanlah hanya angka pertumbuhan moneter, tetapi angka pertumbuhan relatif ke angka pertumbuhan output, dan, dalam suatu penampilan yang lebih baik, relatif ke angka pertumbuhan permintaan bagi keseimbangan uang nyata/real pada suatu tingkat konstan (atau angka perubahan) harga. Hubungan ini telah membawa komentator ke penekanan peranan ‘produktifitas’, menyatakan bahwa inflasi merefleksikan suatu pembelokan dalam produktifitas (atau angka pertumbuhannya) dan bahwa pemulihan menuntut suatu peningkatan dalam produktifitas (atau angka pertumbuhannya). Meskipun peranan pertumbuhan output secara prinsip adalah amat simetris dengan peranan pertumbuhan moneter, hubunganhubungan kuantitatif kepentingannya seluruhnya berbeda. Untuk beberapa negara, untuk suatu periode yang lebih lama dari beberapa tahun, angka pertumbuhan simetris sepertinya tidak lebih daripada beberapa point prosentase hal ini akan meminta perubahan struktural utama, sebagai contoh, untuk meningkatkan angka pertumbuhan output di Amerika Serikat dengan dua point prosentase, dari 3 4 persen per tahun hingga 5 6 persen. Urusan keuangan pemerintahan konservative 1970-74, diharap mengangkat periode tahunan 1972-73 menjadi enam setengah persen (jika keinginan dari pegawai pemerintah terwujud), maka kemudian akan jatuh menjadi empat persen di tahun 1973. Pada sisi lain, angka pertumbuhan moneter bisa memperbanyak daerah jangkauan yang lebih luas itu bisa dengan mudah mencapai 3 atau 4 persen per tahun hingga 20 persen per tahun. Sebagai masalah pengalaman, inflasi panjang berkelanjutan didominasi oleh perubahan moneter daripada perubahan output.

    Pentingnya pernyataan sederhana dalam bagian ini adalah bahwa tidak ada ukuranukuran yang sama untuk menciptakan inflasi panjang berkelanjutan atau untuk memulihkan inflasi panjang berkelanjutan, kecuali mereka mempengaruhi angka pertumbuhan moneter.

 

7.6. Penghasilan Pemerintah dari Inflasi

    Sejak waktu menjadi kuno, sumber utama inflasi menjadi usaha penguasa untuk memperoleh sumber pembiayaan perang, mendirikan monumen, atau untuk tujuan lain. Inflasi menjadi suatu hal yang sangat menarik untuk penguasa karena terdapat pajak tersembunyi yang pada awalnya seperti tidak mempunyai rasa sakit atau bahkan kelihatan menyenangkan, dan di atas semuanya, karena terdapat pajak yang bisa dikenakan tanpa legislasi khusus. Ini benarbenar perpajakan tanpa penampakan.

 

7.7. Tiga Cara Pemerintah Memperoleh Keuntungan dari Inflasi

 

Ada tiga cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan dari inflasi. Ketiga cara tersebut adalah seperti berikut .

Cara Pertama adalah, uang resmi tambahan yang diciptakan pemerintah. Sejak masa lampau, penguasa telah memalsukan koin dengan mengganti perak atau emas dengan logamlogam lain. Salah satu sejarah uang menggambarkan dasar Roman denarius dari bentuk coin perak, bersama dengan waktu Kaisar Diocletian (300 AD), mengubahnya menjadi ‘dengan praktek coin tembaga menjadi peralatan cuci dengan “perak”. (Ruppert J. Ederer, 1964: 88.). Kita pergi lebih jauh daripada Diocletian. Kita mencuci coin tembaga kita dengan nikel sekarang, bahkan tidak tersisa jejak peraknya.

Akhirnya mata uang kertas diadakan untuk menemani koin. Akhirakhir ini, bukubuku entry / pemasukan pada bank sentral (sering disalahartikan sebagai deposito) banyak pula. Pemerintah memakai uang resmi tambahan yang mereka issukan untuk membiayai belanja atau membayar hutang. Sebagai tambahan, uang resmi tambahan tersebut bertindak sebagai dasar pada saat suatu sistem perbankan bertindak untuk menciptakan uang tambahan dalam bentuk deposito (tabungan).

Pada kalender tahun 1973, pemerintah Amerika Serikat merealisasikan $8.000 juta (3.300 juta poundsterling) dari sumber ini $6.000 juta (2.500 poundsterling) uang kertas dan koin tambahan dalam sirkulasi pada 31 Desember 1973 daripada pada 31 Desember 1972, dan lebih dari $2.000 juta (830 juta poundsterling) dalam deposito tambahan pada Federal Reserve Bank. Deposit pengeluaran uang. Dengan nominal, The Federal Reverse Banks adalah milik anggota bank mereka.Ini adalah formalitas murni. Di dalam prakteknya sistem The Federal Reverse adalah bagian dari pemerintah. Suatu pendapatan “income” dalam bentuk “bunga” yang dibayarkan lewat departemen keuangan Amerika serikat kepada keamanan pemerintah.; sisa kelebihan “bunga” dioperasikan depatemen keuangan dengan mahal. Pengertian ekonomi adalah promosi dan bantahan untuk menghidari konsolidasi perhitungan dari The Federal Reverse System dengan departerment keuangan.

Cara kedua adalah inflasi meningkatkan perolehan pajak income perseorangan dan pajak income bersamasama dengan menekan individu dan kelompok ke dalam grup income yang lebih tinggi, membangkitkan kapital (kertas) artifisial pada keadaan di mana pajak harus dibayar dan mengembalikan uang bantuan yang jumlah pembayarannya diijinkan untuk diturunkan mengganti kapital, jadi pemajakan pengembalian kapital untuk pemegang andil seolaholah merupakan suatu pengembalian kapital. Untuk pajak bersamasama sendiri, pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1973 merealisasikan hampir $13.000 juta (5.420 juta poundsterling) dari sumber ini. Inflasi yang terjadi sesuai pernyataan 1973 keuntungan gabungan lebih dari $26,000 juta (10,800 juta poundsterling) melalui keuntungan palsu pada stock dan di bawah depresi, mengikuti Departement of Commerse Estimates Summarised by George Terborgh, Inflation dan profit, Machinary and Allied Product Institute (revised, 2 april 1974). Pada 48 persen rata-rata pajak gabungan, tambahan pajak yang dibayarkan kira-kira $260,000 juta (5,300 juta poundsterling). Dalam tambahan, pendapatan modal gabungan, melewati ketentuan pemerintah.

Cara ketiga adalah, Pengurangan jumlah sebenarnya dari hutang nasional. Banyak dari hutang ini disesuaikan pada hasil yang tidak diijinkan bagi angka inflasi uang. Pada taksiran konservatif, pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1973 merealisasikan hampir $5.000 juta (2.000 juta poundsterling) dari sumber ini. Total bunga yang dibayarkan sekitar $260,000 juta atau 108,000 juta foundstarling pegangan hutang jangka panjang Federal melalui masyarakat pada rata-rata sekitar 5,7%. Tahun 1973 tarif pasar akan lebih tinggi 2% yang mana berarti bahwa nilai untuk pemerintah pada basis ini sekitar $ 5,000 juta (2,000 juta foundstarling}. Bagaimanapun tinjauan kembali tampaknya jelas bahwa pada tahun 1973 tarif pasar tidak mengikuti laju inflasi. Semuanya berkata, penghasilan pemerintah Amerika Serikat dari inflasi ditotal lebih dari $25.000 juta (10.000 juta poundsterling) pada tahun 1973. Inflasi yang berhenti akan menghentikan sumber penghasilan ini. Pemerintah akan harus mengurangi belanja, menaikkan pajak eksplisit, atau meminjam dana tambahan dari publik pada tingkat suku bunga berapapun yang akan membersihkan pasar. Tidak satu pun dari hubungan hubungan ini menarik secara politis.

 

 

  1. EfekEfek Samping pada Output dan Pengerjaan

    Usus buntu yang akut diiringi dengan demam yang tinggi; pembuangan usus buntu akan menuntut pasien tinggal di tempat tidur untuk beberapa hari. Tetapi demam bukanlah penyebab usus buntu dan istirahat di tempat tidur bukanlah penyembuhannya. Keduanya adalah merupakan efek samping.

    Analoginya dengan inflasi sangatlah tepat. Boom yang secara tipikal mengiringi serangan inflasi berakselerasi bukanlah penyebab inflasi, tetapi merupakan efek samping; resesi dan pengangguran yang secara tipikal mengiringi pengurangan inflasi bukanlah penyembuhan, melainkan suatu efek samping. Terdapat banyak cara untuk meningkatkan pengangguran yang akan memperparah inflasi daripada menyembuhkannya.

 

7.8.1. Hambatan Waktu Membawa ke Efek Samping

    Inflasi yang lebih tinggi merefleksikan suatu akselerasi angka pertumbuhan pembelanjaan uang total. Inflasi berhenti menuntut akselerasi angka pertumbuhan belanja total. Alasan bagi efekefek samping dari perubahanperubahan tersebut dalam pembelanjaan total baik boom yang secara umum dipandang sebagai efek samping yang diharapkan dan juga resesi yang secara seragam dipandang sebagai efek samping yang tidak diinginkan adalah penundaan waktu antara peningkatan atau pengurangan angka pertumbuhan pembelanjaan uang total dan aturan penuh output dan harga untuk perubahan angka pertumbuhan pembelanjaan total.

    Secara esensial efekefek samping yang sama akan meningkat, apa pun penyebab perubahan angka pertumbuhan pembelanjaan total seperti demam tinggi yang mengiringi banyak penyakit dan istirahat di tempat tidur sebagai penyembuhannya. Pada saat kekuatan non moneter menghasilkan fluktuasi singkat pada angka pertumbuhan pembelanjaan total, efekefek samping yang sama terjadi. Juga, bila terdapat beberapa penyebab lain selain pertumbuhan moneter yang luar biasa bagi inflasi panjang berkelanjutan, atau beberapa pemulihan lain selain pengurangan pertumbuhan moneter. Sebab pemulihan tersebut akan beroperasi dengan mempengaruhi angka pertumbuhan pembelanjaan uang total, dan dari sini akan menghasilkan banyak efek samping yang sama. Secara mirip, ukuran yang diusulkan belakangan bagi pengurangan efekefek samping yang tidak diharapkan bagi inflasi berhenti akan menjadi efektif apapun sebab dan pemulihannya.

    Dari sini, akhir dari essay ini adalah relevan bahkan bila anda tidak menerima pandangan moneteris, maka seperti yang diekspresikan pada bab 2.

 

7.8.2. Harapan Perubahan Perlahan

    Pada waktu pembelanjaan total perlahan turun, setiap produsen secara terpisah cenderung memandang pengurangan permintaan produknya sebagai hal yang khusus baginya, dan berharap itu hanya sementara. Dia cenderung untuk beradaptasi dengan cara pengurangan output atau menimbun stok, tidak dengan melindungi harga. Mirip dengan keadaan ini, beberapa pekerjanya yang mogok sepertinya bereaksi dengan menunggu untuk dipanggil kembali atau dengan mencari pekerjaan lain, tidak dengan menuntut kenaikan upah. Penurunan kecepatan dalam pembelanjaan total akan cenderung direfleksikan sebagai awal penurunan kecepatan meluas pada output dan pengerjaan dan suatu peningkatan stok. Hal itu membutuhkan waktu sebelum harapan mengenai inflasi direvisi dan harapan yang direvisi mendukung peringkasan pengerjaan dan output.

    Ini adalah suatu gambaran yang disederhanakan. Aktivitas yang berbeda memiliki kecepatan waktu pengaturan yang berbeda. Beberapa jadwal harga, upah, dan produksi dibuat secara bagus dalam waktu yang lama; yang lain bisa diatur dengan cepat. Sebagai hasilnya, penurunan kecepatan pada pembelanjaan total menghasilkan pergantian-pergantian substansial pada hargaharga relatif, yang cepat atau lambat harus dikoreksi; dan koreksinya akan menyebabkan gangguan ekonomi.

    Untuk Amerika Serikat, dalam kajian sejarah moneter diindikasikan oleh Milton Friedman (1974: 28), bahwa penundaan waktu antara perubahan angka pertumbuhan moneter dan perubahan yang berhubungan dalam angka pertumbuhan pembelanjaan total dan output total memiliki ratarata 6 9 bulan; antara perubahan angka pertumbuhan pembelanjaan dan angka pertumbuhan harga 12 18 bulan. Sesuai dengan hal tersebut, Stanly Jevons (1984: 107) memprediksi bahwa penundaan total antara perubahan pertumbuhan moneter dan angka inflasi kurang lebih 2 tahun. Untuk Inggris, bukti yang ada mengindikasikan bahwa penundaan waktu secara kasar sama seperti di Amerika Serikat.

7.8.3. Efekefek Serius pada Peminjaman

    Penundaan waktu dan distorsi resultan secara khusus jelas bagi peminjaman, pada saat perbedaan antara nominal dan real/nyata adalah penting. Misalkan anda memberi pinjaman pada seseorang sebesar 100 foundsterling dengan janji akan dikembalikan sebesar 110 foundsterling setahun kemudian. Abaikan segala kemungkinan pengingkaran. Tingkat suku bunga apa yang anda dapatkan? Dalam foundsterling, 10 persen. Tapi bila harga meningkat 10 persen dalam tahun tersebut, 110 foundsterling hanya membayar 100 foundsterling yang dipinjam di awal tahun. Pengembalian nyatanya adalah 0. Sebenarnya, seperti yang terjadi kini, bila pengembalian nominal 10 foundsterling adalah subyek untuk pajak pendapatan, pengembalian nyatanya adalah negatif. Anda berakhir dengan nilai yang malahan kurang dari yang anda awali.

    Bila anda melakukan hipotek beberapa tahun kembali, anda mungkin telah membayar 5 atau 6 persen. Untuk inflasi beberapa tahun yang lalu, angka nyata efektif anda adalah 0. Tingkat harga yang meningkat mungkin meningkatkan nilai properti anda sebanyak atau lebih dari bunga yang anda bayarkan. Sebagai hasilnya pemberi pinjaman menerima pengembalian nyata 0 atau pengembbalian negatif bila dia bertanggung jawab atas pajak. Mirip dengan keadaan ini, bayangkan seseorang yang hari ini menghipotekkan pada 11 persen atau lebih. Misalkan kebijaksanaan ekonomi berhasil membawa inflasi hingga 0 persen. Dia akan berada dalam kesulitan (kecuali bila angka dikurangi), dan pemberi pinjaman akan mendapatkan keuntungan yang tak terduga.

7.8.4. Kegagalan Kemauan Politis

    Efekefek samping seperti itu bisa dipercaya, bahwa rintangan politik amat penting bagi pemberhentian inflasi, yaitu: pertama, komitmen Amerika Serikat, Inggris, dan pemerintah yang lain untuk pemenuhan lapangan kerja, kedua, kegagalan publik untuk mengenali efekefek samping sementara tak terhindarkan dari terhentinya inflasi, dan ketiga, ketidakmauan atau ketidak-mampuan pemimpin politik dalam membujuk publik agar menerima efekefek samping ini.

    Mana kala angka inflasi rendah, bisa diyakini bahwa pengaturan kembali yang dikehendaki adalah cukup lembut dan singkat untuk dapat dijalankan secara politis. Tetapi sayang, kasus di Amerika Serikat, kesempatan tersebut disingkirkan pada 15 Agustus 1971, pada saat Presiden Nixon memperbaharui kebijaksanaan ekonomi dengan mengenakan harga dan membekukan upah dan mendukung moneter ekspansif dan kebijaksanaan fiskal. Waktu itu, semua sedang dalam upaya menghentikan inflasi tanpa efek samping yang keras.

    Inflasi yang terjadi di Amerika Serikat (pertengahan 1974) jauh memburuk daripada yang terjadi pada bulan Agustus 1971. Angka 14 persen pada triwulan pertama tahun 1974 tak diragukan sebagai gelombang sementara, tetapi pada pandangan yang paling optimis, sepertinya inflasi tidak jatuh di bawah 6 persen hingga tahun mendatang. Bermula dari tingkat tersebut, dan dengan harapan inflasi yang bahkan semakin berkubur, suatu kebijaksanaan efektif untuk mengakhiri inflasi akan mengekor sebagai efek samping resesi yang terukur dan lebih keras daripada yang telah terjadi pada tahun 1970. Kemauan politis untuk menerima resesi seperti itu, tanpa memperbaharui kebijaksanaaaan dan merangsang inflasi lagi, tidak ada.

    Lalu apa? Bila dan mungkin Inggris serta negaranegara lain yang berkeadaan sama tidak melakukan apa pun, kita akan mengalami angka inflasi yang bahkan lebih tinggi tidak berkelanjutan, tetapi hanya sekejap seperti juga saat kita bereaksi berlebihan terhadap resesi sementara, maka cepat atau lambat, publik akan bangkit, menuntut tindakan yang efektif, dan akan mengalami resesi besar yang sesungguhnya.

 

7.9. Menghilangkan EfekEfek Samping

    Bagaimana bisa membuat dan bisa menjalankan secara politis agar bisa mengakhiri inflasi dengan lebih cepat? Seperti yang terjadi, inflasi bisa dihentikan dengan cepat hanya dengan mengadopsi ukuran yang akan mengurangi efekefek samping penghentian inflasi tersebut. Secara fundamental, efekefek samping ini merefleksikan distorsi yang diperkenalkan sebagai harga relatif oleh inflasi atau deflasi tak terantisipasi, distorsi yang berkembang karena kontrakkontrak dimasukkan dalam harga nominal di bawah persepsi salah tentang hubungan inflasi yang sama.

 

7.9.1. Klausaklausa Eskalator : Suatu Ilustrasi

    Jalan untuk mengurangi efekefek samping ini adalah untuk menjadikan kontrak riil, bukan nominal. Hal ini bisa dilakukan dengan penggunaan klausaklausa eskalator yang meluas. Ilustrasi tahun 1967 di Amerika, pada saat General Motor dan United Automobile Workers Union mencapai persetujuan harga bagi periode tiga tahunan. Pada waktu itu, harga relatif stabil, harga konsumen meningkat pada angka ratarata 2,5 persen pada tiga tahun sebelumnya. Persetujuan harga agaknya berdasar pada harapan baik General Motors dan Union bahwa harga akan berlanjut berkembang pada 2,5 persen atau kurang. Harapan tersebut tidak terealisir. Dari 1967 hingga 1970, harga berkembang pada angka tahunan ratarata 5,2 persen. Hasilnya adalah bahwa General Motors membayar harga riil yang peningkatannya lebih rendah daripada tingkatan yang diharapkan oleh kedua pihak. Jatuhnya upah riil yang tidak diharapkan merupakan rangsangan bagi General Motors, dan tidak diragukan membawanya untuk menghasilkan angka yang lebih tinggi. Pada awalnya, jatuhnya upah riil tidak menakutkan pekerja, karena hal tersebut membutuhkan waktu sebelum mereka mengenali bahwa perkembangan berakselerasi dalam harga konsumen lebih dari sekedar suatu fenomena sementara. Tetapi pada tahun 1970 mereka menjadi lebih waspada bahwa upah riil mereka kurang dari harga tawaran yang telah mereka lakukan.

    Hasilnya terjadi pada akhir 1970, menghasilkan persetujuan upah yang menyediakan yaitu: (1) peningkatan yang amat besar di awal tahun 1971; (2) peningkatan yang amat kecil bagi dua tahun berikutnya tahun 1973; dan (3) suatu klausa eskalator biaya hidup.                         Kontrak tersebut secara luas dikarakterisasikan sebagai suatu ‘inflasioner’. Padahal tidak seperti itu. Peningkatan besar pada awal tahun memperbaiki efek inflasi tidak diharapkan pada masa lampau. Hal tersebut memperbaharui upah riil pada tingkatan di mana kedua belah pihak mengharapkannya. Klausa eskalator dirancang untuk mencegah distorsi serupa pada masa mendatang.

    Contoh General Motors ini mengilustrasikan suatu efek samping inflasi yang tidak diharapkan. Misalkan kontrak yang sama telah dicapai pada tahun 1967 tetapi angka inflasi tersebut bukannya berakselerasi, malahan membelok dari 2,5 persen ke 0. Upah nyata kemudian berkembang di atas tingkat yang telah diantisipasi oleh kedua belah pihak; General Motors dibawa untuk mengurangi output dan pekerjaan; para pekerja menerima angka upah riil yang tinggi tapi menyesalkan pengerjaan yang lebih rendah; ketika kontrak baru berlaku, The Union, bukan General Motors, berada di posisi tawaran yang lemah.

    Klausa eskalator yang bekerja naik dan turun mencegah efekefek samping aktual dari inflasi yang tidak diharapkan dan efekefek samping hipotesis dari deflasi tidak terantisipasi. Hal tersebut memungkinkan majikan dan pekerja saling tawar menawar kondisi industri mereka sendiri tanpa harus menebak apa yang akan terjadi pada harga secara umum, karena baik General Motors maupun The Union telah diproteksi dari inflasi yang lebih cepat atau inflasi yang kurang cepat.

    Meskipun berguna, klausaklausa eskalator yang meluas bukanlah suatu obat mujarab. Adalah tidak mungkin mengeskalasi semua kontrak (sebagai contoh, mata uang kertas), dan untuk mengeskalasi banyak hal membutuhkan biaya. Suatu keuntungan kuat pada pemakaian uang adalah kemampuan melanjutkan transaksi dengan murah dan efisien, dan klausaklausa eskalator universal mengurangi keuntungan ini. Jauh lebih baik jika tidak mengalami inflasi dan tidak ada klausaklausa eskalator. Tetapi alternatif seperti itu tidak tersedia.

 

7.9.2. Eskalator sebenarnya : ‘Standar Tabular’

    Pemakaian klausa eskalator yang meluas bukanlah ide baru yang belum pernah dicoba. Kembali ke paling tidak tahun 1707, pada saat seorang “don Cambridge”, “William Fletwood”, menaksir perubahan harga selama periode 600 tahunan dalam hubungannya untuk menghitung batas yang dapat dibandingkan pada income outside yang diijinkan untuk diterima intelektual perguruan tinggi . Hal tersebut dikatakan secara eksplisit oleh seorang penulis mengenai uang yang berasal dari Inggris pada tahun 1807, John Wheatley. Hal itu dijelaskan dalam detail yang dapat diterima dan secara antusias direkomendasikan pada tahun 1886 oleh ahli ekonomi Inggris terkemuka, Alfred Marshall. Ahli ekonomi Amerika terkemuka, Irving Fisher, tidak sekedar mendukung ‘standar tabular’, sebagai proposal untuk indeksasi meluas yang dibeli hampir dua abad lalu , tapi juga mengajak suatu perusahaan yang dia tolong dalam menyelesaikan masalah jaminan kekuatan pembiayaan pada tahun 1925. Bunga dalam ‘standar tabular’ adalah faktor utama yang dihitung bagi pengembangan nomor indeks harga. Pada tahuntahun terakhir ini, ‘standar tabular’ diadopsi oleh Brazil pada skala yang lebih luas daripada yang direkomendasikan Amerika Serikat. Hal tersebut juga diadopsi dalam skala yang lebih kecil oleh Kanada, Israel, dan banyak negara lain. Survei yang berguna adalah dalam P.Collier, Purchasing Power Bond and Other Escalator Contracts, Buffalo Book Co. Taipei, Taiwan, 1969 (didistribusikan di Amerika Serikat oleh Utah State University Press, Logan, Utah). Pemerintah Inggris mulai mereview pensiun dan keuntungan-keuntungan sosial yang lain secara tahunan dengan kenaikan harga pada tahun 1973 dan Partai Konservatif menjanjikan revisi dua kali setahun pada manifesto pemilihan.

 

7.10. Proposal Spesifik

    Untuk pemerintah Amerika Serikat, proposal spesifik yang memiliki dua bagian, satu untuk pemerintah Federal, dan satu untuk tanggung jawab ekonomi. Bagi pemerintah Federal, diusulkan klausaklausa eskalator dilegislasi; bagi tanggung jawab ekonomi, bahwa klausaklausa eskalator sukarela tetapi segala rintangan yang legal dihilangkan. Pertanyaan mengenai nomor indeks mana yang dipakai dalam klausaklausa eskalator adalah penting, tetapi tidak kritis. Seperti yang dikatakan oleh Alfred Marshall pada tahun 1886, bahwa ‘suatu ukuran pasti yang sempurna mengenai kekuatan pembiayaan bukan hanya tidak dapat dicapai, tetapi malahan tidak dapat dipikirkan.’ Bagi Amerika Serikat, sebagai masalah kesukaan, maka akan memakai nomor indeks biaya hidup yang dikalkulasi oleh Biro Statistik Buruh.

 

 

7.10.1. Pemerintah

Pemerintah Amerika Serikat telah mengadopsi eskalasi bagi pembiayaan jaminan sosial, pemberian pensiun untuk karyawan Federal, upah pekerjapekerja pemerintah, dan banyak hal lagi. Pajak yang diekspresikan sebagai presentasi jadi dari harga dasar nilai yang lain dieskalasi secara otomatis. Permintaan tambahan kunci adalah untuk klausa eskalator pada pajak income perseorangan dan kelompok dan pada jaminan pemerintah. Dalam prinsipnya, terdapat suatu perubahan yang mendetail, observasi-observasi ini bisa diterapkan, untuk Inggris.

Pajak perseorangan, di situ detaildetail yang minor dikesampingkan, sehingga hasil revisinya yang penting meliputi empat (4) hal sebagai berikut.

(1). Perkecualian perseorangan, deduksi standar, pemberian income rendah seharusnya diekspresikan tidak sebagai angka dolar saja, tetapi sebagai angka dolar yang dikalikan dengan rasio indeks harga pada tahun yang bersangkutan ke indeks tahun dasar pada saat ‘indeksasi’ bermula. Sebagai contoh, bila dalam tahun pertama harga meningkat 10 persen, lalu jumlah yang ada dikalikan dengan 110/100 atau 1,10.

  1. Tanda kurung dalam tabel pajak seharusnya diatur secara mirip sehingga pada contoh yang ada, 0 $500 akan menjadi 0 $550, dan seterusnya. (Dua ukuran ini diadopsi oleh Kanada).
    1. Dasar pengkalkulasian keuntungan kapital seharusnya dikalikan dengan rasio indeks harga pada tahun penjualan ke indeks harga pada tahun pembayaran. Hal ini akan mencegah pemajakan hal yang tidak ada, keuntungan kapital kertas yang sesungguhnya.

(4) Dasar bagi kalkulasi turunnya nilai asetaset kapital yang ada seharusnya diatur dalam cara yang sama seperti dasar pengkalkulasian keuntungan kapital.

Pajak kelompok, pajak dan ukuran pinjaman ini adalah semua terisi dalam sebuah Bill (tagihan) yang diperkenalkan melalui Senator James Buckly pada April 1974. Pajak kelompok tersebut meliputi hal berikut.

(1). Adanya $ 25.000 (10.400 foundsterling) yang membagi garis antara pajak normal dan pajak tambahan seharusnya diganti dengan jumlah yang dikalikan dengan nomor indeks harga.

(2). Biaya stok yang digunakan dalam penjualan seharusnya diatur untuk menghilangkan keuntungan (atau rugi) buku yang merupakan hasil perubahan harga antara pembayaran awal dan penjualan akhir.

(3).Dasar pengkalkulasian keuntungan kapital.

(4) Penurunan nilai asetaset kapital yang ada seharusnya diatur seperti pajak perseorangan.

Jaminan Pemerintah, kecuali rekening (bill) dan catatan (note), semua jaminan pemerintah seharusnya diissukan dalam bentuk berkekuatan pembelian. Contoh, seri bond E seharusnya menjanjikan suatu nilai penebusan yang setara dengan nilai pokok produk yang dikalkulasi pada, katakanlah, 3 persen pertahun dan rasio indeks harga pada tahun penebusan ke indeks harga tahun pembelian. Jaminan kupon seharusnya membuat kupon tersebut bisa ditebus dalam jumlah pokok dikalikan dengan rasio harga yang relevan, dan menahan nilai yang lebih dewasa yang setara dengan jumlah pokok hal yang serupa dikalikan dengan rasio harga yang relevan. Perubahanperubahan dalam pajak dan peminjaman ini akan mengurangi baik insentif bagi pemerintah untuk mengambil jalan inflasi maupun efekefek samping perubahan angka inflasi pada ekonomi swasta. Tapi mereka ada juga yang karena prinsipprinsip dasar tentang etika, keadilan, dan pemerintahan yang mewakili, yang merupakan alasan mengapa mengusulkan untuk membuat mereka permanen.

Pemajakan terinflasi untuk catatan, merupakan hasil utama inflasi yang dihasilkan pemerintah di Amerika Serikat, Inggris dan di mana pun, pajak income perseorangan sekarang lebih berat daripada pembiayaan selama Perang Dunia II, meskipun banyak ‘pengurangan’ angka pajak. Perkecualian perseorangan dalam arti yang sesungguhnya pada suatu catatan yang bertingkat rendah. Pajak yang dikenakan seseorang dalam keadaan ekonomi yang berbeda menyimpang jauh dari yang dimaksudkan. Pemerintah dalam posisi yang mudah dicemburui dalam mengenakan pajak tinggi sementara penampakannya adalah untuk mengurangi pajak. Sedikit hasil, namun seluruhnya patut dicemburui dalam distribusi yang tak jelas pada pajak yang lebih tinggi.

    Sebagai sumber pinjaman pemerintah, kampanye suratsurat obligasi sebagai tabungan yang dilakukan Kementerian Keuangan Amerika Serikat dan Inggris merupakan operasi terbesar yang pernah terjadi. Suatu laporan dari Komite untuk urusan keuangan, menunjukkan tabungan nasional dengan argumen-argumennya diuji atau diperiksa untuk dan melawan indek mata rantai keamanan pemerintah dan menandatangani sebagai menutup: bahwa sebuah pengalaman menjadi akibat atas issu satu ikatan indek mata rantai yang rendah untuk suatu penghemat kecil pada suatu daerah, dan bahwa ia adalah yang dapat paling sedikit ke perlindungan capitalnya melawan inflasi. Pengembangan ini bukan baru terjadi. Hal ini merupakan jawaban kuisioner Joint Committee of Congress, yang menjadi pertanyaan sejak tahun 1851 seperti berikut.

(a) Hal tersebut akan menyediakan suatu arti bagi income tingkat bawah dan menengah untuk melindungi kapital mereka dari serangan inflasi. Kelompok ini hampir tidak efektif bila bertindak sekarang. Dipikir jika mereka mau melakukan hal itu akan merupakan suatu hal yang wajar dan diinginkan secara sosial.

(b) Hal tersebut akan mengijinkan Kementerian Keuangan untuk menjual suratsurat obligasi tanpa terikat advertising dan promosi yang seringsering menyesatkan dan, yang paling buruk, mendekati immoral. Kementerian Keuangan menekankan orangorang untuk membeli suratsurat obligasi sebagai maksud untuk mengamankan masa depan mereka. Apakah janji implisit bisa dibuat seseorang dalam kepercayaan yang baik, dalam pengalaman pembeli yang baru saja atau sudah lewat mengenai suratsurat berharga itu yang telah melihat pembelanjaan mereka dimakan oleh kenaikan harga? Bila bisa, tidak ada biaya dalam membuat janji eksplisit dengan menambah garansi berkekuatan pembayaran. Bila tidak bisa, maka tidak bisa ditolerir jika suatu agen umum menyesatkan masyarakat.

    Secara pasti pengalaman hampir seperempat abad tersebut sejak katakata ini ditulis menguatkan ketepatannya. Secara essensial, setiap pembeli suratsurat obligasi, atau dalam istilah panjangnya, jaminan Kementerian Keuangan periode itu, telah membayar hakhak istimewa dari peminjaman terhadap pemerintah: ‘bunga’ yang mungkin dia terima tidak mengganti pembelokan kekuatan pembayaran prinsip, dan, semakin rugi, dia harus membayar pajak bunga yang tertulis. Dan inflasi yang mencukur bulu domba tak berdosa telah dihasilkan oleh pemerintah yang mendapatkan keuntungan dari pencukuran itu.

    Merupakan suatu misteri, dan komentar yang mematahkan semangat pemahaman atau tanggung jawab bisnisman (saya katakan bisnisman, bukan bisnis) bahwa tahun demi tahun pemimpin bisnis terkemuka dan terhormat bersedia mendanai dan terlibat dalam operasi ini dengan turut serta sebagai panitia untuk mempromosikan penjualan suratsurat obligasi Amerika Serikat atau menyediakan fasilitas deduksi daftar gaji bagi pegawai yang membelinya.

 

7.10.2. Ekonomi Swasta

Pemakaian klausaklausa eskalator swasta adalah suatu jalan yang bijaksana yang tidak memiliki peranan permanen, bila pemerintah mengatur uang dengan bertanggung jawab. Dari sini bisa mendukung penggunaan sukarelawan swasta untuk mempromosikan destruksi dirinya bila event bahagia itu terjadi.

    Tidak dibutuhkan legislasi bagi adopsi swasta akan klausaklausa eskalator, yang sekarang meluas. Kurang lebih 5 juta pekerja Amerika Serikat, delapan sampai sembilan juta dalam urusan keuangan di situ ambang pintu perjanjian-perjanjian diangkat secara luas sejak mereka menerima sanksi Pemerintah Konservatif dalam hal itu kebijaksanaan kasir-inflasi: harga dan kode pembayaran untuk taraf tiga, dinaungi dengan kontrak union dengan klausaklausa eskalator otomatis, dan pasti banyak pekerjapekerja nonunion yang memiliki persetujuan implisit atau eksplisit yang mirip dengan majikan mereka. Banyak kontrak untuk produk masa depan mengandung ketentuan pengaturan harga penjualan akhir, baik untuk perubahanperubahan spesifik pada biaya maupun untuk perubahan harga umum. Banyak kontrak penyewaan bagi premis bisnis diekspresikan sebagai prosentase penerimaan, yang berarti mereka memiliki klausa eskalator implisit. Hal ini nyata bagi prosentase pembayaran royalti dan bagi kebijaksanaan asuransi otomobil yang membayar perbaikan.

Beberapa perusahaan asuransi mempermasalahkan kebijaksanaan asuransi kebakaran pada nilai pokok yang secara otomatis diatur bagi inflasi. Tidak diragukan lagi, masih banyak contoh lain yang terabaikan. Namun, yang sangat diinginkan bahwa klausaklausa eskalator seharusnya dimasukkan ke dalam daerah jangkauan yang lebih luas mengenai persetujuan upah, kontrakkontrak pengadaan barang masa depan, dan transaksi finansial yang melibatkan pinjam meminjam. Dua yang pertama merupakan perluasan ke depan dari praktekpraktek yang ada.

Indeksasi bagi pinjaman korporasi,
merupakan susunansusunan yang disarankan bagi pinjaman pemerintah, sama seperti pinjaman perusahaan swasta. Daripada memasalahkan suatu jaminan perjanjian pembayaran, katakanlah, bunga 9 persen per tahun dan pembayaran hutang 1.000 foundsterling pada akhir lima tahun, perusahaan XYZ bisa berjanji membayar 3 persen plus angka inflasi setiap tahun dan membayar 1.000 foundsterling pada akhir lima tahun. Alternatifnya, ia bisa berjanji membayar setiap tahun 3 persen dikalikan rasio indeks harga dalam tahun tersebut ke indeks harga tahun jaminan yang dipermasalahkan dan membayar pada akhir lima tahun 1.000 foundsterling dikalikan rasio yang ada pada tahun kelima. Metode alternatifnya diilustrasikan pada tabel:7. 1 berikut ini.

Tabel :7.1

Suratsurat Obbligasi Terindeks: Surat Obligasi Lima Tahunan

1.000 Foundsterling Tahun 1968 pada Angka Riil 3 %

————————————

        Tahun    Indeks     Perubahan    Pembayaran pertahun

TAHUN     Konsumen     prosentase    Metode 1     Metode 2

        Inggris         Tingkat     Bunga     Bunga

        (1968=100)     Harga        (Pound) (Pound)

——————————–

1968        100

1969        105,2         5,2          82     31,56

1970        112,0         6,5         95     33,60

1971        122,6         9,5         125     36,78

1972        131,0         6,8         98     39,60

1973        142,0         8,4         114     42,60                                        Prinsip

                         1.000 1.420

                         Found Found

 

Sumber: Milton Friedman, 1991. Moneterist Economics. Published: Basil Blackwell Ltd, Cambridge, Massachusetts, USA. h.36.

Bila ada inflasi, metode pertama, secara implisit melibatkan bagian pembayaran hutang dari nilai riil suratsurat berharga tersebut selama periode lima tahun; metode kedua, hanya melibatkan pembayaran bunga, pada tingkat riil konstan, dan membayar kembali nilai riil prinsip keseluruhan pada akhir lima tahun. Sejauh ini, ada rangsangan kecil bagi peminjaman swasta guna mempermasalahkan jaminan seperti itu. Penundaan dalam mengatur antisipasi inflasi bagi akselerasi aktual inflasi memiliki arti bahwa tingkat suku bunga dalam hal ini suratsurat berharga, sangatlah rendah dalam keadaan yang sebenarnya. Hampir semua perusahaan yang mempermasalahkan suratsurat obligasi pada dekade yang lalu bekerja dengan amat baik angka inflasi sering melebihi tingkat suku bunga yang harus mereka bayar, yang membuat harga riil menjadi negatif.

 

7.10.3. Harapan Perubahan Pemberi Pinjaman

Tiga faktor bisa mengubah kondisi pemberian pinjaman sebagai berikut.

(1). Pemberi pinjaman, selalu di pihak yang kalah, telah tiba untuk memiliki harapan yang lebih akurat mengenai inflasi, peminjam akan harus membayar tingkat suku bunga cukup tinggi sebagai kompensasi inflasi aktual.

(2). Jaminan sebagai kekuatan pembayaran dari pemerintah, yang mungkin membuktikan kompetisi yang sangat menarik yang akan memaksa perusahaan swasta melakukan hal yang sama.

(3). Berhubungan dengan nomor (2), bila terdapat kemungkinan riil bahwa pemerintah akan mengikuti kebijaksanaan efekktif untuk mengawali inflasi, meminjam bukan lagi satusatunya jalan. Perusahaanperusahaan akan menjadi berpikir bahwa mereka bisa terkunci dalam pinjaman bertingkat suku bunga tinggi. Mereka mungkin akan memiliki bunga lebih dalam memproteksi mereka sendiri terhadap inflasi.

 

7.10.4. Ketakutan Para Bisnisman
Tak Beralasan

Satu pertanyaan yang ada pada saat mendiskusikan kemungkinan eksekutif korporasi: ‘Tidakkah terlalu beresiko untuk melaksanakan komitmen yang terbuka? Paling tidak dengan angka nominal yang baik untuk obligasi. Hal ini merupakan pertanyaan wajar dari para bisnisman yang tumbuh pada suatu lingkungazn di mana tingkat harga yang secara kasar stabil dikenal luas. Tapi pada suatu dunia yang tingkat inflasinya bervariasi, persetujuan angka yang pasti adalah persetujuan yang lebih beresiko.

    Penerimaan uang dari kebanyakan bisnis bervariasi sesuai inflasi. Bila inflasi naik, penerimaan uang menjadi tinggi dan mereka bisa membayar tingkat suku bunga tereskalasi; bila inflasi rendah, penerimaannya menjadi rendah dan mereka akan mendapatkan lebih mudah membayar pada tingkat angka rendah dengan aturan inflasi daripada tingkat angka yang pasti tapi tinggi; dan demikian pula pada waktu penebusan.

    Point yang paling penting adalah hubungan antara aset dan liabilitas. Saat ini, bagi banyak perusahaan, aset mereka termasuk kemauan baik, adalah riil dalam hubungannya dengan nilai uang mereka akan naik atau jatuh dengan tingkat harga umum; tapi liabilitas mereka cenderung nominal, yaitu pasti dalam istilah uang. Berhubungan dengan hal tersebut, keuntungan perusahaan perusahaan ini adalah dari inflasi pada angka yang lebih tinggi daripada yang diantisipasikan. Bila aset dan liabilitas harus berkesuaian, perusahaan perusahaan seperti itu akan terproteksi dari segala esent.

    Hipotik rumah ancaman krisis mayor, merupakan suatu kasus yang agak berbeda yang berhubungan dengan yang disediakan oleh pembiayaan tingkat menengah. Pertimbangkan asosiasi tabungan dan pinjaman dan bank tabungan mutual. Kedua aset mereka (terutama hipotik rumah) dan liabilitas mereka (tergantung pemegang andil atau depositor) diekspresikan dalam istilah uang. Tetapi mereka berbeda dalam urasi waktu. Secara praktek liabilitas tergantung pada permintaan, aset-aset pada keadaan yang luas. Hipotik yang ada biasanya dipermasalahkan pada saat inflaasi, dan karena itu tingkat suku bunga, lebih rendah daripada yang sekarang. Bila hipotik dinilai kembali dari perolehan yang sekarang, yaitu pada harga pasar di mana mereka bisa dijual pada pasar sekunder bebas, setiap asosiasi tabungan dan pinjaman secara tehnis akan jatuh.

    Lama, sebelum lembaga yang berhatihati menjaga tingkat deposito mereka, tidak ada masalah yang timbul karena mereka tidak harus melikuiditaskan asetaset mereka. Tetapi bila inflasi cepat naik, tingkat suku bunga pada instrumen pasar akan meningkat lebih jauh. Kecuali lembagalembaga yang berhatihati tersebut menawarkan tingkat suku bunga bersaing, pemegang andil atau depositor mereka akan menarik dana untuk perolehan yang lebih baik (proses ini diberi istilah ‘disintermediasi’). Tetapi dengan income mereka yang tetap, lembagalembaga yang hatihati itu akan mendapatkan kesulitan atau tidak mungkin membayar tingkat angka yang bersaing. Situasi ini tersembunyi tapi tidak diubah oleh batas legal pada angka yang diijinkan untuk mereka bayar.

    Akselerasi inflasi yang lebih lama memberi ancaman krisis utama bagi kelompok lembagalembaga finansial ini. Dan krisisnya bukanlah masalah minor. Asetaset total dari lembagalembaga Amerika Serikat ini mendekati $400.000 juta (1677.000 juta foundsterling). Saat itu mereka akan ditolong oleh penurunan kecepatan inflasi, tapi beberapa peminjam terakhir menjadi terkurung dalam angka hipotik yang tinggi dan akan terluka sangat serius. Kecuali kalau tingkat bunga diturunkan, seperti yang mereka alami dalam Britain (Inggris).

 

7.10.5. Keuntungan Pinjaman Anti Inflasi

Pikirkan betapa berbeda situasi lembagalembaga yang hatihati dengan penggunaan klausaklausa eskalator. Hipotik pada buku mereka akan mendapatkan, katakanlah 5 persen plus angka inflasi. Mereka bisa membayar pemegang andil atau depositor mereka, katakanlah 3 atau 4 persen plus angka inflasi. Mereka, para peminjam dan pemegang andil atau depositor mereka, akan diproteksi secara penuh dari perubahan angka inflasi. Mereka akan mengasumsikan resikoresiko hanya dengan respek terhadap perubahan yang mungkin yang lebih kecil pada tingkat suku bunga riil
daripada dalam angka uang. Seperti pada perusahaan asuransi bisa menawarkan suatu kebijaksanaan terlindung inflasi, bila asetasetnya dalam pinjaman terlindung inflasi untuk bisnis atau dalam hipotik atau dalam jaminan pemerintah. Dana pensiun bisa menawarkan pensiun terlindung inflasi bila hal tersebut menahan asetaset terlindung inflasi. Di Brazil, di tempat praktek ini terjadi, yang dibawa lebih jauh, bankbank diminta untuk kredit suatu ‘koreksi moneter’ pada semua pinjaman yang diperluas di luar beberapa periode minimum.

    Sebagai ulangan, tak satu pun dari aturanaturan ini yang tanpa biaya. Akan jauh lebih baik bila terjadi hargaharga stabil yang membuat aturanaturan tersebut menjadi tidak berguna. Tetapi mereka terlihat berbiaya lebih murah daripada melanjutkan akselerasi inflasi periodik, yang berakhir dengan kerugian.

    Aturanaturan pemerintah yang disarankan akan menstimulasi aturanaturan swasta. Sekarang, suatu tebusan untuk jaminan berkekuatan pembayaran swasta yang dipermasalahkan adalah bahwa aturan inflasi bisa dipajaki bagi penerimaan bersamasama dengan bunga riil yang dibayarkan. Perubahan pajak yang diusulkan akan memberi efek pembebasan aturanaturan tersebut dari pajak, dan lalu membuat jaminan berkekuatan pembayaran yang lebih menarik bagi pemberi pinjaman. Sebagai tambahan, masalahmasalah pemerintah untuk suatu jaminan berkekuatan pembayaran akan menawarkan persaingan yang efektif untuk peminjaman swasta, mempengaruhi mereka untuk menjadi legal, dan akan menyediakan asetaset yang bisa digunakan sebagai teman liabilitas terlindung inflasi.

7.10.6. Prospek Bagi Eskalator Eskalator Kontrak Swasta

    Akankah klausaklausa eskalator menyebar dalam kontrakkontrak swasta? Hal tersebut tergantung pada keadaan inflasi. Bila, oleh beberapa keajaiban, inflasi menghilang dalam waktu dekat, semua berkata aturan ini juga akan lenyap. Pengembangan yang lebih mirip adalah bahwa inflasi Amerika Serikat menciut pada akhir 1974, menetap pada kurang lebih 6 atau 7 persen di tahun 1975, dan mulai berakselerasi pada tahun 1976 sebagai jawaban atas efek reaksi berlebihan yang tertunda pada tahun 1974 yang meningkatkan pengangguran. Selama periode ini akan terjadi ekspansi seimbang, tetapi tidak spektakuler pada klausaklausa eskalator. Bila inflasi berakselerasi hingga 10 persen, dan di luar tahun 1977, ekspansi seimbang akan sukses. Tidak perlu mendoakan agar skenario ini salah. Sebaliknya berharap bahwa Federal Reserve dan Administrasi akan mau dan sanggup menahan tekanan dan reaksi berlebihan terhadap resesi tahun 1974, bahwa mereka akan menjaga kekangan fiskal dan moneter, dan lalu menghindari akselerasi inflasi lain. Tetapi pengalaman yang lalu, maupun iklim yang sekarang tidak bisa membuatnya menjadi harapan yang masuk akal.

Agar Lebih Mudah Melawan Inflasi, maka bagaimana mengadopsi secara luas prinsipprinsip eskalator guna mempengaruhi kebijaksanaan ekonomi? Beberapa kritikus berkata indeksasi akan melemparkan ke inflasi permanen. Kebalikannya adalah, indeksasi akan meningkatkan kemampuan pemerintah untuk bertindak melawan inflasi.

    Untuk memulainya, indeksasi akan menampilkan suatu kekerasan dan distorsi yang ada sekarang yang berasal dari jatuhnya angka inflasi. Majikan tak akan terpaku pada peningkatan upah tinggi di bawah kontrakkontrak union yang ada, karena peningkatan upah akan bertindak sebagai penghenti inflasi. Indeksasi juga mempengaruhi tendensi’ bisnis untuk menunda investasi kapital pada saat belanja total mulai membelok akan terdapat alasan untuk mengharapkan harga yang lebih rendah dan tingkat suku bunga yang lebih rendah. Bisnis akan mampu meminjam dana atau masuk ke dalam pembuatan kontrak dengan mengetahui bahwa tingkat suku bunga dan harga kontrak akan diatur kemudian dalam keserasian dengan indeksindeks harga.

    Yang paling penting, indeksasi akan memperpendek waktu yang dibutuhkan bagi pengurangan angka pertumbuhan belanja total agar memiliki efek penuh dalam mengurangi angka inflasi. Sebagai penurunan kecepatan terhadap tekanan permintaan pada pointpoint variatif dalam ekonomi, semua efekefek pada harga akan dipindahkan dengan cepat ke kontrak upah, kontrak bagi pengadaan masa depan, dan tingkat suku bunga pinjaman keseluruhan. Sesuai dengan hal tersebut, biaya upah produsen dan biaya lain akan naik agak kurang cepat daripada bila menggunakan indeksasi. Sokongan terhadap suplai, sebagai hasilnya akan bekerja melawan peningkatan harga dengan informasi tambahan mengenai upah dan biayabiaya lain.

Dengan indeksasi meluas, dalam jumlahnya, kekangan moneter yang kuat oleh Federal Reserve System (the fed) akan direfleksikan dalam pengurangan langkah langkah inflasi dan peningkatan pengangguran sementara yang lebih kecil. Keberhasilan dalam membuat inflasi lebih perlahan, akan memperkuat kemauan politik untuk menderita sedikit rasa sakit dan bisa membuat ‘the fed‘ untuk bertahan, reaksi swasta akan memperkuat efekefek kebijaksanaannya. Ekonomi akan bergerak ke pertumbuhan inflasioner pada pemakaian tenaga kerja yang tinggi yang lebih cepat daripada sekarang.

 

7.11. Keberatan terhadap KlausaKlausa Eskalator

    Keberatan yang paling utama untuk eskalasi meluas adalah pernyataan tanpa bukti bahwa eskalator memiliki pengaruh inflasioner terhadap ekonomi. Dalam bentuk yang disederhanakan ini, pernyataan tersebut salah seperti yang katakan sebelumnya dalam hubungan dengan keberadaan General Motors tahun 1970. Suatu eskalator akan berpengaruh hanya sebagai hasil dari peningkatan harga sebelumnya. Darimana datangnya hal itu? Suatu eskalator bisa turun seperti juga ia bisa naik. Bila inflasi pelan, terjadi peningkatan upah, apakah eskalator memiliki pengaruh deflasioner?

    Pada contoh pertama, eskalator tidak memiliki efek langsung pada tingkat inflasi. Mereka hanya meyakinkan bahwa inflasi mempengaruhi harga yang berbbeda dari upah yang sama dan lalu menghindari suatu jenis distorsi dalam hargaharga dan upahupah relatif yang diilustrasikan oleh kasus General Motors. Dengan eskalasi meluas, inflasi akan ditransmisikan lebbih cepat, dan dari sini bahaya yang dilakukan oleh inflasi menjadi berkurang. Tetapi mengapa mereka harus meningkatkan atau mengurangi inflasi?

7.12. Rangsangan untuk Menaikkan Tingkat Pajak

Dua keberatan dibuat pada tingkat yang lebih bagus yaitu:

Pertama, eskalasi yang meluas akan mengurangi penghasilan dari inflasi ke pajak langsung pada keseimbangan cash yang dihasilkan oleh masalah uang berkekuatan tinggi. Itu akan mengurangi penghasilan dari tingkat inflasi yang ada yang bisa mempengaruhi pemerintah untuk menaikkan tingkat suku bunga.

Kedua,
‘Hidup Dengan Inflasi’
. Masyarakat umum bisa menginterpretasikan adopsi klausaklausa eskalator sebagai demonstrasi bahwa pemerintah telah menyerah atas perlawanan terhadap inflasi, dan hanya mencari hidup dengan inflasi. Hal ini bisa membawa publik untuk meningkatkan antisipsinya akan inflasi mendatang dengan mengurangi kemauannya untuk menahan keseimbangan uang cash, bisa menyebabkan sekali untuk semua untuk tingkat harga dan pada perluasan sesuai ramalan.

    Bila publik tidak berharap menghentikan inflasi, tetapi bertujuan mengijinkan pemerintah menggunakan inflasi sebagai sumber penghasilan yang besar, segera kita mengadaptasikan lembaga ke situasi lebih baik. Pada tingkat yang lebih baik, bisa dinyatakan bahwa, dengan menggunakan distorsi dalam hargaharga relatif yang dihasilkan oleh inflasi, klausaklausa eskalator yang meluas akan mempermudah publik untuk mengenali perubahanperubahan tingkattingkat inflasi, akan mengurangi hambatan waktu dalam mengadaptasi perubahanperubahan seperti itu, dan lalu membuat tingkat harga nominal menjadi lebih sensitif dan bervariasi. Hal ini secara pasti mungkin, meskipun tidak bermaksud mendemonstrasikannya. Tetapi bila begitu, variabel riil akan dibuat kurang sensitif dan lebih stabil suatu penggantian yang amat menguntungkan. Lebih lagi, juga mungkin bahwa, dengan membuat taksiran yang tepat pada tingkat inflasi kurang penting, klausaklausa eskalator yang meluas akan mengurangi perhatian yang diberikan untuk taksirantaksiran seperti itu, dan menyediakan stabilitas lebih. Suatu keberatan dari suatu jenis yang amat berbeda adalah inflasi menjalankan tujuan sosial khusus untuk memecahkan permintaan yang tidak sesuai dengan kelompok yang berbeda. Secara kasar, partisipasi ekonomi memiliki permintaan yang tak bisa dinegoisasikan agar lebih dari output keseluruhan. Permintaan ini mencoba berdamai karena inflasi membodohi orang agar percaya bahwa permintaan mereka terkabulkan padahal kenyataannya tidak, pengembalian nominal dierosi oleh inflasi tak terantisipasi.     Klausaklausa eskalator, dinyatakan, membawa permintaan yang tidak konsisten agar terbuka. Pekerja yang akan menerima upah riil yang lebih rendah yang dihasilkan oleh inflasi tak terantisipasi tidak akan mau menerima upah riil yang sama dalam negoisasinegoisasi eksplisit. Ini secara esensial adalah ilusi uang di belakang anggapan Keynes bahwa para pekerja tidak akan menerima upah uang yang lebih rendah yang dihasilkan dari upah uang yang berubah (atau bahkan meningkat) yang berkurang dalam nilai riil oleh peningkatan harga (inflasi). Bila pandangan ini benar pada skala yang cukup lebar utuk menjadi penting, tidak terlihat hasil baik selain inflasi yang berlari atau masyarakat otoritarian yang diatur dengan paksaan. Mungkin ini hanya suatu pemikiran yang berlebihan yang membuat orang terpaksa menerima pandangan takdir.

 

7.13. Kesimpulan.                                 Kebijaksanaan politis konvensional adalah penduduk bisa mengomel mengenai inflasi tetapi memilih dasar pada tingkat pengangguran. Tak seorang pun mengalami kekalahan dalam pemilihan karena inflasi: Hoover pada tahun 1932 dan Nixon pada tahun 1960 kalah karena masalah penganggguran. Pada saat kita meninggalkan dekade depresi jauh di belakang, dan pada saat kita mengalami inflasi berlebih-lebihan, kebijaksanaan konvensional ini menjadi pertanyaan yang berkembang. Dengan pasti, inflasi menolong Mr. Edward Heath, Perdana Menteri tahun 1970, dan, lebih pasti lagi, mantan Perdana Menteri tahun 1974. Popularitas Perdana Menteri Jepang, Mr. K.Tanaka turun karena inflasi. Presiden Allende dari Chili kalah dalam hidupnya sebagian besar karena inflasi. Mungkin klausaklausa eskalator yang meluas bukanlah jalan terbaik, tetapi tidak menemukan solusi-solusi lain yang memberikan banyak janji baik mengurangi bahaya karena inflasi maupun membantu menghentikan inflasi. Bila inflasi terus berakselerasi, kebijaksanaan politik konvensional akan diperbaharui. Penekanan pada inflasi berhenti pada biaya berapa pun akan membawa ke depresi yang kuat. Sebelum terjadi, dipikirkan ukuran yang bisa membuatnya bisa dijalankan secara politis untuk menghentikan inflasi sebelum inflasi menghentikan bukan hanya kebijaksanaan konvensional tapi mungkin masyarakat bebas.

Bab 6

Kontra Revolusi dalam Teori Moneter

 

    Pembicaraan dalam bab ini sebagian besar mengenai perkembangan ilmu pengetahuan yang memiliki sedikit kandungan ideologi atau politik. Perkembangan ini bagaimanapun memiliki relevansi pada kebijaksanaan pemerintahan karena telah bertahan pada efekefek jenis tertentu dari kebijaksanaan pemerintah tanpa memandang partai apa yang berkuasa dan bertujuan apa.

    Kontra revolusi menurut Milton Friedman (1970: 1), harus didahului oleh dua stage yaitu: posisi awal pada waktu terdapat revolusi, dan revolusi. Dalam tujuan untuk membentuk stage ini, pertamatama yang ingin dibuat adalah sedikit penegasan tentang posisi awal dan revolusi.

     Sangat menyenangkan bila terdapat nama untuk menggambarkan posisiposisi ini. Posisi-posisi yang dimaksud dinamakan “teori kuantitas uang” dengan posisi awal dan mengaitkannya secara luas dengan ahli ekonomi Amerika yang bernama Irving Fisher, meskipun para ahli ekonomi Inggris terkemuka juga memberikan sumbangan pada doktrin ini. Revolusi, seperti yang anda ketahui, dibuat oleh Keynes pada tahun 1930an. Keynes sendiri adalah ahli teori kuantitas sehingga dari sinilah revolusi tersebut bermula, di dalam tubuh pemerintahan. Nama Keynes adalah nama yang amat jelas bagi terjadinya revolusi tersebut. Kontra revolusi juga membutuhkan nama dan yang paling mungkin dipakai untuk menunjuk ke situ adalah “Sekolah Chicago”. Nama yang belakangan agak kurang menyenangkan tetapi yang membuatnya begitu mengikat adalah moneterisme karena penekanan yang diperbaharui adalah pada peran kuantitas uang.

    Kontra revolusi, baik dalam ilmu politik maupun ilmu pengetahuan, tidak pernah memperbaharui situasi awal. Kontra revolusi selalu menghasilkan situasi yang mirip dengan situasi awal namun sangat kuat dipengaruhi oleh campur tangan revolusi. Inilah kenyataan yang sebenarnya dari moneterisme yang mendapatkan banyak keuntungan dari karya Keynes. Sesungguhnya, tak ada jalan untuk mengkontradiksikannya, bahwa bila sekarang si Keynes masih hidup tak dapat disangkal bahwa dia akan berada di garis depan kontra revolusi.

 

6. 1 . Irving Fisher dan Teori Kuantitas

    Teori kuantitas uang, secara besarbesaran dikembangkan oleh Irving Fisher. Beliau adalah ahli ekonomi Amerika terhebat. Dia adalah seorang yang luar biasa menarik dan eksentrik. Sesunggguhnya reputasi profesional yang disandangnya selama hidup adalah karena dia bukan hanya seorang ahli ekonomi, tetetetapi juga karena dia terlibat dalam banyak aktivitas yang lain, termasuk menjadi anggota utama partai terlarang di Amerika. Buku terlarisnya, yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa terkemuka, tidaklah mengenai ekonomi, namun mengenai kesehatan. Buku itu membahas mengenai bagaimana makan yang baik dan menjaga kesehatan yang diberi judul How to Live (yang ditulis bersama dengan Dr E.L.Fisk). Bahkan buku tersebut merupakan penghormatan terhadap ilmu pengetahuan. Pada waktu dia masih muda di awal umur tigapuluhan, dia menderita tuber kulosis dan oleh dokternya diramalkan waktu hidupnya hingga tinggal satu tahun. Fisher lalu pergi ke daerah Barat Jauh untuk mendapatkan udara yang lebih baik dan lalu menenggelamkan dirinya dalam kesehatan serta metode yang baik untuk makan dan lain sebagainya. Bila kita boleh menentukan kesuksesan karya ilmiahnya lewat hasilhasilnya, dia hidup hingga usia 80 tahun. Mungkin anda telah mengetahui bahwa dia juga seorang ahli statistik yang terkemuka, yang mengembangkan teori angka indeks, lalu berkarya dalam bidang matematika, ilmu ekonomi, dan teori kegunaan dan juga punya cukup waktu untuk menemukan sistem pengarsipan Kardex, sistem terkenal dengan teknik satu amplop kecil menutup amplop yang lain, sehingga anda bisa menarik laci untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Dia mendirikan apa yang kita kenal sekarang sebagai RemingtonRand Coorporation untuk produksi dan mendistribusikan penemuannya. Seperti yang anda ketahui dia adalah seorang pria yang punya wawasan dan kemampuan luas.

Ide dasar teori kuantitas, adalah bahwa terdapat hubungan antara kuantitas uang pada satu sisi dan harga pada lain sisi yang merupakan ide tertua dalam bidang ekonomi. Ini kembali ke beribu-ribu tahun yang lalu. Tetetapi ada satu hal untuk menuangkan ide ini dalam istilahistilah umum. Ada hal lain untuk memperkenalkan sistem dalam hubungan antara uang pada satu sisi dan kepentingan lain pada sisi yang lain. Apa yang Irving Fisher lakukan adalah menganalisis hubungan dalam detail yang jauh lebih besar daripada yang pernah dilakukan sebelumnya. Dia mengembangkan dan mempopulerkan apa yang sekarang terkenal sebagai persamaan kuantitas: MV = PT, uang (money) dikalikan dengan kecepatan (velocity) sama dengan harga (prices) dikalikan dengan volume transaksi. Ini adalah suatu persamaan yang setiap mahasiswa ekonomi pernah pelajari, kemudian untuk beberapa waktu tidak dipelajari, dan sekarang, pada saat kontra revolusi maju, harus dipelajari kembali. Fisher tidak hanya memberikan persamaan ini, dia juga menerapkannya dalam konteks yang bermacammacam. Dia pernah menulis artikel terkenal yang menginterpretasikan lingkaran bisnis sebagai “tarian dolar”, yang dia nyatakan bahwa fluktuasi dalam aktifitas ekonomi secara primer adalah refleksi perubahan kuantitas uang. Mungkin yang paling tepat untuk masa sekarang, adalah menganalisis dengan detail hubungan antara inflasi pada satu sisi dan tingkat suku bunga (interest) pada sisi lain. Buku pertamanya mengenai masalah ini, Appreciation and Interest, diterbitkan pada tahun 1896, bisa dibaca sekarang dengan keuntungan dan kemampuannya untuk dapat diterapkan pada kondisi masa kini.

    Dalam karyanya tersebut, Fisher membuat perbedaan yang lagilagi pernah tidak dianggap dan sekarang telah kembali pada pemakaian secara umum, yang dikenal sebagai perbedaan antara tingkat suku bunga nominal dalam pound per tahun per seratus pound dan tingkat suku bunga yang sebenarnya, yaitu koreksi bagi efekefek perubahan harga. Bila anda meminjami seseorang 100 pound hari ini, dan 12 bulan lagi dikembalikan 106 pound, dan bila dalam waktu tersebut harga naik hingga 6 persen, lalu uang anda yang bernilai 106 pound tersebut tidak bernilai lebih baik dari 100 pound anda hari ini. Jumlah bunga nominal adalah 6 persen, tetapi tingkat suku bunga yang sebenarnya adalah nol. Perbedaan antara tingkat suku bunga nominal dan tingkat suku bunga nominal yang sebenarnya adalah hal yang paling penting dalam pemahaman efekefek kebijaksanaan moneter seperti juga perilaku tingkat suku bunga. Fisher juga membedakan secara tajam antara jumlah nyata yang sedang terjadi , jumlah yang terjadi setelah event, dan jumlah nyata antisipasi yang pemberi pinjaman mengharapkan untuk menerima dan peminjam mengharapkan untuk membayar. Tak seorang pun akan meminjamkan uang pada 6 persen, itu bisa terjadi karena harapan bahwa harga akan meningkat lebih dari 6 persen: jumlah nyata yang terealisir akan lebih sedikit dari pada jumlah nyata antisipasi. Perbedaan antara jumlah nyata sebenarnya dan jumlah nyata antisipasi adalah amat penting di masa kini untuk memahami aliran event. Ini menjelaskan mengapa inflasi sangat keras kepala, karena saat inflasi berakselerasi, orangorang mengharapkannya. Mereka berharap bisa membangun inflasi yang diharapkan dalam tingkat suku bunga yang mereka ingin bayar sebagai peminjam atau yang mereka minta sebagai pemberi pinjaman.

 

6.2. Konsensus luas

    Mungkin hingga tahun 1930, analisis Irving Fisher secara luas diterima. Dalam teori moneter, analisis yang diambil untuk memberi maksud bahwa dalam persamaan kuantitas MV = PT istilah velocity bisa dipandang amat stabil, karena bisa ditentukan secara independen dari istilah lain dalam persamaan tersebut, dan karena sebagai perubahan hasil dalam kuantitas uang akan direfleksikan baik pada harga maupun output. Juga dikenal secara luas bahwa fluktuasi istilah pendek dalam ekonomi merefleksikan perubahan kuantitas uang,atau merefleksikan juga keadaan dan kondisi pada saat kredit tersedia. Diketahui juga bahwa trend harga atas periode yang berhubungan merefleksikan perilaku kuantitas uang di atas periode tersebut.

    Dalam kebijaksanaan ekonomi, diterima secara luas bahwa kebijaksanaan moneter adalah instrumen primer yang disediakan untuk menstabilkan perekonomian. Lebih lagi, diterima juga bahwa kebijaksanaan moneter seharusnya dioperasikan secara besarbesaran lewat kombinasi dua mata gunting, satu mata gunting apa yang kami diistilahkan Amerika sebagai ‘angka diskon’ dan anda di Inggris istilahkan sebagai ‘angka dari Bank’, mata gunting yang lain menjadi operasi pasar bebas, pembelanjaan dan penjualan jaminan pemerintahan. Semuanya tadi adalah kurang lebih prioritas posisi doktrinal awal untuk revolusi Keynesian. Posisi tersebut secara luas digunakan. Menurut Macmillan dalam Milton Friedman (1970: 4) bahwa A Tract on Monetery Reform dari Keynes dapat dipercaya sebagai buku terbaiknya hingga sekarang, karena merefleksikan konsensus yang baru saja digambarkan.

 

6.3. Revolusi Keynesian

    Tibalah revolusi Keynesian. Apa yang menghasilkan revolusi tersebbut adalah jalannya eventevent. George Stigler, dalam diskusi sejarah pemikiran, sering menyatakan bahwa perubahan utama dalam disiplin datang dari dalam disiplin dan bukannya dihasilkan dari eventevent luar. Secara umum dia mungkin benar. Tetetapi dalam contohcontoh khusus dapat dipercaya bahwa sumber dasar revolusi dan reaksi melawan teori kuantitas uang adalah event sejarah, yang dikenal sebagai kontraksi besar atau depresi. Di Inggris, kontraksi dimulai pada tahun 1925 ketika Inggris berjaya pada perang persamaan dan berakhir pada tahun 1931 ketika Inggris mulai memudar. Sedangkan di Amerika Serikat kontraksi dimulai pada tahun 1929 dan berakhir pada saat Amerika mengalami kemunduran pada awal tahun 1933. Pada kedua negara tersebut, kondisi ekonomi mengalami depresi selama bertahuntahun setelah kontraksi itu sendiri berakhir dan ekspansi dimulai.

 

6.4. Pelajaran Yang Salah dari Depresi Besar

    Depresi besar mengguncang penerimaan teori kuantitas uang karena secara luas diinterpretasikan sebagai penunjukkan bahwa kebijaksanaan moneter tidaklah efektif, paling tidak dalam melawan penyelewengan bisnis. Semua jenis pepatah telah berkata bahwa untuk menunjukkan tentang penghapusan moneter yang ada tidak akan bisa memuju ke arah ekspansi ekonomi, seperti ‘berhasilnya mengajak kuda anda ke air tetapi tidak bisa menyuruhnya minum’ atau ‘Kebijaksanaan moneter seperti senar: bahwa hanya bisa menariknya tetetapi tidak bisa menekannya’, dan masih banyak lagi pepatah seperti itu. Pada saat itu terjadi, interpretasi depresi ini sangatlah salah. Kebalikannya, seperti yang akan dijelaskan secara hatihati di bawah ini, bahwa pada uji ulang, depresi merupakan testamen tragis untuk efektifnya kebijaksanaan moneter, bukan penunjukkan atas ketidak-mampuannya. Tetapi yang menjadi masalah dalam dunia ide adalah bukanlah apa yang benar tetapi apakah yang dipercayai untuk menjadi benar. Dan yang dipercayai adalah pada waktu kebijaksanaan moneter diusahakan dan ditemukan keinginannya. Ada bagian bahwa pandangan tersebut merefleksikan tendensi alami otoritas moneter untuk menyalahkan kekuatan lain dalam eventevent ekonomi yang mengerikan yang tengah terjadi. Orangorang yang menjalankan kebijaksanaan moneter adalah manusia biasa, seperti juga anda dan saya, dan karakteristik manusia yang umum adalah bila ada sesuatu yang buruk terjadi itu adalah kesalahan orang lain. Pada saat berkolaborasi dalam penulisan sebuah buku sejarah moneter Amerika Serikat, terdapat suatu tugas menyedihkan membaca 50 tahun laporan tahunan dari Federal Reserve Board. Satusatunya elemen yang agak memberi terang pada tugas yang membosankan ini adalah gerakan memutar dalam kekuatan tersebut yang melengkapi kebijaksanaan moneter dengan sistem. Pada tahuntahun bagus dalam laporan tersebut akan terbaca, “Terima kasih untuk kebijaksanaan moneter yang luar bisa bagus dari Federal Reserve…..” Pada tahuntahun buruk dalam laporan tersebut akan terbaca “Akibat dari kebijaksanaan moneter yang luar biasa bagus dari Federal Reserve…”, dan hal ini akan terus menjelaskan bahwa kebijaksanaan moneter pada saat itu amat lemah dan kekuatankekuatan lain amat kuat.         Otoritas-otoritas moneter mengumumkan bahwa mereka memburu kebijaksanaan uang mudah yang pada kenyataannya mereka tidak seperti itu, dan sumpah mereka itu secara luas diterima. Dari sinilah Keynes, bersamasama dengan yang lain, menyimpulkan bahwa kebijaksanaan moneter telah diusahakan dan ditemukan keinginannya. Sebagai kontras, dia menawarkan suatu analisis alternatif untuk menjelaskan mengapa depresi telah terjadi dan mengindikasikan jalan untuk membuat situasi menjadi lebih baik.

 

6.5. Kritik Keynes terhadap Teori Kuantitas

    Keynes tidak menyanggah persamaan kuantitas Irving Fisher. Keynes hanya mengatakan sesuatu yang berbeda. Dia mengatakan bahwa bila MV = PT, velocity, bukannya amat stabil, tetetetapi bisa disesuaikan. Bila kuantitas uang naik, yang akan terjadi adalah sirkualasi uang akan turun dan tak ada yang terjadi pada sisi lain. Persamaan tersebut baik dalam harga maupun output. Sehubungan dengan hal itu, bila sesuatu menekan sisi kanan persamaan itu, PT atau income, naik tanpa ada peningkatan kuantitas uang, semua yang akan terjadi adalah velocity akan naik. Dengan kata lain, velocity adalah seikat niat. Ia bisa menggerakkan satu jalan atau jalan yang lain sebagai respon untuk mengubah baik kuantitas uang maupun income. Kuantitas uang kepentingan minor. (Telah dicoba untuk menguasai materi tehnis secara singkat, kemudian meninggalkan banyak kualifikasi yang diminta dalam pemahaman secara penuh teoriteori Fisher dan Keynes). Sesungguhnya ingin menekankan bahwa statemenstatemen yang dibuat adalah suatu implifikasi dan bukannya penjelasan penuh teoriteori tersebut).     

    Apa yang menjadi masalah, kata Keynes, bukanlah kuantitas uang.

Yang menjadi masalah adalah bagian total pembelanjaan yang independen dari income yang terjadi, apa yang sekarang dinamakan sebagai pembelanjaan otonom dan diidentifikasikan dalam praktek yang luas dengan investasi oleh bisnis dan pembelanjaan oleh pemerintah. Oleh karena itu, Keynes mengalihkan perhatian dari peranan uang dan hubungannya pada aliran income dan mengarahkan perhatiannya pada hubungan antara dua aliran income, yang berkorespondensi dengan pembelanjaan otonom dan yang berkorespondensi dengan pembelanjaan induksi. Lebih lagi, katanya, dalam dunia modern, harga sangatlah teratur, sedangkan kuantitas bisa segera berubah. Pada saat untuk berbagai alasan pembelanjaan otonom berubah, hasil perubahannya dalam income akan memanifestasikan dirinya sendiri secara primer dalam output dan hanya sekunder setelah hambatan panjang dalam harga. Harga dtentukan oleh biaya yang terdiri dari upah, dan upah ditentukan oleh kesalahan pada sejarah masa lampau.

    Kontraksi besar, katanya, adalah hasil dari permintaan investasi yang kolaps atau jatuh yang hasilnya adalah refleksi kolapsnya kesempatan produktif untuk menggunakan kapital. Jadi mesin dan motor kontraksi besar adalah kolapsnya investasi yang ditransformasikan dalam kolapsnya income oleh proses penggandaan.

 

6.6. Implikasi Kebijaksanaan

    Doktrin ini telah jauh mencapai implikasi kebijaksanaan ekonomi. Ini berarti bahwa kebijaksanaan moneter merupakan kepentingan kecil. Peran satusatunya adalah menjaga tingkat suku bunga turun, baik untuk mengurangi tekanan pada anggaran pemerintah dalam membayar bunga hutangnya, dan juga karena hal tersebut bisa merupakan suatu efek perangsang investasi.

Implikasi pertama, bahwa dari implikasi ini datanglah kebijaksanaan uang murah yang sudah pernah dicoba di negara ini setelah negara ini mengikuti Perang Dunia II.

    Implikasi kedua, bahwa kemampuannya untuk stabilisasi ekonomi tidak bisa menjadi kebijaksanaan moneter, seperti yang telah dipikirkan oleh ahliahli kuantitas, tetetetapi harus menjadi kebijaksanaan fiskal, yaitu pada perubahan jumlah biaya dan pajak pemerintahan.

    Implikasi ketiga, bahwa inflasi secara luas diinterpretasikan sebagai fenomena penekanan biaya. Itu terjadi, meskipun Keynes sendiri tidak membuat kesimpulan dari doktrinnya, bahwa jalan untuk mengatasi inflasi ialah melalui kebijaksanaan income. Bila biaya menentukan harga dan biaya telah ditentukan lewat sejarah, kemudian jalan untuk memberhentikan semua peningkatan harga adalah memberhentikan semua peningkatan biaya.

    Pandanganpandangan ini diterima secara luas di kalangan ahliahli ekonomi baik teorinya maupun implikasinya bagi kebijaksanaan. Amatlah sukar bila dalam jarak sekian waktu harus mengenali seberapa luas pandangan pandangan ini bisa diterima. Dipandang sangat penting perlunya satu kutipan, untuk memberikan suatu gambaran keadaan akhir Perang Dunia II. Sepintas lalu, diterimanya pandangan ini yang berlanjut hingga kini terjadi lebih baik di Inggris daripada di Amerika, sehingga mungkin akan lebih mudah bagi anda untuk mengenali gambaran yang terlukiskan daripada orangorang di Amerika. John H.Williams seorang Profesor Ekonomi di Universitas Harvard, penasehat utama untuk Federal Reserve Bank New York, dan secara luas dikenal sebagai orang yang antiKeynesian. Pada tahun 1945 dia menulis: ‘Saya telah lama percaya bahwa kuantitas uang lebih permissive daripada efekefek positif pada harga dan produksi.’ Dan pada kalimat yang ingin saya tekankan ia menulis: ‘Saya tidak melihat adanya prospek kehidupan dari kontrol moneter secara umum dalam periode postperang.’ Ini sungguh merupakan pernyataan yang menyapu, dan yang telah dibuktikan.

    Point tinggi di Amerika Serikat dari aplikasi ide Keynesian untuk kebijaksanaan ekonomi mungkin terjadi dengan datangnya ahliahli ekonomi yang baru pada administrasi Kennedy. Hasil terbaiknya adalah pemotongan pajak tahun 1964 yang diambil dari prinsipprinsip yang sudah digambarkan.

    Setelah menggambarkan secara garis besar dengan singkat stage awal dari teori kuantitas, dan stage revolusioner dari teori Keynesian, akan dilanjutkan ke bagian kontra revolusi moneterist.

 

6.7. Kontra Revolusi

    Seperti yang telah sering terjadi, hanya beberapa waktu ideide Keynes menguasai praktek, ideide tersebut kehilangan kekuatan untuk bertahan dalam pikiranpikiran para sarjana di akademiakademi. Banyak faktor yang memberi sumbangan pada perubahan sikap terhadap doktrin Keynesian tersebut. Salah satunya adalah yang langsung terjadi setelah Perang Dunia II. Berdasarkan analisis Keynesian, ahli ekonomi dan orangorang lain mengaharapkan bahwa perang akan diikuti dengan depresi besar lain. Dengan pengalaman yang sekarang setelah dua dekade inflasi di belakang kita, sangatlah sulit untuk mengenali bahwa itu adalah sentimen waktu. Tetetapi seperti di Amerika, di Inggris Raya dan di negaranegara yang lain, pandangan yang dominan adalah bahwa, pada saat Perang Dunia II berakhir, pada saat pompa utama dan belanja pemerintah untuk kepentingan militer berakhir, terjadilah kolaps ekonomi yang amat dahsyat karena jarangnya kesempatan investasi yang dituding sebagai penyebab depresi besar. Pengangguran dan deflasi masih menjadi hantu pada saat itu. Seperti yang anda tahu, hal tersebut tidak terjadi. Masalah setelah perang lebih banyak pada inflasi daripada deflasi.

    Pengalaman postperang kedua yang penting adalah gagalnya kebijaksanaan uang murah. Di Inggris, Chancellor Dalton mencoba untuk mengikuti kebijaksanaan Keynesian dan menjaga tingkat suku bunga tetap rendah. Seperti yang anda ketahui, dia tidak sanggup dan menyerah. Hal yang sama terjadi di Amerika Serikat. Federal Reserve System mengikuti kebijaksanaan harga terikat kontrak, dan menjaga tingkat suku bunga tetap rendah. Akhirnya menyerah pada tahun 1953 setelah Kementerian Keuangaan Federal Reserve Accord pada tahun 1951 meletakkan dasar kerja untuk membuat tingkat suku bunga bebas. Di setiap negara, kebijaksanaan uang murah diberlakukan, hal itu akan membawa ke arah inflasi dan lalu dibatalkan. Inflasi tidak pernah terjadi di negara mana pun, hingga kebijaksanaan moneter ortodoks di jalankan. Jerman adalah satu contoh di tahun 1948; Italia tak lama kemudian, akhirnya Inggris, dan Amerika Serikat.

 

6.8. Pertimbangan Baru Depresi Besar

    Elemen penting lain yang memberikan sumbangan pada pertanyaan doktrin Keynesian adalah pengujian kembali sejarah moneter dan khususnya Depresi Besar. Ketika bukti diuji dalam detail terlihat bahwa kebijaksanaan moneter yang buruk harus diberi bagian kesalahan yang besar. Di Amerika Serikat, terdapat pengurangan kuantitas uang ketiga dari 1929 hingga 1933. Pengurangan dalam kuantitas uang ini, jelas membuat depresi semakin panjang dan lebih banyak daripada yang sudahsudah. Lebih lagi, dan samasama penting, hal itu terlihat bahwa pengurangan kuantitas uang bukanlah konsekwensi dari ketidakinginan kuda untuk meminum air. Itu adalah konsekwensi langsung dari kebijaksanaankebijaksanaan yang diikuti sistem Federal Reserve.     Dari tahun 1930 hingga 1933, satu seri perjalanan bank dan kegagalan bank diijinkan untuk menjalankan tugasnya karena Federal Reserve gagal menyediakan likuiditas bagi sistem perbankan yang merupakan salah satu fungsi utama yang ingin dijalankan oleh para desainer sistem di Federal Reserve. Bankbank gagal karena masyarakat kebanyakan, merasa khawatir akan jaminan depositonya dan mencoba untuk merubah depositonya dalam mata uang. Dalam sistem penyimpanan fraksional, hampir tidak mungkin bagi semua depositor untuk melakukan hal itu kecuali terdapat beberapa sumber untuk mata uang tambahan. Sistem Federal Reserve yang dibuat pada tahun 1913 adalah sebagai respon kepanikan yang melanda bank pada tahun 1907 dan utamanya bertugas menyediakan likuiditas tambahan pada waktu tekanan bank. Pada tahun 19301933, sistem tersebut gagal karena terdapat kenyataan bahwa banyak orangorang dalam sistem tersebut meminta sistem untuk melakukan sesuatu hal dan mengetahui itulah fungsi sistem yang sebenarnya.

    Telah dijelaskan pada waktu itu bahwa pergeseran kuantitas uang adalah konsekwensi dari kurangnya keinginan para peminjam. Mungkin, bukti yang paling tepat melawan interpretasi ini adalah bahwa banyak bank yang gagal karena pembengkokan harga pada jaminan pemerintahan. Sesungguhnya itu menunjukkan, bahwa banyak bank yang melakukan pinjaman privat yang buruk terlihat lebih baik daripada bank yang berhatihati dan membeli sejumlah besar jaminan Kementerian Keuangan dan pemerintahan kota bagi likuiditas sekunder. Alasan ini adalah karena terdapat pasar bagi jaminan pemerintah dan dari sini ketika pengujipenguji bank datang untuk mengecek bank tersebut, mereka akan menurunkan harga dari pemerintah untuk nilai pasar. Bagaimanapun, tidak ada pasar bagi pinjamanpinjaman buruk, dan karena itu mereka tetap melanjutkan buku pada nilai terdepan. Sebagai hasilnya, banyak bank konservatif yang hatihati gagal.     

    Kuantitas uang jatuh hingga sepertiga dan secara kasar sepertiga dari semua bank gagal. Ini adalah suatu cerita yang mengkhawatirkan dan satusatunya hal yang membuat terharu. Point penting bagi tujuan ini adalah sangatlah jelas bahwa selama waktu kontraksi, Federal Reserve melakukannya dengan kekuatan yang dimiliki untuk mencegah penggeseran kuantitas uang dan untuk menghasilkan suatu peningkatan. Kebijaksanaan moneter tidak dicoba dan ditemukan keinginannya. Itu tidak pernah dicoba. Atau, alternatifnya, itu telah dicoba secara salah. Itu telah digunakan untuk memaksakan suatu deflasi yang tak masuk akal dalam perekonomian Amerika dan dalam dunia. Bila Keynes – (dan ini adalah alasan utama) mengapa mengatakan yang sudah dikatakan pada bagian awal bila Keynes telah mengetahui kenyataan mengenai depresi besar seperti yang kita ketahui sekarang, dia tidak bisa menginterpretasikan episode tersebut seperti apa yang telah dilakukan.

 

6.9. Bukti yang Lebih Luas

    Elemen ilmiah lain yang memberikan sumbangan pada reaksi melawan doktrin Keynesian dan menampilkan doktrin baru adalah analisis empiris ekstensif dari hubungan antara kuantitas uang pada satu sisi, dan income, harga, dan tingkat suku bunga pada sisi lain. Mungkin jalan yang paling sederhana untuk menyatakan mengapa relevan untuk memakai kembali elemen esensial dari doktrin Keynesian adalah karena pasifnya velocity. Bila uang meningkat, velocity akan membengkok. Secara empiris, itu menunjukkan bahwa gerakan velocity bermaksud memperkuat keuangan dan bukan menyeimbangkannya. Pada saat kuantitas uang juga membengkok sepertiga dari 1929 hingga 1933 di Amerika Serikat, velocity juga membengkok. Pada saat kuantitas uang meningkat secara cepat di hampir semua negara, velocity juga meningkat dengan cepat. Velocity bukannya menyeimbangkan gerakan kuantitas uang, tetetapi memperkuatnya.

    Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa telah ada perkembangan literatur yang lebih luas dan penggalian hubungan yang telah didemonstrasikan secara jelas mengenai keberadaan hubungan yang konsisten antara perubahan kuantitas uang dan perubahan kepentingan ekonomi dari jenis yang amat berbeda dari situlah Keynes mengangkat keberadaannya.

    Tiupan terakhir, paling tidak di Amerika Serikat, kepada keortodokan Keynesian adalah sejumlah episode dramatis dalam pengalaman domestik akhirakhir ini. Episodeepisode ini bersentral pada dua masalah kunci yaitu: Kunci Pertama, apakah perilaku kuantitas uang atau tingkat suku bunga adalah kriteria yang lebih baik untuk dipakai dalam mengadakan kebijaksanaan moneter. Anda telah memiliki kombinasi yang penuh keingintahuan mengenai bidang bankirbankir sentral ini yang berhubungan dengan doktrin rancangan undangundang sebenarnya pada awal abad 19 pada satu sisi, dan Keynesian pada sisi yang lain, yang sepertinya setuju bahwa perilaku tingkat suku bunga adalah kriteria yang relevan untuk mengadakan kebijaksanaan moneter. Sebagai kontrasnya, interpretasi baru tersebut adalah bahwa tingkat suku bunga adalah indeks menyesatkan dari kebijaksanaan dan bahwa bankir sentral seharusnya lebih melihat pada kuantitas uang.

Kunci kedua, adalah peranan kebijaksanaan fiskal dan kebijaksanaan moneter. Kebijaksanaan fiskal, yang dimaksudkan adalah perubahan pembelanjaan dan pajak pemerintah, yang menahan kuantitas uang tetap konstan. Kebijaksanaan moneter yang dimaksudkan adalah perubahan kuantitas uang yang menahan pembelanjaan dan pajak pemerintah konstan.

 

6.10. Kebijaksanaan Fiskal versus Kebijaksanaan Moneter

    Yang menjadi masalah dalam mendiskusikan peranan relatif dari kebijaksanaan fiskal dan kebijaksanaan moneter sebagian besar adalah bagaimana memisahkan kedua kebijaksanaan tersebut, karena dalam praktek mereka dioperasikan bersamasama hampir di segala waktu. Biasanya bila pemerintah meningkatkan pembelanjaannya tanpa menaikkan pajak , yaitu, bila dibuat suatu defisit agar lebih meluas, akan menyebabkan pembiayaan atas defisit tersebut dengan cara pencetakan uang. Hasilnya, bila terjadi surplus, akan terjadi pemakaian bagian dari surplus tersebut untuk mengistirahatkan uang. Tetetapi dari point analistis pandangan tersebut, dan dari sudut pandang issue tersebut yang berkaitan dengan kontra revolusi itu, pentinglah untuk mempertimbangkan kebijaksanaan fiskal dan kebijaksanaan moneter secara terpisah, untuk menjalankan operasi masingmasing. Para penganut Keynesian memandang sebagai pelaksanaan yang jelas pada posisi masingmasing bahwa kebijaksanaan fiskal sendiri penting untuk mempengaruhi tingkat income, yang suatu defisit besar akan memiliki pengaruh ekspansi yang sama pada ekonomi, baik itu dibiayai dengan meminjam uang umum atau dengan mencetak uang.

    Para ahli moneter menolak pernyataan ini dan bertahan bahwa kebijaksanaan fiskal jelas tidak efektif, jadi yang menjadi masalah adalah apa yang terjadi dengan kuantitas uang. Tanpa persiapan akan terlihat sebagai ide bodoh. Sepertinya absurd (mustail) untuk mengatakan bila pemerintah meningkatkan pembelanjaan tanpa menaikkan pajak yang bila tidak akan menjadi meluas. Kebijaksanaan seperti itu jelasjelas meletakkan income ke tangan orangorang yang dibayar oleh pemerintah untuk pembelanjaan tanpa mengambil dana ekstra dari tangan pembayar pajak. Tidakkah itu jelas, bahwa ekspansi atau inflasi? Berdasar pada point tersebut, ya, tetapi ini hanyalah setengah dari keseluruhan cerita. Kita harus bertanya darimana pemerintah mendapatkan dana ekstra yang dibelanjakan. Bila pemerintah mencetak uang untuk mengikuti rancangan undangundang, itulah kebijaksanaan moneter dan kita mencoba untuk melihat pada kebijaksanaan fiskal itu sendiri. Bila pemerintah mendapatkan dana yang dipinjam dari umum, maka orangorang yang meminjamkan dana tersebut kepada pemerintah memiliki sedikit untuk disimpan atau meminjami yang lain. Efekefek dari belanja pemerintah yang lebih tinggi bisa menjadi pengeluaran yang banyak oleh pemerintah dan juga oleh orangorang yang menerima dana pemerintah, dan pengeluaran yang lebih sedikit oleh orangorang yang memberi pinjaman kepada pemerintah atau juga oleh orangorang yang tidak dipinjami uang. Untuk menemukan efekefek pada pembelanjaan total, seseorang harus naik ke tingkat yang lebih mewah untuk membedakan perilaku dua kelompok orangorang atau untuk mempengaruhi pemerintah meminjam pada tingkat suku bunga. Tidak ada efek order pertama.

 

6.11. Bukti ‘Eksperimen’ Amerika Serikat

    Tes pertama kritikal pada kedua masalah kunci ini tiba di Amerika Serikat pada tahun 1966. Terdapat ancaman pengembangan inflasi dan pada musim semi pada tahun 1966 Federal Reserve Board, walau terlambat, mengerem dengan keras. Dikatakab bahwa mengerem dengan keras karena catatan Federal Reserve selama 50 tahun menunjukkan kebanyakan bertindak macammacam dan terlalu terlambat. Yang paling sering adalah menunggu terlalu lama sebelum bertindak dan bila tiba saatnya untuk bertindak tindakannya terlampau kuat. Pada tahun 1966, akibatnya adalah kombinasi kebijaksanaan moneter yang amat ketat, di bawah keadaan kuantitas uang tidak berkembang selama sembilan bulan terakhir tahun tersebut, dan juga di bawah suatu kebijaksanaan fiskal yang sangat ekspansif. Jadi telah mengalami pengalaman yang amat bagus. Apa yang akan mendominasi? Kebijaksanaan uang ketat ataukah kebijaksanaan fiskal yang mudah? Para penganut Keynesian secara umum menyatakan bahwa kebijaksanaan fiskal yang mudah akan mendominasi dan karena itu meramalkan suatu ekspansi cepat berkelanjutan pada tahun 1967. Para ahli moneter menyatakan bahwa kebijaksanaan moneter yang akan mendominasi, dan itu saling melengkapi. Terdapat penurunan tingkat aktivitas perkembangan ekonomi pertama pada pertengahan 1967, mengikuti kebijaksanaan uang ketat pada tahun 1966. Ketika pada awal 1967 Federal Reserve mengubah kebijaksanaannya dan mencetak uang dengan menggila, kurang lebih enam atau sembilan bulan berikutnya, setelah terlambat seperti biasanya, income menjadi pulih dan ekspansi cepat dalam aktivitas ekonomi mengikutinya. Sangatlah jelas, kebijaksanaan moneter telah mendominasi kebijaksanaan fiskal sebagai lawannya.     Contoh yang lebih dramatis ada pada tahun 1968 dan dari 1968 hingga sekarang. Pada musim panas 1968, di bawah pengaruh Dewan Penasihat Ekonomi dan dengan rekomendasi Presiden Johnson. Kongres mengadakan pajak tambahan 10% pada income. Hal tersebut dilakukan dengan harapan memerangi inflasi yang kemudian berakselerasi. Penganut pandangan Keynesian sangat terbujuk oleh potensi dari senjata ini dan mereka terlalu takut akan ‘kemampuan membunuhnya yang terlalu besar’. Mereka mengira peningkatan pajak akan terlalu banyak dan bisa menghentikan alur ekonomi. Mereka merayu sistem Federal Reserve, atau kalau boleh dikatakan sistem Federal Reserve memiliki pandangan yang sama. Sial bagi Amerika Serikat, tetetapi untung bagi pengetahuan ilmiah, Federal Reserve akhirnya memutuskan bahwa itu memiliki pengganti terbaik bagi efek kemampuan membunuh yang besar dari kebijaksanaan fiskal dengan memperluas kuantitas uang secara cepat. Sekali lagi, dengan memiliki eksperimen terkontrol yang bagus dengan kebijaksanaan fiskal yang amat ketat dan kebijaksanaan moneter yang amat mudah. Sekali lagi, terdapat kontras di antara dua bentuk prediksi tersebut. Penganut Keynesian atau fiskalis menyatakan bahwa tambahan pajak akan menghasilkan penurunan kecepatan produksi yang tajam pada pertengahan tahun pertama 1969, sementara para ahli moneter/moneteris menyatakan bahwa pertumbuhan kuantitas uang yang cepat akan lebih dari pengganti efekefek fiskal, sehingga akan terjadi boom inflasi berkelanjutan pada setengah tahun pertama 1969. Lagilagi, para moneteris terbukti benar. Kemudian pada bulan Desember 1968, Federal Reserve Board tidak bergerak ke uang ketat dalam arti penurunan angka pertumbuhan kuantitas uang dan yang diikuti dengan suatu penurunan kecepatan ekonomi setelah interval yang sesuai. Tes ini, saya katakan, masih dalam proses, tetetapi hingga sekarang terlihat menegaskan kepentingan yang lebih hebat pada moneter daripada efekefek fiskal.

 

6.12. Sintesa Pro dan Kontra Revolusi Teori Moneter

    Seekor burung layanglayang tidak menciptakan musim panas. Kepercayaan terhadap kepentingan hebat dari kebijaksanaan moneter tidak berada pada episodeepisode dramatis. Namun, terletak pada pengalaman ratusan tahun dan dari berbagai negara. Episodeepisode beberapa tahun ini yang mengilustrasikan efekefek tersebut; mereka tidak mendemonstrasikannya. Meskipun demikian, masyarakat umum secara luas tidak bisa diharapkan untuk mengikuti isiisi statistik. Satu episode dramatis lebih berpotensial dalam mempengaruhi masyarakat umum daripada episode tumpukan bukubuku bagus yang agak kurang dramatis. Hasilnya di Amerika Serikat terdapat sejumlah perubahan opini yang drastis, baik yang biasa maupun profesional.

    Perubahan tersebut, lebih besar di Amerika Serikat daripada di Inggris. Sebagai hasilnya, di Inggris didapatkan suatu sensasi. Debat mengenai efekefek moneter di Inggris adalah untuk memburu hubungan identik seperti juga yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat kurang lebih pada tahun 1965. Yang serupa telah pernah terjadi pada tahun 1930. Ketika para ahli ekonomi Inggris berkelana ke pantai terjauh di antara saudarasaudara mereka yang kurang berpendidikan, membawa mereka ke pesanpesan Keynes yang harus mereka rasakan, seperti yang telah dirasakan waktu datang ke pantaipantai ini dalam pengarahan yang berlawanan, bahwa di sinilah tempat yang mereka masuki. Dapat diyakini bahwa mereka memberikan keberatan yang sama seperti yang telah ditolak di Inggris lima tahun sebelumnya. Dan begitu juga sekarang. Kekritisan doktrin moneter di negara ini sekarang adalah pada tingkat naif, suatu tingkatan tidak bagus seperti yang telah kita lawan di Amerika Serikat kurang lebih lima tahun lalu. Patut diberikan penghargaan kepada kelompok ahli ekonomi yang mampu dan aktif bekerja pada statistik moneter, dan mungkin melebihi efekefek yang dimiliki oleh eventevent. Diperkirakan bahwa pembangunan di negara ini akan berlanjut mengimitasi apaapa yang sudah dilakukan di Amerika. Tidak hanya dalam bidang ini, tetetetapi juga di bidangbidang lain seperti yang telah terjadi sebelumnya berada dalam kelompok minoritas dan telah memiliki kesempatan untuk mengobservasi skenario yang berkembang ketika suatu ide diterima secara luas. Ini adalah pola standar. Manakala semua orang mengancam posisi ortodoks, reaksi pertama adalah mengabaikan sang pembaharu. Hanya sedikit orang yang mengatakan ia lebih baik. Tetetapi pada saat ia mulai memenangkan perhatian dan mulai menunjukkan kemarahan, reaksi kedua adalah memperolokoloknya dan menganggapnya sebagai ekstrimis, pemuda bodoh dengan ideide dungu. Setelah stage tersebut lewat, terjadilah stage berikutnya yang paling penting, stage pada saat kita harus memakai pakaiannya. Anda mengambil pandangannya untuk anda sendiri, kemudian memberinya atribut suatu karikatur yang menggambarkan. ‘Dia adalah seorang ekstrimis, yaitu salah seorang dari pemuda yang berkata hanya masalah uang setiap orang tahu hal itu. Tentu saja uang masalahnya, tetapi…’

 

6.13. Pernyataan Kunci Moneterisme

    Dalam upaya menggambarkan keadaan yang menurut Milton Friedman (1970: 14-15), kontra revolusi telah tiba dengan pengaturan daftar secara sistematis tentang pernyataan sentral mengenai moneterisme seperti berikut ini.

1). Terdapat konsistensi meskipun bukan hubungan antara angka pertumbuhan kuantitas uang dan angka pertumbuhan income nominal. (Yang dimaksud dengan income nominal di sini adalah income yang diukur dalam poundsterling atau dalam dolar atau dalam ‘franc‘, bukannya income nyata yang diukur dalam barangbarang nyata). Itulah, pada saat jumlah uang dalam eksistensinya berkembang 3 persen pertahun, 5 persen pertahun atau 10 persen pertahun akan memiliki suatu efek jelas pada berapa kecepatan income nominal berkembang. Bila kuantitas uang berkembang dengan cepat, begitu pula yang terjadi pada income nominal; dan seterusnya.

2). Hubungan ini tidak nampak jelas bagi mata telanjang karena hal ini membutuhkan waktu bagi perubahan dalam pertumbuhan moneter untuk mempengaruhi income, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan amatlah bervariasi. Angka pertumbuhan moneter saat ini tidaklah amat berhubungan dengan angka pertumbuhan income saat sekarang. Pertumbuhan income saat sekarang bergantung pada apa yang telah terjadi pada uang pada masa lampau. Apa yang terjadi pada uang sekarang mempengaruhi yang terjadi pada income dimasa mendatang .

3). Secara ratarata, perubahan yang terjadi pada angka pertumbuhan moneter menghasilkan suatu perubahan angka pertumbuhan income nominal kurang lebih 6 hingga 9 bulan berikutnya. Ini merupakan ratarata yang tidak terjadi pada kasus individual. Kadangkadang penundaannya lebih lama, kadang kadang lebih pendek. Tetapi telah dikejutkan pada betapa besar suatu penundaan ratarata dari 6 hingga 9 bulan yang ditemukan kondisikondisi yang amat berbeda. Mempelajari datadata untuk Jepang, India, Israel, Amerika Serikat, Kanada dan untuk sejumlah negaranegara di Amerika Selatan. Di mana pun negara yang anda ambil, secara umum anda akan mendapatkan penundaan sekitar 6 hingga 9 bulan. Berapa bukti yang jelas mengenai penundaan tersebut tergantung pada berapa varisi yang ada dalam kuantitas uang. Data Jepang secara khusus bernilai karena Bank of Japan sangatlah mengikat untuk kurang lebih 15 tahun dari 1948 hingga 1963 dan menghasilkan gerakan yang amat luas pada angka perubahan kuantitas uang. Sebagai hasilnya, tidak ada kebingungan dalam mendata pada saat angka mencapai puncaknya dan pada saat angka mencapai dasarnya. Sayang bagi ilmu pengetahuan, pada tahun 1963 mereka menemukan moneterisme dan mulai meningkatkan kuantitas uang pada angka stabil yang masuk akal dan sekarang tidak bisa mendapatkan informasi yang lebih banyak dari pengalaman Jepang.

4). Angka pertumbuhan yang berubah dari income nominal secara tipikal memamerkan hasil utama pada output dan jarangjarang pada harga. Bila angka pertumbuhan moneter dikurangi, maka kurang lebih 6 hingga 9 bulan berikutnya, angka pertumbuhan income nominal akan berbelok. Bagaimanapun, angka peningkatan harga akan terpengaruh sangat kecil. Akan terjadi tekanan ke bawah pada harga hanya di saat suatu gap terjadi antara output aktual dan output potensial.

5). Secara ratarata, efek pada harga terjadi kurang lebih 6 hingga 9 bulan setelah efek pada income dan output, sehingga penundaan antara perubahan angka ratarata inflasi kurang lebih 12 hingga 18 bulan. Itulah mengapa dibutuhkan jalan panjang untuk menghentikan inflasi yang telah terlanjur dimulai. Dan hal itu tidak dapat dihentikan dalam semalam.

6). Bahkan setelah adanya bantuan bagi penundaan dalam efek pertumbuhan moneter, hubungannya tetap tak sempurna. Terjadi banyak pemelesetan pemelesetan antara perubahan moneter dan perubahan income.

7. Pada jarak pendek yang bisa mencapai lima atau sepuluh tahun, perubahan

moneter banyak mempengaruhi output. Setelah berbagai dekade, di sisi lain, angka pertumbuhan militer banyak mempengaruhi harga. Apa yang terjadi pada output tergantung pada faktorfaktor nyata: perusahaan, kecerdikan, dan industri orangorangnya; perluasan penghematan; struktur industri dan pemerintah; hubungan antar bangsa, dan lainlain.

8). Hal tersebut mengikuti pernyataanpernyataan yang sudah sejauh ini dikatakan bahwa inflasi adalah fenomena moneter yang selalu ada di mana saja dalam arti bahwa itu bisa dihasilkan hanya dengan perkembangan yang lebih cepat dalam kuantitas uang daripada dalam output. Bagaimanapun, terdapat banyak alasan masuk akal yang berbedabeda bagi pertumbuhn moneter, termasuk penemuan emas, pembiayaan belanja pemerintah dan pembiayaan belanja swasta.

9). Pembelanjaan pemerintah bisa atau tidak bisa menjadi inflasi. Akan jelas terjadi inflasi bila pembiayaannya dengan membuat uang, yaitu, dengan mencetak mata uang atau menciptakan depositdeposit bank. Bila belanjanya dibiayai pajak atau meminjam dari publik/umum, efek utamanya adalah bahwa pemerintah yang menghabiskan dana dan bukannya pembayar pajak atau pemberi pinjaman atau pula orang yang tidak diharapkan meminjam dana tersebut. Kebijaksanaan fiskal sangat dibutuhkan dalam menentukan pembagian income nasional apa yang dibelanjakan oleh pemerintah dan siapa yang menanggung beban pembelanjaan tersebut. Bagi dirinya sendiri, itu tidak penting bagi inflasi. (Ini adalah pernyataan kebijaksanaan fiskal dan moneter yang telah didiskusikan sebelumnya).

10). Satu dari hal-hal yang paling sulit untuk dijelaskan dalam cara yang sederhana adalah keadaan pada saat suatu perubahan kuantitas uang mempengaruhi income. Secara umum, efek yang mengawalinya tidaklah pada income, tetapi pada harga asetaset yang ada, surat kontrak, keadilan, dan kapitalkapital fisik lain. Efek ini, efek likuiditas yang ditekankan oleh Keynes, adalah suatu efek pada lembaran seimbang, bukan pada hitungan income. Suatu angka yang berkembang pada pertumbuhan moneter, apakah diproduksi melalui operasi pasar terbuka ataukah melalui cara lain, akan meningkatkan jumlah uang tunai yang dimiliki secara relatif oleh orang orang dan bisnis bagi asetaset lain. Pemegang uang tunai yang melebihi batas yang ada akan mencoba mengatur portfolioportfolio mereka dengan membeli asetaset lain. Tetetapi pembelanjaan satu orang adalah penerimaan bagi yang lain. Semua orang secara bersamasama tidak bisa mengubah jumlah uang tunai yang telah ada pada tiap-tiap orang hanya otoritas moneter yang bisa melakukan hal itu. Bagaimanapun, pada saat orangorang berusaha untuk mengubah keseimbangan uang tunai mereka, efeknya akan memercik dari satu aset ke aset yang lain. Kecenderungan untuk menaikkan harga aset dan mengurangi tingkat suku bunga ini, yang mendukung pembelanjaan jasa daripada untuk pembiayaan asetaset yang ada. Itulah bagaimana efek awal pada lembaran seimbang sering diterjemahkan dalam suatu efek pada income dan pembelanjaan. Perbedaan dalam bidang ini antara para moneteris dan penganut Keynesian tidaklah pada kewajaran proses, tetapi pada daerah asetaset yang berhubungan. Para penganut Keynesian bertujuan mengonsentrasikan diri pada daerah terbatas dari asetaset yang bisa dipasarkan dan suku bunga tercatat. Para moneteris menekankan bahwa suatu daerah yang jauh lebih luas dari aset dan tingkat suku bunga harus dimasukkan ke dalam penghitungan. Mereka menunjuk pentingnya asetaset seperti barangbarang konsumen yang tahan lama dan semi tahan lama, strukturstruktur dari properti nyata yang lain. Sebagai hasilnya, mereka memandang tingkat suku bunga pasar yang ditekankan oleh Keynesian hanya sebagian kecil dari spektrum total angka yang relevan.

11). Satu hal penting dari mekanisme ini adalah bahwa suatu perubahan pertumbuhan moneter awalnya mempengaruhi tingkat suku bunga dalam satu arah, dan berikutnya pada arah yang berlawanan. Pertumbuhan moneter yang lebih cepat pada awalnya bertujuan menurunkan tingkat suku bunga. Sebagai tambahan, harga yang meningkat memperkenalkan pertentangan antara tingkat suku bunga nyata dan nominal. Itulah mengapa tingkat suku bunga seluruh dunia paling tinggi terjadi pada negaranegara yang memiliki perkembangan paling cepat dalam kuantitas uang dan juga dalam harga negara seperti Brazil, Chili, atau Korea. Dalam arah yang berlawanan, angka pertumbuhan moneter yang lebih perlahan pada awalnya meningkatkan tingkat suku bunga tetetapi setelah itu, pada waktu pembelanjaan dan inflasi harga berkurang, ia menurunkan tingkat suku bunga. Itulah mengapa tingkat suku bunga di seluruh dunia yang paling rendah tejadi di negaranegara yang memiliki angka pertumbuhan kuantitas uang paling rendah negaranegara seperti Swiss dan Jerman. Hubungan dua sisi antara uang dan tingkat suku bunga menjelaskan mengapa para moneteris menekankan bahwa tingkat suku bunga adalah petunjuk yang menyesatkan bagi kebijaksanaan moneter. Ini adalah suatu kaitan pada saat doktrindoktrin moneteris telah memiliki efekefek jelas pada kebijaksanaan Amerika Serikat. Federal Resaerve pada Januari 1970 berganti dari kepercayaan penuh terhadap ‘kondisi pasar uang’ (yaitu tingkat suku bunga) sebagai kriteria kebijaksanaan, menjadi percaya pada ‘pengumpulan moneter’ (yaitu kuantitas uang). Hubungan antara uang dan peningkatan aset (tingkat suku bunga dan penghasilan stok pasar rasio harga) bahkan lebih rendah daripada antara uang dan income nominal. Tampaklah, faktorfaktor selain pertumbuhan moneter memainkan bagian yang sangat penting. Tidak perlu berkata, kita tidak mengetahui detail mereka, tetapi bahwa mereka penting, kita ketahui dari berbagai gerakan dalam tingkat suku bunga dan harga stok pasar yang tidak bisa cepat dihubungkan dengan gerakan dalam kuantitas uang.

 

6.14. Penyimpulan Hatihati

    Pernyataanpernyataan ini secara jelas menunjukkan bahwa kebijaksanaan moneter adalah penting dan bahwa hal yang paling penting dari kebijaksanaan moneter adalah efeknya pada kuantitas uang daripada pada kredit bank atau kredit total atau tingkat suku bunga. Mereka juga menunjukkan bahwa ayunan yang lebar dalam angka perubahan kuantitas uang tidak menstabilkan dan seharusnya dihindari. Tetetapi di luar ini, implikasi yang berbeda terjadi.

    Beberapa moneteris menyimpulkan bahwa perubahanperubahan yang terjadi dalam angka pertumbuhan moneter dengan otoritasnya bisa berguna untuk mengganti kekuatan lain yang menciptakan instabilitas, membentuk instabilitas secara perlahan dan memasukkan ke dalam hitungan yang melibatkan hambatan. Mereka menjalankan penyesuaian yang baik, dengan menggunakan perubahan kuantitas uang sebagai instrumen kebijaksanaan. Moneteris lain, menyimpulkan bahwa pemahaman mengenai hubungan antara uang, harga, dan output sangatlah tipis, bahwa terdapat banyak penghanyutan dalam hubungan hubungan ini, bahwa perubahanperubahan yang patut dipertimbangkan tersebut melakukan lebih banyak bahaya daripada kebaikan. Dapat dipercayai bahwa kebijaksanaan otomatis yang ada di bawah kuantitas uang akan berkembang pada angka yang tetap bulan dalam bulan berlalu, tahun dalam tahun berlalu akan memberikan framework moneter yang stabil bagi pertumbuhan ekonomi tanpa menjadi sumber instabilitas dan gangguan.

    Satu dari kesalahpahaman yang menyebar luas pada posisi moneteris adalah kepercayaan bahwa aturan mengenai angka pertumbuhan dalam kuantitas uang stabil berasal dari keyakinan diri kami dalam suatu hubungan teratur antara perubahan moneter dan perubahan ekonomi. Situasinya sangatlah berlawanan. Bila sangat percaya dalam koneksi mekanis antara uang dan income, dan juga bila berpikir bahwa tahu apa itu dan bila berpikir bahwa Bank Sentral berbagi pengetahuan, manakah yang paling luas, kemudian akan berkata bahwa kita seharusnya menggunakan pengetahuan untuk mengganti kekuatankekuatan lain yang menyebabkan instabilitas. Bagaimanapun, tidak percaya “bila ini bisa jadi kenyataan”. Ratarata terdapat hubungan dekat antara perubahan kuantitas uang dan hubungan berikutnya dari income nasional. Tetapi kebijaksanaan ekonomi harus bersesuaian dengan kasus individual, bukan kasus ratarata. Dalam kasus, terjadi banyak pemelesetan. Tepatnya penghanyutan, kekacauan hubungan, kurangnya hubungan mekanis satusatu antara perubahan uang dan income yang merupakan alasan primer mengapa saya mendukung Amerika Serikat dalam kebijaksanaan militer moneter stok otomatis pada saat kuantitas uang akan berkembang pada angka tetap 4 atau 5 persen per tahun, bulan dalam bulan berlalu. (Angka pertumbuhan yang diinginkan akan berbeda di setiap negara, tergantung pada trendtrend dalam output dan kecenderungan pemegang uang).

Terdapat hal yang hebat mengenai bukti dari masa lalu dalam usaha otoritas moneter agar berbuat lebih baik. Keputusan ini amatlah jelas. Usahausaha agar otoritaas moneter berbuat lebih baik memberi suatu bahaya daripada kebaikan. Tindakantindakan otoritas merupakan sumber utama instabilitas. Seperti yang sudah diindikasikan, tindakan otoritas moneter Amerika Serikat bertanggung jawab atas bencanabencana yang terjadi antara tahun 1929 hingga 1933. Mereka bertanggung jawab atas akselerasi inflasi akhirakhir ini di Amerika Serikat. Itulah mengapa saya, kata Milton Friedman (1968: 95-110), selalu melawan kebijaksanaan moneter sewenangwenang paling tidak hingga kita tahu kapan waktu membatasi kesewenangwenangan dengan aturan yang lebih baik daripada aturan angka pertumbuhan tetap yang disarankan. Itulah mengapa selalu menekankan bahayanya memberi beban terlalu berat pada kebijaksanaan moneter. Seperti juga mempercayai bahwa pengikut Keynes pergi terlalu jauh daripada Keynes sendiri, sehingga berpikir bahaya bila orangorang yang menemukan bahwa sedikit prediksi bagus telah dibuat dengan menggunakan pengumpulan moneter akan mencoba untuk membawa hubungannya lebih jauh daripada yang bisa dilakukan. Menjadi bahaya, jika memberikan kebijaksanaan moneter suatu peran yang terlalu luas daripada kemampuannya, bahaya jika memintanya menyelesaikan tugas yang tidak bisa dilakukannya, bahaya jika pencegahannya memberi sumbangan yang mampu ia berikan.

    Angka tetap pertumbuhan moneter pada tingkat moderat bisa memberikan suatu framework pada saat suatu negara bisa mengalami inflasi kecil dan pertumbuhan besar. Itu tidak akan menghasilkan stabilitas yang sempurna; itu tidak akan menciptakan surga di dunia; tetapi bisa membuat suatu sumbangan penting untuk masyarakat ekonomi yang stabil.

 

 


 

Bab 5

Teori Inflasi

 

 

5.1. Pengertian Inflasi

 

Salah satu peristiwa moneter yang sangat penting dan yang dijumpai di hampir semua negara di dunia adalah inflasi. Definisi singkat dari inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang lain. Syarat adanya kecenderungan menaik yang terus-menerus juga perlu diingat. Kenaikan harga-harga karena, musiman, menjelang hari-hari besar, atau yang terjadi sekali saja (dan tidak mempunyai pengaruh lanjutan) tidak disebut inflasi. Kenaikan harga semacam ini tidak dianggap sebagai masalah atau “penyakit” ekonomi dan tidak memerlukan kebijaksanaan khusus untuk menanggulanginya.

Perkataan “kecenderungan” dalam definisi inflasi perlu digaris bawahi. Kalau seandainya harga-harga dari sebagian besar barang diatur atau ditentukan oleh pemerintah, maka harga-harga yang dicatat oleh Biro Statistik mungkin tidak menunjukkan kenaikan apa pun (karena yang dicatat adalah harga-harga “resmi” pemerintah). Tetapi mungkin dalam realita ada kecenderungan bagi harga-harga untuk terus menaik. Keadaan seperti ini tercermin dari adanya harga-harga “bebas” atau harga-harga “tidak resmi” yang lebih tinggi dari harga-harga “resmi” dan yang cenderung menaik. Dalam hal ini masalah inflasi sebetulnya ada, tetapi tidak diperkenankan untuk menunjukkan dirinya. Keadaan seperti ini disebut suppressed inflation atau ” inflasi yang ditutupi”, yang pada suatu waktu akan timbul dan menunjukkan dirinya karena harga-harga resmi makin tidak relevan dalam kenyataan.

 

5. 2. Macam Inflasi

 

Ada tiga cara untuk menggolongkan inflasi dan yang dipilih tergantung pada tujuan seperti diuraikan berikut ini.

(1). Didasarkan atas “parah” tidaknya inflasi tersebut.

Di sini, inflasi atas dasar kadar keparahan dibedakan menjadi beberapa macam inflasi sebagai berikut.

1). Inflasi ringan (di bawah 10% setahun)

2). Inflasi sedang (antara 10 – 30% setahun)

3). Inflasi Berat (antara 30 – 100% setahun)

4). Hiper inflasi (di atas 100% setahun).

Penentuan parah tidaknya inflasi, sangat relatif dan tergantung pada “selera” yang menamakannya. Menentukan parah tidaknya inflasi tidak bisa hanya dari sudut laju inflasi saja tanpa mempertimbangkan pihak yang menaggung beban atau yang memperoleh keuntungan dari inflasi tersebut. Bila laju inflasi adalah 20% dan semuanya berasal dari kenaikan harga barang yang dibeli oleh golongan berpenghasilan rendah, maka dinamakan inflasi yang parah.

(2). Penyebab Awal Terjadinya Inflasi.

Penyebab awal terjadinya inflasi dibedakan menjadi dua yaitu:

1). Inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai barang terlalu kuat. Inflasi semacam ini disebut demand inflation.

2). Inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi. Ini disebut cost inflation.

Gambar berikut ini menggarisbawahi perbedaan kedua macam inflasi ini. Gambar 5.1.a menunjukkan suatu demand inflation. Karena permintaan masyarakat akan barang-barang (aggregate demand) bertambah (misalnya, karena bertambahnya pengeluaran pemerintah yang dibiayai dengan pencetakan uang, atau karena kenaikan permintaan luar negeri akan barang-barang ekspor, dan karena bertambahnya pengeluaran investasi swasta akibat kredit murah), maka kurva aggregate demand bergeser dari D1 ke D2. Akibatnya tingkat harga umum naik dari H1 ke H2.

 

 

 

 

 

 

 

 

    

Pada gambar 5.1.b. kita lihat bahwa bila biaya produksi naik (misalnya, karena kenaikan harga sarana produksi yang didatangkan dari luar negeri, atau kenaikan harga bahan bakar minyak), maka kurva penawaran masyarakat (aggregate supply) bergeser dari S1 ke S2. Akibat dari kedua macam inflasi tersebut, dari segi kenaikan harga output, tidak berbeda, tetapi dari segi volume output (GDP riil) ada perbedaan. Dalam kasus demand inflation, biasanya ada kecenderungan untuk output (GDP riil) menaik bersama-sama dengan kenaikan harga umum. Besar kecilnya kenaikan output ini tergantung kepada elastisitas kurva aggregate supply ; semakin mendekati output maksimum semakin tidak elastis kurva ini. Sebaliknya, dalam kasus cost inflation, kenaikan harga-harga barang pada umumnya dibarengi dengan penurunan omzet penjualan barang, akibat dari “kelesuan usaha”.

Perbedaan yang lain dari kedua proses inflasi ini terletak pada urutan dari kenaikan harga. Dalam demand inflation kenaikan harga barang akhir (output) mendahului kenaikan harga barang-barang input dan harga-harga faktor produksi (upah dan sebagainya). Sebaliknya, dalam cost inflation kita melihat kenaikan harga barang-barang input dan harga-harga faktor produksi mendahului kenaikan harga barang-barang akhir (output).

Kedua macam inflasi ini jarang sekali dijumpai dalam praktek atau dalam bentuknya yang murni. Pada umumnya, inflasi yang terjadi adalah kombinasi dari kedua macam inflasi tersebut, dan seringkali keduanya saling memperkuat satu sama lain.

(3). Berdasarkan Asal Terjadinya Inflasi.

Penggolongan ketiga adalah berdasarkan asal dari inflasi, yaitu:

1). Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation)

2). Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation)

Inflasi yang berasal dari dalam negeri timbul karena terjadi defisit anggaran belanja yang dibiayai oleh pemerintah dengan pencetakan uang baru, karena panenan gagal dan akibat-akibat lain sebagainya.

Inflasi yang berasal dari luar negeri adalah inflasi yang timbul karena kenaikan harga-harga (yaitu, inflasi) di luar negeri atau di negara-negara langganan berdagang kita. Kenaikan harga barang-barang yang kita impor mengakibatkan: (1) secara langsung kenaikan indeks biaya hidup karena sebagian dari barang-barang yang tercakup di dalamnya berasal dari impor, (2) secara tidak langsung menaikkan indeks harga melalui kenaikan biaya produksi (dan kemudian, harga jual) dari berbagai barang yang menggunakan bahan mentah atau mesin-mesin impor (cost inflation), (3) secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di dalam negeri karena kemungkinan (tetapi ini tidak demikian) kenaikan harga barang-barang impor mengakibatkan kenaikan pengeluaran pemerintah/swasta yang berusaha megimbangi kenaikan harga impor tersebut (demand inflation).

“Penularan” inflasi luar negeri ke dalam negeri bisa lewat kenaikan harga barang ekspor, dan saluran-salurannya hanya sedikit berbeda dengan penularan lewat kenaikan harga barang-barang impor. Penularan inflasi ini terdiri dari seperti berikut.

1). Bila harga barang-barang ekspor (seperti kopi, teh, minyak kelapa sawit, dan lain-lainnya) naik, maka indeks biaya hidup akan naik pula yang disebabkan barang-barang langsung masuk ke daftar barang-barang yang tercakup dalam indeks harga.

2). Bila harga barang-barang ekspor (seperti kayu, karet, timah, dan sebagainya) naik, maka biaya produksi yang menggunakan barang-barang tersebut dalam proses produksinya (seperti perumahan, sepatu, kaleng, dan sebagainya) menjadi naik. Kemudian harga jualnya akan naik pula (cost inflation).

3). Kenaikan harga barang-barang ekspor, berarti menaikkan penghasilan para eksportir dan para produsen barang-barang ekspor tersebut akan naik pula. Kenaikan penghasilan mereka, akan mereka belanjakan untuk membeli barang-barang, baik barang dari dalam maupun dari luar negeri. Bila jumlah barang yang tersedia di pasar tidak bertambah, mengakibatkan harga barang-barang lain menjadi naik pula (demand inflation).

Penularan inflasi dari luar negeri ke dalam negeri lebih mudah terjadi pada negera-negara yang perekonomiannya terbuka, yaitu bagi negara yang sektor perdagangan luar negerinya dianggap penting (seperti Indonesia, Korea, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan sebagainya). Namun, seberapa jauh penularan inflasi tersebut bisa terjadi? Tergantung dari kebijaksanaan pemerintah yang diambil. Dengan berbagai kebijaksanaan moneter dan berbagai kebijaksanaan perpajakan tertentu, pemerintah bisa menetralisir kecenderungan inflasi yang berasal dari luar negeri tersebut.

5. 3. Mengapa Inflasi Timbul?

 

Sebelumnya telah dikenalkan definisi “inflasi”. Semata-mata sebagai suatu gejolak ekonomi. Artinya, sebagai kecenderungan naiknya harga-harga barang. Sampai batas tertentu, masih bisa menganalisis sebab-sebab timbulnya inflasi, khususnya dari segi ekonomis. Penentuan sebab-sebab “ekonomi obyektif” ini seringkali bukanlah tugas yang paling sukar. Dalam praktek, untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya inflasi adalah masalah yang sulit dan pelik. Terutama inflasi yang kronis. Bahkan inflasi yang telah berjalan sangat sulit untuk menanggulanginya. Biasanya, langkah penanggulannya, harus melampaui batas-batas ilmu ekonomi. Artinya, terpaksa memasuki bidang ilmu sosiologi dan ilmu politik.

Masalah inflasi dalam arti lebih luas, bukan semata-mata merupakan masalah ekonomi, tetapi masalah “sosio – ekonomi – politis”. Ilmu ekonomi membantu untuk mengidentifikasi sebab-sebab “obyektif” dari inflasi. Misalnya, identifikasi kebijakan pemerintah mencetak uang terlalu banyak sebagai salam satu faktor penyebab timbulnya inflasi. Timbul pertanyaan, mengapa pemerintah terus mencetak uang, meskipun mereka tahu bahwa tindakan tersebut mengakibatkan inflasi? Jawabannya adalah, terletak pada “sosial – politik”. Sosio politik di sini bisa dikategorikan menjadi tiga sebab seperti berikut ini.

1). Karena pemerintah membutuhkan uang untuk operasi keamanan, karena adanya pertarungan politik di antara golongan-golongan politik di dalam negeri.

2). Karena pemerintah tak berdaya menghadapi tuntutan politik golongan-golongan masyarakat tertentu yang menghendaki “bagian” dari anggaran belanja negara yang lebih banyak daripada yang disediakan dari sumber-sumber penerimaan negara.

3). Karena desakan-desakan golongan masyarakat tertentu untuk memperoleh kredit murah sehingga jumlah kredit yang harus disediakan melebihi dari jumlah yang bisa menjamin kestabilan harga.

    Untuk bisa menghentikan kelebihan jumlah uang beredar maka, perlu dicapai penyelesaian politis terlebih dahulu.

Bentuk faktor-faktor sosial-politis yang menlandasi inflasi, bisa terjadi dalam berbagai ragam. Keanekaragaman faktor-faktor sosial politis tersebut, ditentukan oleh “tata sosial-politis” masing-masing negara. Ahli ekonomi biasanya lebih suka memusatkan perhatiannya pada faktor ekonomis obyektif karena, selain ahli ekonomi itu merasa bahwa “faktor ekonomis obyektif” adalah bidang kompetensinya, juga karena “faktor ekonomis obyektif” tersebut dapat berlaku umum bagi semua negara yang dengan tatanan sosial-politiknya berbeda.

Teori-teori ekonomi mengenai inflasi, lebih memusat pada dalil-dalil umum yang berlaku secara umum. Ini tidak berarti, ahli ekonomi tidak perlu menyelidiki lebih mendalam tentang faktor-faktor sosial-politik dari inflasi. Kalau mereka, para ahli ekonomi, ingin berguna dalam hal menentukan kebijaksanaan yang tepat untuk menanggulangi masalah inflasi di suatu negara, maka mereka harus bisa mencapai “akar” dari permasalahan tersebut, yang belum tentu bersifat ekonomis-obyektif. Namun, teori-teori ekonomi mengenai inflasi berguna sebagai titik tolak dari setiap analisis mengenai inflasi.

Secara garis besar, ada tiga kelompok teori mengenai inflasi yang masing-masing menyoroti aspek proses inflasi, dan masing-masing menyoroti aspek “bukan teori inflasi yang lengkap” mencakup semua aspek proses kenaikan harga. Untuk menerapkan teori inflasi, harus bisa menentukan aspek-aspek mana yang penting secara nyata dalam proses inflasi di suatu negara. Apakah teori yang ini atau teori yang itu, atau apakah dengan kombinasi dari teori-teori yang ini bersama dengan teori yang itu yang lebih cocok untuk diterapkan?. Jawabannya, tergantung daripada penguasaan terhadap teori-teori inflasi, baru kemudian menerapkannya.

5.3.1.
Teori Kuantitas mengenai inflasi

    Teori yang paling tua, namun teori ini, (yang akhir-akhir ini mengalami penyempurnaan-penyempernaan oleh kelompok ahli ekonomi Universitas Chicago), masih sangat berguna untuk menerangkan proses inflasi di zaman modern ini, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Teori ini menyoroti peranan dalam proses inflasi dari: (a) jumlah uang yang beredar, dan (b) psikologi masyarakat mengenai kenaikan harga-harga diharapkan (expectations). Inti dari teori ini adalah sebagai uraian berikut ini.

(1). Inflasi terjadi akibat bertambahnya jumlah uang beredar.

Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume jumlah uang yang beredar (apakah berupa penambahan uang kartal atau penambahan uang giral tidak menjadi soal). Tanpa ada kenaikan jumlah uang yang beredar, kejadian seperti (misalnya, kegagalan panen), hanya akan menaikkan harga-harga untuk sementara waktu saja. Penambahan jumlah uang yang menyebabkan terjadi inflasi, ibarat “bahan bakar” untuk membesarnya kobaran api. Bila jumlah uang tidak ditambah, inflasi akan berhenti dengan sendirinya, apa pun faktor penyebab yang lain untuk timbulnya inflasi, penyebab yang paling awal akan terjadinya inflasi adalah kenaikan harga.

(2).     Laju inflasi terjadi karena kenaikan harga.

Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar dan oleh psikologi masyarakat mengenai kenaikan harga-harga di masa mendatang. Kenaikan harga-harga di masa mendatang, meliputi tiga kemungkinan keadaan yaitu sebagai berikut.

(a). Masyarakat tidak mengharap kenaikan harga.

Bila masyarakat tidak (atau belum) mengharapkan harga-harga naik pada bulan-bulan mendatang. Dalam hal ini, sebagian besar penambahan jumlah uang yang beredar akan diterima oleh masyarakat untuk menambah likuiditasnya (memperbesar pos kas dalam buku neraca anggota masyarakat). In berarti bahwa sebagian besar dari kenaikan jumlah uang tersebut tidak dibelanjakan untuk pembelian barang. Selanjutnya, ini berarti bahwa tidak akan ada kenaikan permintaan yang berarti akan barang-barang, jadi tidak ada kenaikan harga barang-barang (atau harga-harag mungkin naik sedikit sekali). Keadaan seperti ini, kenaikan jumlah uang yang beredar 10% diikuti oleh kenaikan harga sebesar, misalnya 1%. Keadaan ini biasanya dijumpai pada waktu inflasi masih baru mulai dan masyarakat masih belum sadar bahwa inflasi sedang berlangsung.

(b). Masyarakat mulai menyadari adanya inflasi.

Masyarakat (atas dasar pengalaman di bulan-bulan sebelumnya) mulai sadar bahwa ada inflasi. Orang-orang mulai mengharapkan kenaikan harga. Penambahan jumlah uang yang beredar tidak lagi diterima oleh masyarakat untuk menambah pos kasnya, tetapi akan digunakan untuk membeli barang-barang (memperbesar pos aktiva barang-barang di dalam neraca). Hal ini dilakukan karena orang-orang berusaha untuk menghindari kerugian yang timbul seandainya mereka memegang uang tunai. Kenaikan harga (inflasi) tidak lain adalah suatu “pajak”, ini dengan jalan mengubah saldo kasnya menjadi barang. Orang secara perseorangan bisa melakukan penyesuaian dalam neracanya seperti ini, yaitu dengan jalan membelanjakan uang kasnya untuk membeli barang-barang. Dari segi masyarakat secara keseluruhan hal ini berarti adanya kenaikan permintaan akan barang-barang. Akibat selanjutnya adalah naiknya harga barang-barang tersebut. Bila masyarakat mengharapkan harga-harga untuk naik pada masa mendatang sebesar laju inflasi di bulan-bulan yang lalu, maka kenaikan jumlah uang yang beredar akan sepenuhnya diterjemahkan menjadi kenaikan permintaan akan barang-barang. Dalam hal ini kenaikan jumlah uang sebesar misalnya, 10%, akan diikuti dengan kenaikan harga barang-barang mungkin sebesar 10% pula. Keadaan seperti ini biasanya dijumpai pada waktu inflasi sudah berjalan cukup lama, dan orang-orang mempunyai cukup waktu untuk menyesuaikan sikapnya terhadap situasi yang baru.

(c). Masyarakat kehilangan kepercayaan atas nilai uang.


Pada tahap inflasi yang lebih parah yaitu tahap hiper inflasi, masyarakat sudah kehilangan kepercayaannya terhadap nilai mata uang. Keengganan untuk memegang uang kas tersebut diterima di tangan menjadi semakin luas dikalangan masyarakat. Orang cenderung mengharapkan keadaan semakin memburuk: laju inflasi untuk bulan-bulan mendatang diharapkan menjadi semakin besar dibanding dengan laju inflasi di bulan sebelumnya. Keadaan ini ditandai oleh makin cepatnya peredaran uang (velocity of circulation) yang menaik. Dalam keadaan ini kenaikan jumlah uang beredar sebesar, misalnya, 20% akan mengakibatkan kenaikan harga-harga lebih besar dari 20%. Inflasi semacam ini pernah terjadi di Indonesia selama periode tahun 1961 – 1966. Hiper inflasi menghancurkan bukan hanya sendi-sendi ekonomi-moneter tetapi juga sendi-sendi sosial-politik dari suatu masyarakat. Struktur masyarakat yang baru akan timbul menggantikan struktur yang lama.

 

5.3.2. Teori Keynes
mengenai inflasi

Berdasarkan teori makro, dalam menyoroti aspek lain dari inflasi, maka inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Proses inflasi, menurut pandangan ini, tidak lain adalah proses perebutan bagian rezeki di antara kelompok-kelompok sosial yang menginginkan bagian lebih besar daripada yang disediakan oleh masyarakat tersebut. Proses perebutan ini akhirnya menjadi permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (timbulnya apa yang disebut dengan inflationary gap).

(1). Inflationary gap.

Inflationary gap
ini timbul karena golongan-golongan masyarakat tersebut berhasil menterjemahkan aspirasi mereka menjadi permintaan yang efektif akan barang-barang. Dengan lain perkataan, mereka berhasil memperoleh dana untuk mengubah aspirasinya menjadi rencana pembelian barang-barang yang didukung dengan dana. Golongan masyarakat ini mungkin pemerintah sendiri, yang berusaha memperoleh bagian yang lebih luas dari output masyarakat dengan cara menjalankan defisit anggaran belanjanya yang dibiayai dengan mencetak uang baru. Golongan tersebut mungkin juga para pengusaha swasta yang ingin melakukan investasi-investasi baru dan memperoleh dana pembiayaannya dari kredit bank. Golongan tersebut bisa pula serikat buruh yang berusaha memperoleh kenaikan gaji bagi anggota-anggotanya melebihi kenaikan produktivitas buruh.

Bila jumlah dari permintaan-permintaan efektif dari semua golongan masyarakat tersebut, pada tingkat harga yang berlaku, melebihi jumlah maksimum dari barang-barang yang dihasilkan oleh masyarakat, maka inflationary gap timbul. Karena permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia, maka harga-harga akan naik. Adanya kenaikan harga-harga ini berarti bahwa sebagaian dari rencana-rencana pembelian barang dari golongan-golongan tersebut tidak bisa terpenuhi. Pada periode selanjutnya golongan-golongan tersebut akan berusaha untuk memperoleh dana yang lebih besar lagi (dari pencetakan uang baru atau dari kredit yang lebih besar atau dari kenaikan gaji yang lebih besar).

Tentunya tidak semua golongan terut berhasil memperoleh tambahan dana yang diinginkan. Golongan yang bisa memperoleh dana yang lebih banyak bisa memperoleh bagian dari output yang lebih banyak. Mereka yang tidak bisa memperoleh dana akan memdapat bagian output yang lebih kecil. Yang termasuk golongan yang “kalah” dalam proses perebutan ini adalah golongan-golongan yang berpenghasilan tetap atau yang penghasilannya tidak naik secepat laju inflasi (golongan-golongan ini antara lain termasuk kaum pensiunan, pegawai negeri, para petani yang harus menjual hasilnya pada harga yang dikenakan stabilisasi harga, para karyawan perusahaan yang tidak mempunyai serikat buruh atau yang tidak mempunyai saluran yang efektif untuk memperjuangkan perbaikan nasib mereka). Proses inflasi akan terus berlangsung selama jumlah permintaan efektif dari semua golongan masyarakat melebihi jumlah output yang bisa dihasilkan masyarakat. Inflasi akan berhenti bila permintaan efektif total tidak melebihi, pada tingkat harga yang berlaku, jumlah output yang tersedia.

Gambar 5.2 menunjukkan keadaan pada saat inflationary gap tetap timbul. Di sini kita menganggap bahwa semua golongan masyarakat bisa memperoleh dana yang cukup untuk membiayai, pada tingkat harga yang berlaku, rencana-rencana pembelian mereka. Dengan timbulnya inflationary gap (misalnya, pemerintah memperbesar pengeluarannya dengan jalan mencetak uang baru), kurva permintaan efektif bergeser dari D1 ke D2. Inflationary gap sebesar Q1Q2 timbul dan harga naik dari P1 ke P2. Kenaikan harga ini mengakibatkan rencana pembelian golongan masyarakat (termasuk pemerintah sendiri) tidak terpenuhi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Karena jumlah barang-barang yang tersedia tidak bisa lebih besar lagi daripada OQ1, maka yang terjadi hanyalah realokasi barang-barang yang tersedia dari golongan-golongan lain dalam masyarakat kepada sektor pemerintah. Seandainya pada periode berikutnya golongan-golongan masyarakat lain tersebut memperoleh dana untuk membiayai rencana-rencana pembeliannya yang lama dengan harga-harga baru yang lebih tinggi, dan pemerintah tetap pula berusaha memperoleh jumlah barang-barang seperti yang direncanakan pada periode sebelumnya dengan harga-harga baru yang lebih tinggi (dan di sini perlu dicetak lagi uang baru), maka inflationary gap sebesar Q1Q2 akan timbul lagi. Harga akan naik lagi dari P2 ke P3. Kalau setiap golongan masyarakat tetap berusaha memperoleh jumlah barang-barang yang sama dan mereka berhasil memperoleh dana untuk membiayai rencana-rencana tersebut pada tingkat harga yang berlaku, maka inflationary gap akan tetap timbul pada periode selanjutnya. Dalam hal ini harga-harga akan naik terus-menerus.

(2). Inflationary gap akan berhenti dengan sendirinya.

Inflasi akan berhenti hanya apabila salah satu golongan masyarakat tidak lagi (atau tiak bisa lagi) memperoleh dana untuk membiayai rencana pembelian barang-barang pada harga yang berlaku, sehingga permintaan efektif masyarakat secara keseluruhan tidak lagi melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (inflationary gap hilang).

Perhatikan bahwa mereka yang “menang” dalam perebutan ini adalah mereka yang paling mudah untuk memperoleh dana tambahan untuk membiayai rencana pembelian mereka. Mereka yang tidak bisa dengan mudah memperoleh dana untuk membiayai rencana pembelian barang mereka dengan harga-harga yang baru (yang lebih tinggi) terpaksa harus menerima bagian yang lebih kecil dari barang-barang yang tersedia daripada bagian mereka sebelum proses inflasi terjadi. Secara umum mereka yang berpenghasilannya (dananya) tidak naik secepat kenaikan harga-harga akan ketinggalan kereta dan harus menerima bagian barang-barang yang semakin kecil.

Gambar 5.3 menunjukkan proses inflasi yang akhirnya berhenti karena inflationary gap makin mengecil dan akhirnya hilang pada periode ke 5, pada saat itu harga menjadi stabil pada P5. Di balik proses ini beberapa golongan masyarakat menerima bagian output yang lebih kecil. Inflasi memang selalu diikuti dengan adanya redistribusi pendapatan.

 

 

 

 

 

Gambar X.4

 

 

 

 

5.3.3. Teori Strukturalis
mengenai inflasi

Teori strukturalis mengenai inflasi lahir atas dasar pengalaman di negara-negara Amerika Latin. Teori ini memberikan tekanan pada ketegaran (figidities) dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang. Karena inflasi dikaitkan dengan faktor-faktor struktural dari perekonomian (yang menurut definisi, faktor-faktor ini hanya bisa disebut teori inflasi “jangka panjang”). Dengan lain perkataan, yang dicari di sini adalah: faktor-faktor jangka panjang manakah yang bisa mengakibatkan inflasi (yang berlangsung lama)? Menurut teori ini, ada dua ketegaran utama dalam perekonomian negara-negara sedang berkembang yang bisa menimbulkan inflasi.

(1). Penerimaan ekspor tidak elastis.

Ketegaran yang berupa “ketidak-elastisan” penerimaan ekspor, yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara lamban dibandingkan dengan pertumbuhan sektor-sektor lain, juga menyebabkan timbulnya inflasi. Kelambanan tumbuhnya nilai ekspor ini disebabkan alasan seperti berikut ini.

(a). Dasar Penukaran (Terms of trade) memburuk.

Harga di pasar dunia dari barang-barang ekspor negara tersebut makin tidak menguntungkan (dibanding dengan harga barang-barang impor yang harus dibayar), atau sering disebut dengan istilah bahwa dasar penukaran (terms of trade) makin memburuk. Sering dianggap bahwa harga barang-barang hasil alam, yang merupakan ekspor dari negara-negara sedang berkembang, dalam jangka panjang naik lebih lambat daripada harga barang-barang industri, yang merupakan impor negara-negara sedang berkembang,

(b). Produksi Barang Ekspor tidak responsif

Suplly atau produksi barang-barang ekspor yang tidak responsif terhadap kenaikan harga (supply barang-barang ekspor yang tidak elastis). Kelamban pertumbuhan penerimaan ekspor ini berarti kelambanan kemampuan mengirim barang-barang yang dibutuhkan (untuk konsumsi maupun investasi). Akibatnya, negara tersebut (yang berusaha, sesuai rencana pembangunannya untuk mencapai target pertumbuhan tertentu) terpaksa mengambil kebijaksanaan pembangunan yang menekankan pada penggalakan produksi dalam negeri dari barang-barang yang sebelumnya diimpor (import substitution strategy), meskipun seringkali produksi dalam negeri ini mempunyai biaya produksi yang lebih tinggi (dan sering pula dengan kualitas yang lebih rendah) daripada barang-barang yang sejenis yang diimpor. Biaya produksi yang lebih tinggi ini mengakibatkan harga yang lebih tinggi. Bila proses substitusi impor ini makin meluas, kenaikan biaya produksi juga makin meluas ke berbagai barang (yang tadinya diimpor), maka harga-harga barang semakin naik, otomatis terjadi inflasi.

(2). Produksi barang bahan makanan dalam negeri tidak elasits

Ketegaran yang kedua berkaitan dengan “ketidak-elastisan” dari supply atau produksi bahan makanan di dalam negeri, juga menyebabkan timbulnya inflasi. Artinya, produksi bahan makanan dalam negeri tidak tumbuh secepat pertambahan penduduk dan penghasilan per kapita, sehingga bahan makanan di dalam negeri cenderung untuk menaik melebihi kenaikan harga barang-barang lain. Akibat selanjutnya adalah timbulnya tuntutan dari para karyawan (di sektor industri) untuk memperoleh kenaikan upah/gaji. Kenaikan upah berarti kenaikan ongkos produksi, yang berarti pula kenaikan harga dari barang-barang tersebut. Kenaikan harga barang-barang seterusnya mengakibatkan timbulnya kenaikan upah lagi. Kenaikan upah kemudian diikuti oleh kenaikan harga-harga. Demikian seterusnya. Proses ini akan berhenti dengan sendirinya seandainya harga bahan makanan tidak terus menaik. Tetapi oleh karena faktor struktural tadi, harga bahan makanan akan terus menaik, sehingga proses saling mendorong atau proses “spiral” antara harga dan upah tersebut terus selalu mendapat “umpan” baru dan tidak berhenti.

Proses inflasi yang timbul karena kedua ketegaran tersebut dalam praktek jelas tidak sendiri-sendiri. Umumnya kedua proses tersebut saling berkaitan dan seringkali memperkuat satu sama lain. Misalnya, produksi bahan makanan dalam negeri akan menimbulkan tekanan untuk mengimpor bahan makanan dan selanjutnya membuat neraca pembayaran semakin parah. Selanjutnya mendorong proses substitusi impor yang berlebihan, dan selanjutnya kenaikan harga-harga.

(3). Kesimpulan teori Strukturalis.

Mengenai teori strukturalis ini tiga hal yang perlu dicatat sebagai berikut.

(a). Teori ini menerangkan proses inflasi jangka panjang di negara-negara yang sedang berkembang.

(b). Di balik “cerita inflasi” ala strukturalis ini ada asumsi (yang tidak disebutkan secara eksplisit) bahwa jumlah uang yang beredar bertambah dan secara pasif mengikuti dan menampung kenaikan harga-harga tersebut. Dengan lain perkataan, proses inflasi tersebut hanya bisa berlangsung terus hanya apabila jumlah uang, proses tersebut akan berhenti dengan sendirinya. Di sini, dan juga dalam teori inflasi Keynes, ternyata Teori Kuantitas tetap berlaku, meskipun hanya di belakang layar.

(c). Tidak jarang faktor-faktor “struktural” yang dikatakan sebagai penyebab yang paling dasar dari proses inflasi tersebut bukan 100% “struktural”. Sering dijumpai bahwa ketegaran-ketegaran tersebut disebabkan oleh kebijaksanaan harga/moneter pemerintah sendiri. Sebagai misal, ketidakmampuan produksi bahan makanan dalam negeri untuk tumbuh mungkin sekali disebabkan oleh harga bahan makanan di dalam negeri yang ditekan rendah sehingga gairah berproduksi petani menurun. Sering pula dijumpai bahwa ketidakmampuan produksi barang-barang ekspor untuk tumbuh disebabkan kurs valuta asing ditekan terlalu rendah dengan maksud untuk menekan inflasi. Seringkali pula ketidakelastisan ini disebabkan oleh adanya pungli-pungli, sehingga harga barang-barang ekspor yang betul-betul diterima produsen rendah, dan kurang cukup untuk menggairahkan produksi. (Apakah pungli-pungli ini kita sebut faktor “struktural” atau bukan, itu masalah definisi saja).

Bab 4

Permintaan dan Penawaran Uang

 

 

4.1. Permintaan Uang

 

4.1.1. Likuiditas Transaksi

Permintaan terhadap uang kertas dan uang cek ditentukan oleh kebutuhan masyarakat di dalam memelihara likuiditas. Ada dua alasan masyarakat membutuhkan likuiditas. Pertama, untuk memperlancar transaksi jual beli. Permintaan uang tunai untuk tujuan ini dikenal sebagai likuiditas transaksi (Lt). Jumlah Lt tergantung pada frekuensi pemakaian uang tunai yang biasa berlaku, misalnya untuk pembayaran upah dan gaji, sewa, makanan dan keperluan rumah tangga, atau transaksi lain. Likuiditas transaksi (Lt) juga mencakup uang untuk berjaga-jaga, atau untuk menutupi keperluan tak terduga. Lt meningkat apabila pendapatan nasional meningkat atau terjadi monetisasi (merupiahkan) perekonomian di pedalaman. Moneterisasi berarti penyerapan perekonomian rakyat dalam perekonomian pasar. Kedua, untuk dibiarkan idle (mandeg / nongkrong) tanpa menghasilkan laba atau bunga. Permintaan uang tunai untuk keperluan seperti ini disebut likuiditas nongkrong (Ln). Likuiditas mandeg bisa dianggap sebagai aset, setara dengan aset-aset keuangan dan fisik lain yang tidak menghasilkan bunga atau sewa. Bedanya, likuiditas tersebut bisa dipakai untuk pembayaran tunai, tanpa harus merugi seperti aset-aset lainnya.

Menyimpan uang tunai mengandung opportunity cost (biaya yang timbul karena mengabaikan kesempatan yang ada). Dalam kasus ini kesempatan tersebut berupa pendapatan bunga. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat suku bunga, umumnya, semakin kecil likuiditas nongkrong. Begitu pula sebaliknya, likuiditas nongkrong semakin besar bila suku bunga semakin kecil.

Berkaitan dengan permintaan uang, ada dua hal yang perlu kita catat. Pertama, kita harus membedakan volume uang tunai yang sudah ada dengan uang tunai yang diinginkan. Uang tunai yang sudah ada tidak
lain adalah uang yang beredar (M). Apabila masyarakat sudah merasa puas dengan uang tunai yang mereka miliki, maka itu menandakan keseimbangan antara M dan L telah terjadi (M = L). Bila kemudian Bank Sentral menambah uang beredar melalui pemberian kredit, maka timbullah extra cash atau uang ekstra (M > L). Uang ekstra menyebabkan ketidakstabilan dan mendorong masyarakat untuk berbelanja lebih banyak. Gejala itu disebut uang ekstra membakar dan membolongi saku supaya kita membelanjakan uang. Jika itu benar terjadi, uang ekstra berubah menjadi likuiditas transaksi Lt.

Kedua, harus membedakan nilai nominal dengan nilai riil uang tunai. Sering pembedaan ini tidak dilakukan karena uang dianggap berperan pasif dan netral terhadap tingkat harga. Bila harga naik 3x, maka uang tunai juga harus naik 3x. Anggapan semacam itu didasari pemikiran bahwa produksi ditentukan oleh faktor-faktor produksi riil dan teknologi, sedangkan uang hanya berperan menaikkan harga produksi. Padahal, uang juga bersifat aktif dengan ikut menentukan kenaikan pendapatan riil. Bila nilai uang tunai bertambah, dan pembelian barang-barang bertambah, maka penerimaan uang para pengusaha akan naik. Kenaikan penerimaan mendorong pengusaha memperluas produksi sehingga produksi riil bertambah. Secara singkat bisa dikatakan, peningkatan nilai riil uang tunai meningkatkan produksi. Sebaliknya, penurunan nilai riil uang tunai menurunkan produksi.

Bila uang tunai yang tersedia berjumlah Rp 300 juta dan harga barang X Rp 5,-, maka barang X dapat dibeli adalah 300 : 5 = 60 juta. Bila kemudian harga naik tiga kali lipat menjadi Rp 15,- maka nilai nominal uang tunai menjadi Rp 900 juta, yaitu jumlah yang diperlukan untuk membeli 60 juta barang yang sama. Sedangkan nilai riil uang tunai nominal dengan Rp 300 juta, hasil pembagian uang tunai nominal dengan tingkat harga (M/P). Konsep uang riil itulah yang dipakai dalam uraian moneter selanjutnya. Variabel-variabel lainnya diartikan dalam konsep riil. Permintaan likuiditas transaksi ditentukan oleh tingkat pendapatan riil (Y/P), dan likuiditas mandeg dengan suku bunga riil (i/P).

Grafik (4.1.a) menunjukkan bahwa Lt riil naik, apabila tingkat pendapatan riil meningkat. Bila tingkat pendapatan naik dari Y1 menjadi Y2, maka uang tunai L1 naik dari Lt1 menjadi Lt2. Suplai uang juga naik dari M1 menjadi M2 sehingga pendapatan riil meningkat sebesar dLt.

Andaikan suplai uang M2 dan Lt berkurang menjadi Lt, maka keinginan memelihara likuiditas lebih kecil daripada suplai uang. Dengan kata lain, masyarakat lebih menyukai memiliki barang ketimbang uang tunai. Akibatnya, pembelian barang bertambah, sehingga menimbulkan kenaikan harga dan pendapatan. Pendapatan pada tingkat Y3 hanya merupakan pendapatan nominal, sedang riilnya adalah Y3/P = Y2. Pada tingkat Y3, Lt, seimbang dan sama dengan M2 dalam arti nominal.

Grafik 4.1

Likuiditas Transaksi dan Mandeg

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4.2. Likuiditas Mandeg

Pada grafik (b) permintaan likuiditas mandeg berhubungan terbalik dengan suku bunga riil. Bila suku bunga turun dari i2 menjadi i1, maka likuiditas nongkrong tadi naik dari Ln1 menjadi Ln2.

Bank Sentral di negara maju, bila ingin memperbesar peredaran uang, akan meningkatkan pembelian surat-surat berharga dari tangan masyarakat. Pembelian itu membuat harga surat berharga naik dan suku bunga turun, oleh karena harga saham selalu berhubungan terbalik dengan tingkat suku bunga.

Bila tingkat suku bunga sudah sangat rendah yang berarti harga saham dan alat finansial lainnya sangat tinggi, masyarakat lebih suka memegang uang tunai. Itu membuktikan bahwa permintaan uang nongkrong sangat elastis terhadap suku bunga (kurva Ln mendatar). Di negara sedang membangun, mekanisme itu tidak berjalan. Substitusi uang dengan aset finansial hampir tidak ada. Paling-paling uang tunai disimpan dalam bentuk deposito, tidak dalam bentuk alat finansial yang suku bunganya lebih tinggi. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa gejala membungakan uang nongkrong juga terjadi di Indonesia. Umumnya uang nongkrong langsung dialihkan oleh pihak ketiga menjadi likuiditas transaksi, dan dipakai terutama untuk pembelian barang-barang atau aset fisik lainnya ketimbang alat-alat keuangan.

Oleh karena itu, akan lebih cocok dengan kenyataan apabila Lt dan Ln digabung menjadi L. Lagi pula dalam praktek kita sulit memisahkan likuiditas transaksi dengan likuiditas nongkrong. Karena itu, rumus permintaan likuiditas berubah menjadi L = L (Y, i). Rumus itu dikenal sebagai monetary model.

Grafik 4.2 menunjukkan kenaikan kurva L mengikuti kenaikan tingkat pendapatan (Y). Kenaikan tingkat L pada tiap kenaikan tingkat Y mempertinggi suku bunga (i). Setiap kurva L dalam grafik menunjukkan bahwa likuiditas naik apabila suku bunga turun. Tetapi, kenaikan likuiditas yang disertai kenaikan pendapatan juga menaikkan suku bunga. Bila Bank Sentral mempertahankan suplai uang beredar pada M1, maka suku bunga akan naik pada setiap tingkat likuiditas dan pendapatan. Sebagai contoh, suku bunga meningkat dari i5 menjadi i4 pada kenaikan Y1 menjadi Y2. Itu menunjukkan bahwa meskipun jumlahnya tetap, uang dapat menjadi semakin langka apabila, tingkat pendapatan naik. Selanjutnya kelangkaan itu menyebabkan tingkat suku bunga naik dan perputaran uang (velocity) lebih cepat.

Grafik 4 .2

Tingkat Likuiditas pada setiap Tingkat Pendapatan


i

Y4 Y5


Y3


Y2

i1 Y1

 

i2

i3     X

i4

 

i5

 

 

 

0 M1 M2             M, L

 

Bila suku bunga tetap, kenaikan pendapatan harus dibarengi kenaikan uang beredar. Kenaikan suku bunga di Indonesia selama ini, dapat dilihat sebagai kelalaian BI dalam persediaan uang dengan permintaan likuiditas masyarakat.

Grafik 4.2. di atas melukiskan kerangka landasan analisis dan model moneter. Model ini tersusun dari empat variabel, yaitu penawaran uang, permintaan likuiditas, pendapatan dan tingkat suku bunga. Kunci penentu keseimbangan keempat variabel tersebut terletak pada keseimbanagn M dan L. Bila M > L, maka terjadi kelebihan penawaran uang, sehingga tingkat suku bunga akan turun. Sebaliknya bila L > M, terjadilah kelebihan permintaan uang, sehingga tingkat suku bunga naik. Kedua hipotesis ini akan mengarahkan langkah-langkah penyesuaian untuk menyeimbangkan M dan L pada tingkat pendapatan dan suku bunga tertentu.

4. 1. 3. Konsep dan Definisi M yang Lebih Tepat

 

BI membedakan uang beredar (M) menjadi dua, yaitu M1 dan M2. M2 melupiti uang kertas, uang cek, dan uang kuasi.

Sebagian besar uang operasional hasil moneterisasi pinjaman valuta asing dibukukan sebagai mata uang kuasi perbankan. Padahal, uang kuasi tersebut tidak sama sifatnya dengan uang kuasi masyarakat, misalnya deposito. Deposito masyarakat semata-mata disimpan untuk menghasilkan bunga. Sebaliknya, sekalipun dibikukan sebagai deposito berjangka, uang kuasi hasil monetisasi (dirupiahkan) tersebut dipergunakan untuk keperluan transaksi.

Pemakaian definisi uang kuasi yang tidak tepat seperti itu, menyebabkan BI tidak dapat menyusun statistik M2 dengan akurat. Pergeseran definisi uang kuasi mengaburkan perbedaan antara M1 dan M2. Likuiditas transaksi menjadi mengandung uang yang tidak dibungakan namun disebut uang kuasi. Uang kuasi demikian, yang jumlahnya sangat besar, seyogyanya dimasukkan ke dalam kategori M1 untuk membatasi definisi uang kuasi pada uang yang dibungakan saja. Tetapi sekaligus juga harus diingat, uang kuasipun banyak yang terhisap dalam likuiditas transaksit. Karena itu, lebih tepat jika M2 ditafsirkan sebagai M1 saja, dan jumlahnya sama dengan Lt. Ex-post penawaran dan permintaan uang selalu sama, oleh karena itu Lt = M2 lama = M1 baru.

Demikian pula dengan pemisahan saldo rekening giro (uang cek) dan simpanan berjangka dengan tabungan dalam statistik perbankan. Pemisahan itu hanyalah klasifikasi artifisial. Keduanya memiliki likuiditas sama sehingga digunakan sebagai likuiditas transaksi. Oleh sebab itu, lonjakan likuiditas transaksi selama 10 tahun terakhir disebabkan maraknya permintaan investasi.

 

 

4.2. Suplai Uang

 

4.2.1. Peranan Bank Sentral

 

Uang cek dan deposito diciptakan oleh perbankan, dan uang kertas hanya oleh BI. Pengawasan dan pengendalian terhadap jumlah kedua uang itu sepenuhnya berada di tangan BI.

BI mengendalikan suplai uang cek dan deposito dengan menentukan besar rasio cadangan atau reserve ratio (rr). Rasio cadangan merupakan perbandingan antara simpanan wajib (SW) bank, yang berupa deposito bank di BI, dengan dana masyarakat di tangan bank yang bersangkutan. Melalui rasio cadangan itu, secara tidak langsung BI mengendalikan SW atau cadangan wajib (legal reserves). Supaya setiap bank memenuhi SW yang ditentukan, BI mengenakan denda kepada bank yang memiliki SW lebih kecil daripada yang diharuskan.

Volume uang kertas yang dikeluarkan BI besarnya tidak selalu sama dengan volume uang kertas yang beredar. Perbedaan itu timbul karena uang tunai dalam kas perbankan tidak dimasukkan dalam perhitungan jumlah uang kertas yang beredar. Karena itu, meski uang kertas dikeluarkan oleh BI, pengendalian terhadap peredaran uang kertas masih tetap diperlukan.

Besar kecilnya uang kertas yang beredar ditentukan oleh preferensi (hasrat) masyarakat dan pengusaha terhadap uang kertas atau uang cek dan deposito. Prefensi ini menunjukkan suatu perbandingan antara pemakaian uang kertas terhadap uang cek dan deposito. Diagram di bawah ini menunjukkan contoh preferensi masyarakat dan pengusaha terhadap uang kertas atau uang cek.

Gambar: 4. 3

Preferensi terhadap Uang Kertas atau Uang Cek

 

 

 

 

 

Garis putus-putus dalam diagram adalah indikator preferensi masyarakat. Garis tersebut cenderung berada di sisi kiri atau bergeser ke kiri, apabila masyarakat condong menggunakan uang cek dibanding uang kertas. Demikian pula sebaliknya. Garis akan bergeser ke kanan bila masyarakat lebih banyak menggunakan uang cek atau deposito dibanding uang kertas atau uang cek.

Perbandingan atau rasio pemakaian uang kertas terhadap uang cek dan deposito (kc) mempengaruhi jumlah cadangan wajib. Semakin kecil kc, semakin besarlah cadangan wajib. Cadangan wajib yang besar, pada gilirannya, akan memperbesar peluang perbankan untuk memperluas kredit, cek, dan deposito.

Pengawasan dan pengendalian BI terhadap jumlah uang yang beredar sangatlah penting. Ketidakstabilan ekonomi bisa berawal dari ketidakstabilan jumlah uang beredar. Ambil saja kasus inflasi atau resesi. Inflasi terjadi karena berbagai sebab, termasuk karena uang beredar terlalu berlebihan. Agar pengendalian dan pengawasan itu seksama, BI harus mulai memprioritaskan pembentukan struktur, pasar, dan alat-alat keuangan perbankan yang sehat dan efisien. BI juga harus selalu bertindak sebagai lender of last resort yang siap sedia memberi perlindungan dan bantuan jika perbankan menghadapi kesulitan likuiditas yang mendadak. Di mata perbankan, BI bukanlah pengawas yang memata-matai, tetapi lebih sebagai pengayom, disebut dengan bankers’ bank.

 

4.2.2. Suplai Uang Primer

Basis seluruh uang beredar adalah uang kertas yang beredar, dan uang kertas dalam kas perbankan. Basis itu dikenal dengan berbagai sebutan, seperti uang primer, uang inti (base money), cadangan moneter (monetary reserves), reserves money, high powered money, atau R.

Apa pun sebutan yang dipakai, hanya BI yang bisa menciptakannya. BI menciptakan uang primer seolah-olah berhutang pada dirinya sendiri. Proses penciptaan seperti ini terjadi dalam berbagai kesempatan, antara lain pada saat BI membeli aset. Pembayaran atas pembelian aset itu mendorong BI menciptakan uang primer, bisa berupa uang kertas ataupun rekening koran (R/K).

Proses penciptaan ini bisa dilihat dalam neraca BI di bawah. Sisi aktiva dan pasiva masing-masing menunjukkan sumber dan penggunaan atau pengalokasian uang primer.

Neraca BI itu menunjukkan bahwa sumber terbesar uang primer, terutama dalam 1995-1996, adalah pembelian valuta asing (aktiva, pos 1). Pada 1991, uang primer berjumlah Rp 12,10 trilyun, naik 114% pada 1995 dan 184% pada 1996, menjadi Rp 25,90 trilyun dan 34,4 trilyun. Pada saat yang sama, penjualan valas perbankan kepada BI, semula hanya RP 25,20 trilyun juga naik 70% pada 1995 dan 136% pada 1996, atau menjadi Rp 42,90 trilyun dan Rp 59,70 trilyun.

Tabel 4.1

Neraca Bank (Trilyun Rupiah)

 

  

1991

1993

1995

1996

Aktiva

  

  

  

  

1. Emas dan valuta asing

25.20

39.50

42.90

59.70

2. Tagihan pada bank

14.10

12.30

17.20

20.60

3. SPBU

4.30

1.40

4.30

0.20

4. Tagihan pada Pemerintah

6.00

8.60

3.80

3.80

5. Lain-lain

5.60

6.10

6.70

7.20


Aktiva = Passiva

55.20

68.40

74.60

91.30

Passiva

  

  

  

  

1. Uang Primer

12.10

17.60

25.90

34.40

a. Uang kertas/logam

10.90

16.30

23.70

26.30

b. R/K bank-bank

1.20

0.90

1.80

7.70

2. R/K pribadi-pribadi

0.20

0.40

0.30

0.40

3. R/K valuta asing

0.60

1.00

1.50

2.60

4. Passiva luar negeri

0.70

0.70

0.40

2.20

5. R/K Pemerintah

15.10

16.20

21.30

22.80

6. SBI

10.90

23.30

11.90

18.60

7. Modal BI

2.10

1.80

2.10

2.60

8. Lain-lain

13.50

7.80

14.70

24.70

Sumber : BI, Laporan Mingguan, Maret 1996

 

Sebenarnya, kredit likuiditas BI kepada perbankan (pos 2) adalah sumber uang primer berikutnya. Uang primer yang tercipta dari kredit likuiditas ini berupa R/K bank-bank (pasiva, pos 1b) terutama berbentuk SW. Dalam kenyataan, hanya sebagian kecil pos ini yang menjadi sumber uang primer. Bagian terbesar lainnya justru tidak berpengaruh terhadap uang primer karena disalurkan melalui SBI (pasiva, pos 6). BI berperan seperti kantor pos belaka, yaitu pihak yang melaksanakan penerimaan dan pembayaran pos-wesel dan giro dengan imbalan ongkos administrasi tanpa memiliki sepeser pun uang tersebut.

Kondisi yang sama juga berlaku untuk rekening-rekening pemerintah di bagian aktiva dan pasiva neraca BI (Tagihan pada Pemerintah dan R/K Pemerintah). Transaksi rekening ini menandakan hubungan debet dan kredit belaka, karena pemerintah juga menggunakan BI sebagai kantor pos. Padahal, pemerintah sebenarnya telah memelihara rekeningnya sendiri, yaitu berupa APBN dan deposito pada bank-bank komersial. Namun, uang dalam rekening ini menjadi sumber uang beredar (M), dan bukan sebagai uang primer ®.

BI tidak pernah menganalisis uang primer berdasarkan neraca keuangan BI seperti di atas, karena analisis moneternya lemah. Karena itu, segala implikasi yang tersirat dalam transaksi-transaksi tersebut, juga tidak mungkin masuk dalam perhitungan BI, seperti akan dijelaskan lebih lanjut.

 

4. 3. Keran (Saluran) Tambahan Uang

Seperti telah dikatakan, pada 1991 hingga 1996, BI banyak melakukan pembelian valuta asing terutama dari para konglomerat. Mereka mendapatkan valuta asing dan pinjaman luar negeri dengan bunga yang jauh lebih rendah dari pada bunga pinjaman dalam negeri seperti dalam tabel 4.2 berikut.

Tabel 4.2

Tingkat Suku Bunga Pasar Uang Masa Jatuh Tempo 3 Bulan

 

Tahun

SBI

Libor

Sibor

1993

13,69%

3,31%

3,34%

1994

12,70

4,77

4,79

1995

14,75

6,04

6,05

1996

14,5

5,51

5,51

Menurut Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (tabel 4.3), dalam kurun waktu tersebut uang kuasi meningkat tajam, yaitu dari Rp 72,7 trilyun pada 1991, menjadi Rp 170,0 trilyun pada 1995, dan Rp 224,5 trilyun pada 1996. Kenaikan ini jauh melebihi kenaikan uang kertas dan uang cek. Kedua uang ini pada 1996 baru mencapai Rp 64,1 trilyun, dari Rp 26,3 trilyun pada 1991 dan Rp 52,7 trilyun pada 1995.

Tabel : 4.3

Peredaran Uang (Trilyun Rupiah)

 

  

  

  

  

Kenaikan %

Jenis Uang

1991

1995

1996

1991

1995

1996

1. Uang Kertas

9,3

20,8

22,5

2,8

11,7

8,1

2. Uang Cek

17,0

31,9

41,6

15,4

19,2

3,0

M1

26,3

52,7

64,1

10,6

16,1

21,6

3. Uang Kuasi

72,7

170,0

224,5

19,6

31,6

32,1

M2= 1+2+3

99,0

227,7

224,5

17,0

27,6

27,6

Sumber : Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia 1996.

 

Kenaikan uang kuasi yang begitu mencolok, menurut BI, merupakan pertanda masyarakat semakin gemar menabung, sejalan dengan naiknya pendapatan nasional. Padahal, uang tersebut tak lain adalah uang operasional milik konglomerat yang dititipkan dalam bank-bank mereka, dan dibukukan sebagai uang kuasi. Sebagian dari uang operasional itu adalah hasil penjualan valuta asing kepada BI seperti disebutkan di atas, dan sebagian lainnya berasal dari transfer langsung pinjaman devisa oleh perbankan. Proses ini tercatat dalam neraca gabungan bank swasta nasional rekening tagihan pada perusahaan
dan
deposito berjangka. Tagihan pada perusahaan melonjak dari Rp 48,0 trilyun pada 1991 menjadi Rp 124,4 trilyun pada 1995, dan Rp 161,0 trilyun pada 1996. Deposito berjangka naik dari Rp 26,4 trilyun menjadi Rp 77,7 trilyun, dan kemudian Rp 109,7 trilyun.

Tabel : 4.4

Pangsa Pemberian Kredit Perbankan (Trilyun Rupiah)

Kredit untuk Perusahaan SwastaSaldo Rekening Uang CekSaldo Rekening Uang Kuasi199119951996199119951996199119951996VolumeBank Pemerintah57,589,8102,56,69,711,123,546,356,7Bank Swasta48,0124,4161,07,816,224,026,477,8109,7Seluruh Bank117,5247,5299,316,831,541,252,6130,9175,0PersentaseBank Pemerintah49%36%34%39%31%27%45%35%32%Bank Swasta41%50%54%46%51%58%50%59%63%Seluruh Bank100%100%100%100%100%100%100%100%100%Sumber : BI, Laporan Tahunan 1995/1996

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa pangsa pemberian kredit, volume uang cek, dan uang kuasi bank swasta meloncat hingga lebih dari 50% pada 1996, sementara pangsa bank pemerintah naik sekitar 30% saja. Kenaikan tersebut, sekali lagi, terutama bersumber pada uang operasional yang berasal dari pinjaman luar negeri. Pinjaman luar negeri berupa valuta asing inilah yang menjadi “saluran” tambahan.

4.4. Sumber Inflasi
Kucuran kredit bank swasta atau pun bank pemerintah tersebut disalurkan kepada swasta dan BUMN. Tabel 4.5 menunjukkan kenaikan kredit yang diterima swasta dan BUMN, masing-masing dari Rp 20,3 trilyun dan Rp 0,1 trilyun pada 1991 menjadi Rp 47,5 trilyun dan Rp 1,3 trilyun pada 1995, serta Rp 51,8 trilyun dan Rp 4,6 trilyun pada 1996. Kredit itu ternyata memicu inflasi (bersifat inflatoir) bahkan lebih inflatoir dibandingkan dengan sektor luar negeri yang berupa jual beli valuta asing.
Tabel : 4.5
Faktor Inflatoir (+) dan Deflatoir (-) M2
(Trilyun Rupiah)

 199119951996Valuta Asing+8,4+7,4+18,0Tagihan pada Pemerintah Pusat-1,4-7,5-2,8Tagihan pada Lembaga dan BUMN+0,1+1,3+4,6Tagihan pada Perusahaan dan Perorangan Swasta+20,3+47,5+51,8Lain-13,0-0,5-5,6Sumber : BI, Laporan Tahunan 1995/1996

Pada saat yang sama, kredit pembiayaan APBN justru menurun, sejalan dengan posisi APBN yang cenderung deflatoir. Dalam keadaan deflatoir, belanja APBN berkurang sehingga sumber dana atau kredit yang diperlukan tidak sebanyak semula. Jumlah kredit yang tetap sama atau bertambah hanya akan menimbulkan inflasi, seperti yang telah terjadi pada zaman Orde Lama (Orla).
Pada 1966, inflasi sangat tinggi yang mencapai 635%, lebih tinggi dibanding dengan 594% pada tahun sebelumnya. Agar inflasi semacam ini tidak terulang kembali, APBN Orde baru (orba) menganut sistem anggaran berimbang. Sayang, sistem itu tidak dijalankan seperti seharusnya. APBN tidak diperlakukan seperti anggaran rumah tangga, di dalam rumah tangga pengeluaran disesuaikan dengan pendapatan (baju, dan lain-lain), melainkan pengeluaran menentukan penerimaan. Artinya, pemerintah berusaha menutup defisit anggaran dengan kredit BI. Bila perlu, investasi swasta yang biasanya didasarkan pada kepentingan memperoleh laba pribadi dikurangi.
Di negara lain, seperti Malaysia, Filipina, dan Amerika, defisit APBN sebagian dibiayai dengan pinjaman dari masyarakat, yang ditarik lewat penawaran surat berharga Thesaurier Departemen Keuangan (treasury bills, bond, dan lain-lain). Surat-surat berharga itu diperjualbelikan dalam pasar terbuka. Pembiayaan seperti ini tidak inflatoir karena uang hanya berputar dari kantong yang satu ke kantong yang lain, dari perbankan dan masyarakat umum ke APBN sambil saling menetralisisr.
Dengan terciptanya pasar sekunder, surat-surat berharga tersebut dapat dengan mudah dicairkan, sehingga menjadi uang mirip uang (money near money) yang likuid. Untuk tujuan itu pula, SBI seyogyanya dialihkan menjadi surat berharga pemerintah seperti Treassury Bills, lalu hasilnya dipergunakan untuk kepentingan APBN. Dengan demikian, SBI yang semula cenderung merugikan karena BI harus membayar bunganya, menjadi produktif.
Sebenarnya, BI bisa mempergunakan surat berharga pemerintah untuk menjalankan operasi pasar terbuka (OPT) tanpa harus takut menimbulkan inflasi. Memang, untuk itu masih diperlukan lagi koordinasi antara kebijaksanaan moneter dan fiskal, yang di Indonesia selama ini tidak pernah terselenggara. Masing-masing pihak, BI dan Departemen Keuangan, berjalan sendiri-sendiri.

4. 5. Paradoks Bank dan Sistem Perbankan
Roda perputaran uang dalam bisnis perbankan cukup mengherankan. Modal bank (equity) tidak lebih dari 10% hartanya (asset). Itu sebabnya bisnis bank menjadi sangat rentan. Bank bisa hancur dan bangkrut apabila nasabah serentak menagih dan mencairkan uang (rush), seperti yang terjadi terhadap BCA pada Akhir Mei 1998 lalu.
Kredit bank dibatasi oleh Bank Sentral sekalipun sebuah bank tidak mungkin memberi pinjaman, investasi, ataupun pendanaan lain lebih dari jumlah uang yang ada di tangannya. Kendati demikian, secara bersama-sama, bank bisa melipatgandakan kredit dan uang beredar. Suatu hal yang paradoksal tampaknya.
Simpanan Wajib (SW) bank pada Bank Sentral biasa dinyatakan dalam bentuk absolut, disebut cadangan resmi, ataupun dalam bentuk nisbah yang disebut rasio cadanagn (reserve ratio – rr). Bila rr 20% sementara uang cek dan deposito berjangka pada bank berjumlah x, maka bank harus menyimpan 20% x di Bank Sentral. Rasio cadangan merupakan salah satu instrumen Bank Sentral untuk mengawasi jumlah uang yang beredar. Bila pembatasan melalui rr ditaati oleh bank-bank, maka secara keseluruhan volume kredit dan pembelian aneka ragam aset oleh perbankan akan berlipat ganda. Uang cek dan deposito pun akan meluas. Pelipat ganda ini disebut multiplier uang (mu).
Dengan rr 20%, maka setiap kali memperoleh tambahan likuiditas, bank akan menyalurkan 80% jumlah yang diterimanya dari bank terdahulu atau dari Bank Sentral kepada bank kedua. Bank kedua juga akan menyalurkan 80% tambahan uang yang diterimanya kepada bank ketiga. Begitu seterusnya hingga membentuk proses yang terus berkesinambungan.
Untuk jelasnya simaklah contoh berikut. Bank A memperoleh tambahan deposito uang cek Rp 100 juta dari Bank Sentral. Jika SW yang berlaku adalah 20%, maka bank tersebut akan menambah pemberian pinjamannya kepada si X sebanyak Rp 80 juta. Selanjutnya si X akan menyetor ke bank tambahan pinjamnnya Rp 80 juta, sehingga bank tersebut memperluas kreditnya sebesar Rp 64 juta. Pemberian kredit seperti itu kemudian berlanjut dengan bank C,D, dan bank-bank lain mencakup seluruh perbankan. Artinya, uang cek akan meningkat menjadi 100% / 20% x Rp 100 juta = Rp 500 juta. Secara keseluruhan, kredit yang beredar telah berlipat ganda dari Rp 100 juta menjadi Rp 500 juta atau mu (multiplier uang) = 5. Seandainya rr = 25%, maka mu = 4 (mu = 1/rr = 1/0,25). Bila yang terjadi sebaliknya, yaitu bila likuiditas semula berkurang Rp 100 juta, maka uang cek yang beredar berkurang Rp 500 juta.
Perhitungan ini merupakan perhitungan di atas kertas, dan faktanya jarang terjadi. Dalam praktek, proses pelipatgandaan itu tidak mencapai Rp 500 juta, dan tidak berlangsung dalam urutan yang berantai seperti telah diuraikan di atas. Tiap-tiap bank biasanya menerima dan mengeluarkan likuiditas dari dan oleh para nasabah secara bersamaan, sehingga terkesan saling meniadakan.
Ada dua syarat agar terjadi pelipat gandaan empat banding satu (4 : 1). Pertama, tidak ada transaksi uang cek yang keluar dari sistem perbankan (untuk belanja impor misalnya). Kedua, pembelian aset, investasi, dan kredit sepenuhnya berlangsung tanpa melewati cadanagn resmi. Kedua persyaratan ini agaknya tidak selalu terpenuhi sehingga timbul kebocoran (leakages), seperti berikut.
1). Kebocoran karena para nasabah perlu menambah uang tunai (pada hari raya, pesta dan lain-lain). Bila kebocoran terjadi pada bank pertama sebanyak Rp 10 juta dan uang yang disalurkan menjadi Rp 90 juta, maka uang beredar hanya bertambah sebesar 5 x Rp 90 juta = Rp 450 juta.
2). Bila rr bank 5% di atas ditentukan (20%), maka uang tunai akan berkurang menjadi 100/25 x Rp 100 juta = Rp 400 juta.
3). Antara 1991-1996 uang tunai dalam kas perbankan di Indonesia berjumlah 8%-9% dari seluruh uang cek perbankan. Bila persentase ini dinaikkan menjadi 10% demi pengamanan bank dari defisit yang timbul mendadak, maka terjadilah kebocoran.
Perlu dicatat, pertambahan atau penguranagn penawaran likuiditas (uang) yang berasal dari masyarakat atau bank, bukan dari Bank Sentral, tidak mempengaruhi peredaran uang. Pasalnya, tambahan uang pada pihak yang satu merupakan pengurangan di pihak lain, sehingga otomatis saling meniadakan.
4.6. Penentuan Suplai Uang dan Instrumen Pengawasannya
Jumlah uang beredar ditentukan oleh Bank Sentral dengan menggunakan rumus M = mu R. Bila R = Rp 12 trilyun, mu = 3, maka M = Rp 36 trilyun. Penentuan jumlah uang seperti itu bisa dilakukan untuk menaggulangi inflasi (dengan mengurangi jumlah uang beredar) atau deflasi (dengan menambah jumlah uang beredar).
Rumus multiplier adalah :
Jika rr = 15% dan kc = 55%, maka
=
Jika rr diturunkan menjadi 2% dan kc tetap stabil 55%, maka

Perilaku rumus M = mu R dapat dilukiskan seperti pada grafik 4.4 berikut.
Peranan uang Bank Sentral dinyatakan pada sumbu x dan penawaran uang primer pada sumbu y. S-R menunjukkan kondisi cadangan moneter awal dan S’-R’ adalah kondisi setelah ada kenaikan (dR). Garais dR menggambarkan permintaan atas uang primer setelah adanya pengurangan persentase simpanan wajib. E1 adalah titik keseimbangan atara penawaran dan permintaan uang primer yang terjadi pada jumlah uang beredar M1. Dengan tambahan dR, terjadilah pergeseran titik keseimbangan dari E1 menjadi E2, dan jumlah uang beredar bertambah menjadi M2. Multiplier uang yang menyebabkan tambahan uang (dM) atau M2 – M1) menjadi lebih besar daripada pertambahan uang primer (dR) : dM > dR.
Grafik 4.4
Permintaan Terhadap Uang Primer

Kemiringan garis permintaan uang primer berubah mengikuti perubahan rasio cadangan. Bila garis permintaan uang primer dR diubah menjadi dR’ dengan memperkecil rasio cadangan, uang akan bertambah secara eksplosif. Jauh lebih eksplosif dibandingkan dengan pertambahan uang karena peningkatan jumlah uang primer, atau M3 jauh lebih besar daripada M2. Keadaannya makin lebih eksposif lagi bila tindakan menurunkan rasio cadangan disertai tambahan uang primer.
Di atas dikemukakan dua cara Bank Sentral memperbesar atau memeperkecil peredaran uang. Pertama, mengacu pada uang primer, kedua pada multiplier uang. Rasio cadangan di Korea Selatan dan Amerika Serikat adalah 50% dan 20%. Perubahan atas rasio cadangan di kedua negara tersebut jarang dilakukan. Kalaupun harus dilakukan perubahan terhadap rasio cadangan, yang terjadi hanyalah setengah persen poin. Ini dilakukan untuk mencegah gelombang besar jumlah uang beredar akibat multiplier uang terhadap uang primer.
Instrumen rasio cadangan biasanya hanya dipakai dalam keadaan darurat. Instrumen ini membantu Bank Sentral membuat proyeksi jumlah uang beredar. Namun, ketelitian proyeksi mengendalikan ketaatan perbankan mempertahankan kestabilan antara cadangan wajib dengan uang cek dan deposito masing-masing.
Oleh sebab itu, penurunan rasio cadangan melalui Pakto 1988, dari 15% menjadi 2% sungguh tidak dapat dimengerti. Seharusnya BI telah mengetahui bahwa dampak penurunan rasio cadangan tersebut sangat eksposif terhadap uang beredar, bahkan lebih ekspotif ketimbang dampak kenaikan SW bank. Penurunan rasio cadangan hanyalah menyuguhkan kemudahan dan kemampuan bagi bank-bank baru milik para konglomerat untuk memperluas kredit. Akibatnya, volume kredit melonjak pesat disertai bangkitnya inflasi.
Tidak dipahami pula kebijakan Gubernur BI menaikkan rasio cadangan sampai dua kali pada 1996. Kenaikan yang terjadi adalah 2% menjadi 3%, dan naik lagi menjadi 5% mulai April 1997.
Konsekuensi kenaikan rasio cadangan itu (menggeser dR ke kiri dalam grafik) adalah berkurangnya peredaran uang. Akibatnya, suku bunga akan meningkat, dan selanjutnya akan mengurangi investasi. Perkembangan seperti itu justru bertentangan dengan pendapat Gubernur BI sendiri yang mengatakan bahwa suku bunga di Indonesia sudah terlalu tinggi.
Tabel 4.6. menunjukkan bahwa mu1 dan mu2 stabil pada tingkat 2 dan 8. Dengan mengetahui mu1 dan mu2, mudah bagi BI untuk membuat proyeksi pertumbuhan uang beredar dan menyesuaikannya dengan pertumbuhan ekonomi. Kestabilan mu1 dan mu2 menunjukkan tidak ada perubahan yang berarti dalam perilaku perbankan, masyarakat, dan pengusaha dalam melakukan transaksi.
Tabel : 4.6
Multiplier Uang (mu)

 199119921993199419951996mu1= M1/R2,222,12,12,11,9mu2= M2/R8,18,38,488,78,4
Sumber : BI, Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia, 1996. Data diolah.

Perlu dicatat bahwa sekalipun “Statistik Ekonomi-Keuangan BI” memuat statistik cadangan moneter, BI tidak pernah menganalisis cadangan uang ini dalam hubungannya dengan suplai uang.

4.7. Instrumen Bank Sentral Lainnya untuk
Mengawasi Volume Uang Beredar

BI dapat mengendalikan jumlah uang beredar dengan bantuan berbagai instrumen. Dua di antaranya, multiplier uang dan uang primer, telah kita bahas. Berikut adalah istrumen lainnya.
(i) Operasi Pasar Terbuka (OPT)
OPT adalah jual beli surat berharga yang dilakukan oleh Bank Sentral, dan harus dilakukan secara terbuka dan terorganisasi. Di negara maju, jual beli OPT terjadi di pasar primer dan sekunder. Di negara-negara tersebut, surat berharga meliputi surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Sentral dan surat berharga pemerintah, seperti Treasury Bills dan Treasury Bonds. Di Indonesia, OPT di
pasar sekunder belum berlangsung, dan hanya meliputi SBI dari SBPU.
OPT biasanya digunakan untuk menanggulangi bahaya inflasi yang timbul karena uang beredar berlebih. Pada masa inflasi, BI menjual SBI. Penjualan SBI menambah jumlah SBI yang beredar sehingga harga SBI menurun. Sudah menjadi dalil, harga surat berharga berbanding terbalik dengan suku bunga (current yield; interest rate). Bila harga surat berharga turun, tingkat suku bunga naik. Suku bunga naik akan menurunkan investasi dan menarik uang beredar.
Gubernur BI sering mengatakan bahwa BI menjalankan OPT, padahal tidak. Jual beli SBI dan SBPU berlangsung secara periodik, yaitu saat surat berharga itu jatuh tempo. Di negara lain, seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Australia, OPT dijalankan setiap hari dan berkesinambungan sampai target uang beredar yang direncanakan tercapai. Lagi pula, jual beli SBI dan SBPU di Indonesia tidak pernah diselenggarakan untuk mengendalikan volume uang beredar demi mengatasi inflasi atau resesi. Transaksi melulu sebagai perdagangan alat tabungan, tidak mempengaruhi volume cadangan (uang primer) sebagaimana OPT seharusnya. Selain itu, BI masih harus mengeluarkan biaya dan menanggung kerugian bunga. Dengan demikian, merupakan kekeliruan bila menyebut perdagangan SBI dan SBPU sebagai OPT.

(ii) Politik Tingkat Diskonto (PTD)
PTD merupakan instrumen pengawasaan BI dalam kapasitasnya sebagai lender of last resort. Sebagai lender of last resort, BI menjadi penolong bank yang sedang menghadapi kesulitan likuiditas dan tidak memiliki jalan keluar lain. BI membantu bank dengan memberikan kredit likuiditas dengan suku bunga rendah (dalam keadaan deflasi), atau tinggi (dalam keadaan inflasi).
Pemberian kredit likuiditas kepada perbankan dapat memperbesar cadangan moneter. Neraca BI mencatat pertambahan itu sebagai kenaikan kredit BI (sisi harta) dan kenaikan cadangan moneter (sisi kewajiban). Pemberian pinjaman itu berdampak sama dengan dampak OPT yaitu: pengurangan kredit BI berpengaruh sama dengan penjualan surat berharga dalam OPT, dan pemberian kredit BI berpengaruh sama dengan pembelian surat-surat berharga dalam OPT.
Diskonto kredit Bank Sentral menjadi tingkat suku bunga (makro) perekonomian, serta pengatur volume uang beredar. Bank akan memakai suku bunga itu sebagai tolak ukur dalam menyalurkan kredit serta membaca tren perkembangan uang beredar. Itu sebabnya PTD menjadi alat yang ampuh untuk menentukan jumlah uang beredar dan tingkat suku bunga.
Gambaran seperti di atas terjadi di negara dengan sistem moneter yang maju. Itu karena bank jarang menyalahgunakan pinjaman Bank Sentral untuk kepentingan spekulatif. Bank-bank yakin dan percaya bahwa Bank Sentral tetap memegang kendali untuk membatasi penyaluran kredit perbankan, dan kredit Bank Sentral tetap menjadi unsur moneter yang penting.
Di Indonesia, hal itu tidak terjadi. Kredit BI kepada bank-bank hampir tidak berarti. Kalaupun ada, kredit BI yang utama disalurkan dalam bentuk kredit likuiditas (KLBI). Bukan dalam bentuk uang primer yang bisa digunakan untuk mengawasi uang beredar dan tingkat suku bunga. KLBI tersebut dipakai perbankan untuk mendanai proyek-proyek secara langsung. Kekikiran BI memperluas kredit kepada perbankan disebabkan oleh kekhawatiran yang tidak beralasan bahwa meningkatnya M otomatis dianggap sebagai tanda-tanda zaman adanya inflasi. Padahal, ekspansi peredaran uang di Indonesia terus saja berlangsung selama beberapa tahun terakhir, dan sumber utamanya adalah valuta asing yang diuangkan oleh BI atau perbankan. Monetisasi (merupiahkan) valas itulah yang menjadi penyebab tingginya kenaikan peredaran uang di Indonesia, bukan perluasan kredit Bank Sentral. Lagi pula, kenaikan itu terjadi karena BI gagal melakukan fungsinya yang fundamental, yaitu menentukan tingkat suku bunga uang di Indonesia. Tingginya suku bunga di Indonesia, semakin bertambah besar pengusaha dan bank untuk mengambil pinjaman off-shore, yang tingkat suku bunganya kurang dari separuh suku bunga dalam negeri.

(iii) Instrumen Selektif Tambahan
OPT dan PTD disebut instrumen utama. Keduanya memberi nada moneter yang berlaku umum bagi semua bidang perekonomian, terutama perbankan. Instrumen lain yang melengkapi kedua instrumen itu disebut instrumen tambahan. Berbeda dengan instrumen utama, instrumen tambahan memiliki cakupan yang terbatas (selektif), hanya berlaku untuk bank dan bidang tertentu. Beberapa instrumen tambahan tersebut adalah sebagai berikut.
Moral Suaison
 

Moral suaison adalah ajakan informal dan non-legal Bank Sentral kepada bank tertentu untuk melakukan tindakan seperti dikehendaki BI. Ajakan itu disampaikan melalui surat, rapat, seminar, atau berupa program suka rela. Biasanya, BI menghimbau agar bank membatasi kredit pada sektor tertentu.

 

  1. Legal Lending Limit (Triple L), Loan-deposit Ratio (LDR),

dan Capital Adequency Ratio (CAR)

 

Ketiga instrumen itu mengatur masalah intern bank yaitu: memelihara keseimbangan antara harta dan kewajiban, terutama keseimbangan antara pemberian pinjaman dan deposito. Campur tangan BI terhadap masalah intern bank menjadi lumrah karena sektor moneter dan finansial belum mendalam.

Pengalaman kontak langsung BI dengan bank secara langsung bisa memberi dampak positif, yaitu mengurangi kemacetan uang beredar. Namun demikian, di kemudian hari sistem campur tangan secara langsung semacam itu hendaknya bisa berubah menjadi sistem yang menggunakan instrumen utama di atas. Alasannya, terlalu banyak pengaturan langsung menjadikan persoalan semakin ruwet. Bila kita perhatikan, sekarang ini peraturan dan perbaikan peraturan BI sudah bertumpuk-tumpuk. Akibatnya, peraturan menjadi tujuan utama, bukan lagi sebagai alat untuk meyehatkan peredaran uang. Malahan, BI juga mendirikan sebuah lembaga pendidikan khusus untuk mempertinggi keahlian staf BI dan perbankan. Lembaga ini menggunakan buku peraturan BI yang sudah terjilid dalam beberapa buku sebagai text book. Rupanya, peraturan sudah menggantikan prinsip-prinsip dari hukum ekonomi moneter. “Kan sudah ada peraturan siap pakai”, menjadi ungkapan sikap yang telah

tertanam dalam benak staf BI dan perbankan.

4. 8. Konsep BI yang Keliru mengenai Reserve Money (R)

dan Reserve Ratio (rr)

 

Seperti telah dikatakan, BI mengendalikan reserve money (uang primer) untuk mengatur jumlah uang beredar. Uang primer, menurut teori, meliputi uang kertas yang beredar, uang dalam kas perbankan, dan simpanan wajib perbankan. Sejak 1988, BI mengartikan uang primer sebagai uang dalam kas perbankan dan simpanan wajib perbankan. Tetapi, sejak 1995 ketentuan tersebut berubah. Uang primer hanya meliputi simpanan wajib, tidak mencakup uang kas perbankan. Alasannya, memudahkan administrasi.

Tabel 4.7

Beberapa Variabel Moneter

  

1991

1992

1993

1994

1995

1996

R (Rp Trilyun)

12,2

14,4

17,2

21,9

25,5

30,9

M1 (Rp Trilyun)

26,3

28,8

36,8

45,4

52,7

59,7

M2 (Rp Trilyun)

99,1

119,1

145,2

174,5

222,6

259,9

  

         

  

mu1 = M1/R

2,2

2

2,1

2,1

2,1

1,9

mu2 = M2/R

8,1

8,3

8,4

8

8,7

8,4

  

         

  

M1 (%)

 

9,5

27,8

23,4

16,1

13,3

M2 (%)

  

20,2

21,9

20,2

27,6

16,8

Sumber : BI, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Maret 1997.

 

Tabel 4.7 memperlihatkan bahwa selama 1991-1996, uang primer terus bertambah. Pada 1996, uang primer menjadi 250% dari uang primer pada 1991. Penyebab kenaikan uang primer adalah monetisasi devisa yang berasal dari pinjaman luar negeri dan investasi PMA. Hal itu berbeda dengan yang terjadi di negara dengan standar moneter yang sudah maju. Di negara itu, uang primer berasal dari OPT.

Selama 1991-1996, multiplier uang (mu1) stabil pada angka 2 (rr = 50%). Dengan multiplier 2, maka setiap kenaikan R, katakanlah sebesar Rp 10 trilyun, M1 akan bertambah Rp 20 trilyun. Demikian pula yang terjadi dengan M2. pada 1991-1996 mu2 berkisar 8,3.

Laporan tahunan BI tahun 1995/1996, halaman 20-21, mengurangi ketentuan giro wajib minimum (SW). BI menyatakan bahwa simpanan wajib merupakan instrumen pengendalian moneter yang dapat digunakan untuk memperlambat pertumbuhan uang beredar (M2) khususnya yang berasal dari kredit perbankan. Pernyataan itu merupakan konsep yang setengah-setengah (half-truth). Alasannya, definisi uang primer yang digunakannya sudah salah sejak awal. Bila uang primer dipakai sebagai variabel pengontrol M2, maka uang primer yang dimaksud harus menurut definisi moneter yang sudah lazim, bukan seperti yang ditentukan dengan seenaknya oleh BI.

Kesalahan merupakan rumus dalam menganalisis hubungan sebab akibat variabel moneter menyebabkan BI menarik kesimpulan yang kabur dan kacau. Hal itu bisa dilihat dalam laporan BI tahun 1995/1996 berikut ini.

  1. Di satu sisi peningkatan SW mendorong kenaikan uang primer karena SW merupakan komponen uang primer.” Pernyataan ini hanya “pleonasme” saja yang hampa arti.
  2. Di sisi lain kenaikan SW akan mengurangi kemampuan bank-bank dalam

    melakukan ekspansi usaha, terutama dalam pemberian kredit”. Hubungan sebab-akibat antara kenaikan SW dan pengurangan kredit perbankan seperti dikemukakan BI tersebut, keliru. Kredit bank berkurang bukan karena kenaikan SW, melainkan karena kenaikan rr yang disertai penyempitan likuiditas perbankan. Tindakan ke arah ini tidak pernah dan tidak mungkin dijalankan BI.

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa perbankan mengalami kelebihan likuiditas hingga Rp 4,5 trilyun. Kelebihan itu menunjukkan bahwa peningkatan rr menjadi 3% tidak memiliki dasar dan makna apapun.

Tabel : 4.8

Likuiditas Perbankan (Trilyun Rupiah)

 

  

Persentasi

Alat Likuid

Kelebihan

  

Likuiditas

yang Harus

Alat Likuid

  

  

Dipelihara

  

1992

3,66

1,8

1,5

1993

2,82

2,3

0,9

1994

2,82

2,6

1,1

1995

2,7

3,5

1,2

1996

5,02

6,9

4,6

  

  

  

  

Sumber : BI, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Maret 1997.

 

Kendati demikian, tidak ada tanggapan apa-apa dari BI. BI menganggap kelebihan likuiditas perbankan sebagai keanehan atau kegagalan, sekali pun lembaga itu sedang menjalankan tight money policy.

 

 


 

Bab 2

STANDAR MONETER

 

 

    Dalam bab 2 ini menekankan pada sumber-sumber krisis moneter, tetapi harus diawali dengan pemahaman tentang fungsi teori moneter, dengan berharapan dapat mencerna permasalahan yang muncul dari sumber-sumber krisis moneter dan sejauh mana ada relevansinya dengan standar moneter Internasional.

 

2.1. Fungsi Teori Moneter

Teori moneter tentunya berfungsi membuat jelas peran moneter dalam perekonomian, seperti lapangan kerja atau tingkat harga. Peranan moneter itu sendiri bercakupannya luas, termasuk perilaku lembaga, seperti pasar, maupun instrumen uang dan instrumen finansial. Demikian luas cakupannya sehingga peran moneter itu tidak cukup dijelaskan dengan hasil observasi atau uraian deskriptif. Uraian seperti itu akan terlalu sibuk memperhatikan “pohon-pohon” sementara “hutan” moneter akan cenderung terlupakan.

Uraian mengenai suku bunga deposito dan pinjaman, misalnya yang dirinci menurut jangka waktu, bentuk instrumen finansial, serta spesifikasinya pada setiap bank atau wilayah, adalah bersifat observasional dan deskriptif. Sekalipun tebalnya ratusan halaman, uraian tersebut akan sia-sia memberi kejelasan jika di dalamnya tidak terkandung makna dan fungsi suku bunga itu sendiri, serta korelasinya dengan variabel-variabel moneter lain.

Makna, fungsi, dan korelasi suatu unsur dengan variabel-variabel lain di dalam persoalan moneter memang bukan lagi urusan observasi semata, tetapi terlebih sudah merupakan urusan teori moneter. Ambil sebagai contoh hubungan antara kenaikan suku bunga dan pendapatan nasional. Hubungan ini pastilah rumit atau kompleks: tidak hanya terdiri dari serangkaian perilaku ekonomi akibat kenaikan suku bunga, perilaku yang mempengaruhi besar-kecilnya pendapatan nasional; tetapi juga dampaknya yang besar.

Tanpa teori kita tidak bisa membedakan mana hubungan yang relevan dan penting, mana yang tidak. Membedakan berarti mempersempit persoalan moneter yang kompleks itu sampai pada proporsi yang dapat lebih mudah dikaji. Untuk itu kita lakukan abstraksi dari semua pengalaman (observasi) dan data (deskripsi) yang rumit tadi sedemikian rupa, sehingga kita dapat menarik berbagai kesimpulan atau hipotesis atau hukum. Pada gilirannya kesimpulan, hipotesa, atau hukum itu dihadapkan pada kenyataan, seperti pengalaman dan data. Kenyataan itu menjadi ujian bagi kesimpulan, hipotesa, atau hukum tadi.

Demikianlah, apabila dapat disusun suatu bangunan jenjang demi jenjang dari rangkaian hukum atau hipotesa tadi, maka masalah moneter yang luas itu akan bisa dijelaskan secara komprehensif. Dengan itulah pemecahan masalah moneter yang besar bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, bukannya dengan membatasi diri pada analisis hubungan sebab-akibat yang sempit dan satu arah saja. Tanpa dasar analisis moneter yang demikian, kita bisa terjerumus pada pengertian dan tindakan semu yang menyimpang jauh dari kenyataan.

Sebagai ilustrasi analisis sebab-akibat yang sempit dan satu arah, ambil misalnya pernyataan ex cathedra (berdasarkan jabatan saja) oleh berbagai ekonom selama ini. Dikatakan, “Indonesia mengalami kerugian yang sangat besar sebagai akibat apresiasi mata uang Yen terhadap US$”; “laju inflasi turun karena harga cabai turun”; “laju inflasi turun karena alat perhubungan antar propinsi sudah sangat membaik”.

Yang mungkin paling meyolok sempitnya adalah pernyataan Bank Indonesia (BI) sendiri dalam Laporan Tahunan 1995/96, hal.24. Di sana tertulis:

Sebagai dampak pelaksanaan kebijaksanaan moneter berhati-hati yang ditempuh BI dalam tahun laporan, likuiditas rupiah pada bank umum cenderung menurun. Perkembangan tersebut pada gilirannya telah mendorong peningkatan suku bunga dalam negeri (Oppusunggu, 1998: 4).

Dalam kenyataan, likuiditas rupiah bukannya menurun, juga tidak tetap, melainkan meningkat pada tahun laporan itu. Pada 1994, likuiditas rupiah sebesar 2,6 trilyun, 1995 sebesar 3,5 trilyun dan pada 1996 sebesar 6,9 trilyun.

Jelaslah kiranya mengapa pernyataan seperti dikutip di atas harus dianggap sempit dan satu arah. Sebabnya pernyataan tersebut hanya bertumpu pada hipotesa (akademik), tidak dihadapkan dengan kenyataan yang jauh lebih kaya dan beragam. Memang, setiap penjelasan harus dianggap sebagai argumentasi hipotesa belaka sebelum dihadapkan dan diuji dengan kenyataan. Hubungan antargejala hanya bisa dianggap sebagai rumus, dalil, atau teori moneter setelah hipotesa-hipotesanya teruji oleh kenyataan.

Hubungan antargejala yang sudah menjadi rumus, dalil atau teori moneter itu sanggup berprediksi. Prediksi sangat diperlukan agar dapat mengendalikan rencana-rencan, dan mengambil tindakan sebelum kesulitan muncul. Semua yang barusan disebut sebagai ciri ilmiah. Analisis moneter kurang hadir dalam tindakan-tindakan BI selama ini. BI lebih cenderung meraba-raba saja, membiarkan proses moneter berlangsung semaunya tanpa tindakan memadai.

Memang, teori moneter bukan doktrin siap pakai, melainkan hanya modus berpikir ilmiah untuk memperoleh pengertian sejauh mungkin mengenai peristiwa-peristiwa moneter. Teori moneter “Is a method rather than a doctrine” demikian kata John Maynard Keynes, “An apparatus of the mind, a technique of thinking which helps its possessor to draw correct conclusions.” Ini mirip dengan ilmu yang dipakai oleh dokter untuk diagnosis.

Jadi, berbeda dari dunia fisika, dunia moneter tidak bisa dibiarkan berlangsung semaunya menurut hukum bebas laissez-faire. Gerak dunia moneter tidak mulus, selalu memperlihatkan aneka ragam gangguan, distorsi, dan ketidakpastian. Itulah sebabnya, peristiwa moneter memerlukan pengawasan dan pengendalian melalui kebijaksanaan moneter. Tugas ini merupakan tanggung jawab Bank Sentral, atau BI di negeri kita.

 

2. 2. Sumber-sumber Krisis Moneter

 

Pemahaman tentang sumber-sumber krisis moneter yang dianggap sebagai suatu pengalaman aplikasi teori moneter, maka diambilkan beberapa kasus yang telah terjadi di Indonesia. Pengalaman yang mungkin menjadi sejarah perekonomian pada bidang moneter itu, dapat dipakai sebagai masukan prediksi.

 

2.3. Suku Bunga Macet dan Himbauan Gubernur Bank Indonesia

Maksud himbauan Gubernur BI menurunkan suku bunga deposito dan kredit baru-baru ini patut kita sambut. Sayang, himbauan itu ditujukan kepada perbankan, bukan kepada BI sendiri, sebagai Bank Sentral di Indonesia. Di negara mana pun, yang sedang berkembang maupun yang sudah maju, Bank Sentral tidak bisa dan tidak pernah bisa melepaskan pengendalian suku bunga.

Sejak deregulasi perbankan 1 juni 1983 berlaku, BI tidak bisa lagi mengendalikan perbankan secara langsung. BI hanya bisa menghimbau, bukan memerintah.perbankan dibiarkan bersaing secara bebas menurut kekuatan pasar, tanpa campur tangan BI. Harga pasar (suku bunga) kredit dan deposito pun diharapkan terbentuk dari kekuatan penawaran dan permintaan uang.

Memang, persaingan bebas bisa menceminkan kekuatan pasar. Namun itu hanya terjadi dalam keadaan yang sangat khusus, yaitu ketika kekuatan pihak-pihak yang bersaing kurang lebih sama, seperti dalam pasar berstruktur persaingan sempurna.

Seperti kita ketahui, selain di negara-negara sosialis, ada bermacam-macam struktur pasar. Di satu ekstrim ada pasar yang disebut pasar persaingan bebas, lengkap dan sempurna. Di sini setiap pengusaha bebas menjual tanpa bisa mempengaruhi harga pasar yang berlaku. Suplai mereka masing-masing juga begitu kecil sehingga tidak mempengaruhi suplai seluruh pasar.

Ekstrim lain ada pasar monopoli, di situ hanya ada satu pengusaha yang menentukan harga atau volume penjualan. Selain pasar sempurna, semua pasar, termasuk pasar monopoli, disebut pasar persaingan tidak sempurna. Dalam pasar semacam ini, bila salah satu pengusaha menurunkan harga, tidak akan menarik semua pembeli pesaingnya. Penurunan harga mungkin menambah pembelinya, tetapi pengusaha lain tetap saja didatangi pembeli meski jumlahnya berkurang.

Pasar perbankan Indonesia adalah pasar oligopoli, salah satu pasar persaingan tidak sempurna. Yang menjadi price and swingleader adalah bank-bank pemerintah. Bank-bank ini menguasai 70% – 80% kredit dan deposito perbankan, sehingga mereka menentukan harga (suku bunga) serta jumlah kredit dan deposito.

Sebagai price and swingleader, bank-bank pemerintah seharusnya bisa menurunkan suku bunga. Oleh sebab itu, himbauan BI sebenarnya bisa diarahkan lebih spesifik lagi, yaitu kepada bank-bank pemerintah ini. Namun, perlu diingatkan kembali, persoalannya bukanlah pada bank-bank mana yang seharusnya menurunkan suku bunga, karena tugas ini mutlak menjadi tugas Bank Sentral. Masalah yang fundamental adalah sejauh mana Gubernur BI yakin bahwa menurunkan suku bunga adalah tugas khusus dan fundamental BI, Bank Seluruh Bank (Bankers’Bank).

 

2.4. Bank Sentral Tidak Mungkin Melepaskan Kendali Suku bunga

Bank dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) memakai suku bunga deposito sebagai tolak ukur mikro perdagangan kredit. Caranya, suku bunga kredit yang disalurkan ditetapkan lebih tinggi daripada suku bunga deposito bank. Kendati demikian, tiap-tiap bank tidak bisa secara bebas menentukan suku bunga mikro. Suku bunga ini tidak berdiri sendiri, tetapi tergantung pada suku bunga makro Bank Sentral. Sekalipun suku bunga makro tidak dapat ditentukan, ancer-ancernya tetap harus ditentukan oleh bank sentral.

Dalan sistem moneter yang sedang berkembang, seperti di negara maju, Bank Sentral bisa mengendalikan suku bunga makro secara tidak langsung, karena sektor moneter dan sistem riil bisa berinteraksi dan saling bergantung. Interaksi semacam ini menyebabkan pendapatan dan suku bunga makro ditentukan oleh (1) jumlah uang beredar; (2) prefensi likuiditas masyarakat (cash balances atau kebutuhan uang); (3) investasi; dan (4) tabungan. Suku bunga ditentukan pada tingkat pendapatan nasional tertentu berdasarkan keseimbangan pasar antara produksi riil dengan aset sektor moneter. Demikianlah, modus operandi Bank Sentral negara maju mengandalikan suku bunga makro dan jumlah uang beredar. Pengendalian lain bisa dilakukan dengan menetapkan ceilling atas suku bunga deposito berjangka tertentu, atau dengan operasi pasar terbuka (OPT). Bila acuan suku bunga makro adalah treasury bills, maka suku bunga makro bisa dinaikkan atau diturunkan melalui operasi pasar terbuka.

Ilustrasi tentang tugas-tugas Bank Sentral ini untuk menegaskan sekali lagi bahwa kendali suku bunga makro tidak mungkin lepas dari tangan Bank Sentral. Tanpa kendali tersebut, BI hanyalah penonton dari kubu moneter bila berhadapan dengan soal-soal yang berhubungan dengan pendapatan nasional.

Nampaknya, Bank Indonesia bukannya tidak mengetahui tugas-tugas pengendalian itu. Hanya karena sudah terlalu sibuk dengan tugas-tugas mikro perbankan, tugas-tugas makro terabaikan. Ibarat seorang yang terlalu sibuk mengurus aneka ragam detail hingga melupakan masalah pokok sebenarnya.

 

2.5. Sektor Moneter Indonesia

Daftar di bawah ini kiranya dapat dipakai sebagai indikator kondisi moneter di Indonesia.

Tabel: 2.1

Uang Kuasi di Beberapa Negara (Dalam Persentase terhadap GDP)

 

  

  

Uang Tunai dan Giro (M1)

Uang Kuasi

Bonds

  

  

 

  

  

Indonesia

1983

10,3

9,6

  

  

1987

11,1

18,5

  

Malaysia

1983

20,5

42,3

  

  

1987

21,7

53,0

  

Thailand

1983

8,9

39,5

  

  

1987

10,9

55,8

  

Jepang

1983

28,8

66,2

9,9

  

1987

29,8

71,8

11,5

Sumber : IMF, IFS

Tabel di atas menunjukkan bahwa tren persentase pemakaiaan alat-alat keuangan terhadap GDP di empat negara tersebut meningkat. Di setiap negara, pemakaian uang tunai dan giro lebih rendah daripada pemakaian uang kuasi. Malaysia dan Jepang yang berpendapatan per kapita jauh lebih tinggi dari pada Indonesia dan Thailand, mempergunakan uang dan giro lebih banyak daripada kedua negara yang lain. Di antara keempat negara itu, Indonesia merupakan pemakai uang kuasi terendah, yaitu 18,5% GDP 1987.

Memang, dalam proses moneterisasi dan finansial perekonomian di Indonesia, penggunaan uang kuasi di luar depasito berjangka hampir-hampir tidak berkembang. Ini menunjukkan perkembangan pasar uang dan modal kita masih tertinggal. Tabungan masih banyak berupa aset fisik seperti tanah, sawah, atau perhiasan, meskipun dengan resiko tidak menghasilkan laba atau juga tidak mengalami kerugian modal. Di Thailand dan Malaysia, tabungan semakin diarahkan pada alat-alat finansial baru seperti: treasury bills, acceptances, certificates of deposit (CD), bonds and debentures, stocks, dan lainnya.

Indikator lain dari ketertinggalan Indonesia di sektor moneter adalah tidak adanya perencanaan target-target moneter. Perhatian repelita dari awal hingga Pelita V hanya bertumpu pada sektor riil belaka. Tidak diperhatikan lagi bagaimana pembangunan sistem finansial yang lebih efisien, sehingga dapat meningkatkan produktivitas perekonomian.

 

2.6. Macetnya Fungsi Suku Bunga di Indonesia

Di Indonesia, tabungan berbentuk uang dan alat keuangan, dan penyalurannya pada berbagai bidang tidak berkaitan (non-communicating). Tabungan di satu bidang hanya bisa dipakai untuk membelanjai investasi bidang bersangkutan saja. Di sektor pemerintah juga terjadi hal yang sama. Tabungan APBN, Perkebunan, GIA, Taspen, Asuransi, dan Pertamina (ini hanya sebagian dari BUMN yang besar) tidak terintegrasi dalam satu keranjang tabungan, tetapi terpisah-pisah satu sama lain. Keputusan-keputusan alokasi tidak didasarkan pada determinants and constraints (kriteria) yang sama, karena yang berlaku adalah otonomi masing-masing bidang.

Itulah sebabnya seluruh sektor perkreditan di Indonesia juga terpisah-pisah. Suku bunga menjadi beragam, selain karena faktor jatuh tempo. Sekalipun telah mengetahui suku bunga makro terfragmentasi, BI rupanya tidak berusaha mengawasi atau pun mengoordinir ke arah yang lebih terintegrasi.

 

2.6. 1. Suku bunga Deposito dan Kredit

Sebelum Deregulasi Perbankan 1983, suku bunga mikro, yaitu suku bunga deposito dan kredit perbankan, dikendalikan oleh Bank Indonesia. BI menentukan suku bunga mikro tersebut hanya untuk kepentingan pengerahan deposito sebanyak-banyaknya, tanpa mengacu pada suku bunga makro. Hal itu dilakukan, menurut BI, untuk keperluan pembangunan. BI sekalipun selama beberapa tahun harus mensubsidi suku bunga ini 6%-9%.

Memang, pada akhirnya deposito berhasil melonjak selama dekade 1973-1983, namun kenaikan itu bukan karena deposito elastis terhadap suku bunga, melainkan elastis terhadap pendapatan nasional yang waktu itu melonjak tinggi. Lonjakan pendapatan nasional itu, selain karena inflasi, juga karena produktivitas riil meningkat. Penggunaan sumber-sumber dan teknologi baru, serta laba terms of trade dari kenaikan harga minyak, menjadi pendorong peningkatan produktivitas riil tersebut.

Peningkatan jumlah deposito pada masa itu sedikit banyak berhasil melunakkan inflasi. Namun, sekali lagi, hal ini terjadi bukanlah karena kesengajaan. Kebijaksanaan moneter saat itu melulu berorientasi pada efek pendapatan para deposan, sampai-sampai pendapatan deposan pun dibebaskan dari pajak. Yang perlu diperhatikan, sekalipun tingkat suku bunga kredit dipertahankan tinggi, karena suku bunga deposito juga sangat tinggi, perekonomian selama dekade 1973-1983 sanggup memikul beban berat tersebut. Kesanggupan ini tidak lain karena produktivitas investasi (Marginal Efficiency of capital) jauh lebih tinggi lagi daripada beban suku bunga.

Sesudah Deregulasi 1983 berlaku, suku bunga tidak mengalami perubahan, meski perekonomian dalam keadaan lesu dan stagnasi. Stagnasi menyebabkan produktivitas modal menjadi lemah dan rendah, sehingga mau tidak mau kegiatan investasi terpaksa mengalami tekanan suku bunga kredit yang tinggi.

Bisa diduga, enggannya penurunan suku bunga deposito karena takut deposito akan berkurang dan modal dilarikan ke luar negeri. Pada hal, telah menunjukkan inelastisnya deposito terhadap suku bunga. Walaupun suku bunga deposito dikenakan pajak 15% dengan berlakunya PAKTO 1988, jummlahnya sama sekali tidak terpengaruh. Lagi pula, deposito atau modal dikhawatirkan akan dilarikan ke luar negeri, mengapa bahaya itu tidak ditampung dengan memberlakukan kembali rejim devisa bebas yang sangat luwes?

Korea dan Taiwan pernah menjalankan kebijaksanaan suku bunga kredit dan deposito yang tiggi. Tapi itu dilakukan untuk memerangi inflasi yang sedang berkecamuk. Setelah inflasi dikuasai, segera pula tingkat suku bunga diturunkan. Sifat suku bunga makro seharusnya seperti itu, fleksibel dan tidak kaku (rigid).

Kekakuan membuat suku bunga riil deposito dan kredit di Indonesia tertinggi di Asia, barangkali bahkan di seluruh dunia. Seku bunga deposito yang tinggi umumnya akan menarik investor, terutama investor asing. Sayang, yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Investor asing ketakutan karena menganggap deposito di Indonesia terlalu berisiko.

Untuk merangsang investasi selama ini memiliki tren menurun, seharusnya diusulkan agar suku bunga kredit diturunkan menjadi 12%-14%. Bersamaan dengan itu suku bunga deposito juga diturunkan menjadi 10%-12%, sehingga secara riil masih di atas suku bunga riil pasar internasional. Suku bunga kredit bisa diturunkan menjadi 9%-11%, tetapi harus disubsidi Bank Indonesia. Dana subsidi bisa diambil dari keuntungan pinjaman IGGI yang dinikmati BI selama ini. Keuntungan pinjaman ini diperoleh dari selisih yang sangat menyolok (sekitar 10 poin) antara suku bunga perolehan dan suku bunga pinjaman BI.

 

2.6. 2. Suku bunga Diskonto Bank Sentral

Diskonto BI selama ini juga dioperasikan terpisah, tidak berkaitan dengan suku bunga lain maupun jumlah uang beredar. Baru-baru ini suku bunga diskonto diturunkan BI dari 18% menjadi 16% karena katanya, suku bunga call money sudah turun. Sekiranya, alasan ini sungguh dibuat-buat. Suku bunga diskonto tidak ada sangkut pautnya dengan perkembangan suku bunga call money. Lagi pula politik diskonto bukanlah politik yang pasif mengekor, tetapi aktif, terutama dalam menentukan suku bunga. Karena itu, BI bisa saja menentukan tingkat diskonto menjadi 8%-9% seperti yang diinginkan. Untuk bank yang kepepet likuiditas, BI pun bisa saja memberikan pinjaman melalui jendela diskonto dengan diskon 7%-8%.

Biasanya BI enggan membuka jendela tersebut, karena untuk menjaga kestabilan suplai dan permintaan uang pada tingkat suku bunga tertentu. Pada hal dalam hal demikian seharusnya fungsi dasar Bank Sentral sebagai “lender of last resort” (pemberi pinjaman bila bank-bank dalam keadaan kepepet uang tunai) secara murni dipertahankan. Sayang, diskonto BI belum berfungsi seperti itu.

 

2.6. 3. Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)

Sama seperti diskonto BI, suku bunga SBI juga berdiri sendiri sebagai alat mikro, dan tidak berkaitan dengan jumlah uang beredar. Sebenarnya suku bunga SBI bisa berfungsi sebagai suku bunga makro melalui operasi pasar terbuka, sayang volumenya masih terlalu kecil.

Selama ini SBI hanya berfungsi sebagai alat tabungan perbankan sambil menimbulkan kerugian bunga bagi BI. Sungguh sangat janggal. Untuk apa BI merugi bila pembelian SBI hanya mengurangi likuiditas produktif masyarakat?

 

2.6.4. Rasio Cadangan atau Reserve Ratio (rr) Bank-bank

Kesulitan bank-bank memperluas volume kredit salah satu bukti bawa tingkat suku bunga kredit sudah terlalu tinggi. Dan itulah yang terjadi, kendati rasio cadangan sudah diturunkan secara drastis, dari 15% menjadi 2% saja. Kelebihan likuiditas bank-bank akibat Deregulasi PAKTO 1988 justru diinves dalam SBI, sehingga likuiditas produktif menjadi likuiditas non-produktif.

Dari uaraian di atas jelas kiranya bahwa macetnya fungsi suku bunga turut memacetkan fungsi sektor moneter dan sektor riil produksi.

 

2.6.5. Efisiensi Sektor Moneter

Bagaimanakah menilai efisiensi sektor moneter kita sekarang ini? Bank dan lembaga finansial non bank yang berlaba tinggi belum tentu efisien, lebih-lebih bank-bank pemerintah. Bank-bank pemerintah adalah para oligopolis, dan uang di tangan oligopolis selalu menciptakan uang (money begets money).

Oleh sebab itu, penilaian efisiensi memang lebih tepat bila dilakukan dengan membandingkan biaya yang dikeluarkan dengan fungsi yang diselenggarakan. Beberapa fungsi tersebut adalah menyediakan alat-alat pembayaran berbentuk uang dan aset finansial lainnya untuk pembentukan tabungan, dan mengalokasikan tabungan tersebut dalam suatu investasi.

Efisiensi sektor moneter, misalnya dalam hal suku bunga, sangat berpengaruh pada sektor riil. Bila suku bunga makro tidak berfungsi alias macet, maka sektor riil juga menjadi tidak berfungsi. Untuk bisa melihat kemacetan ini, dan juga perkembangan perekonomian yang permanen dan struktural, seyogyanya jangan terpukau oleh hasil-hasil sementara saja. Berikut ini adalah contoh sektor riil yang juga menjadi macet akibat kemacetan sektor moneter.

Katakanlah Indonesia dan Malaysia sama-sama sanggup bersaing. Bila Malaysia mengekspor 100, Indonesia juga sanggup mengekspor 100 sehingga produksi di kedua negara ini seolah-olah sama-sama efisien. Namun, dibalik kesamaan angka 100 tersebut, terdapat perbedaan yang fundamental seperti:

Malaysia     100 = 48 + 52

Indonesia    100 = 24 + 50 + 26

Angka 52 di Malaysia dan 50 di Indonesia menunjukkan bagian pendapatan pemilik modal, dan angka 48 di Malaysia 24 di Indonesia adalah uapah pekerja. Tingkat upah pekerja rendah di Indonesia adalah akibat built in inefficiency, termasuk inefisiensi suku bunga modal. Dari seluruh unsur inefisiensi tersebut, yaitu dinyatakan dengan angka 26, yang terbesar adalah pendapatan ekstra non-fungsional, sehingga harus disubsidi oleh para pekerja. Mereka dibayar dengan upah minimum, yaitu pada tingkat subsisten belaka.

Contoh inefisiensi sektor moneter dapat pula disaksikan dari kegagalan membentuk golongan wira swasta pribumi. Di sini bukan hendak meniupkan diskriminasi penduduk, tetapi sekedar mengemukakan obeservasi tentang adanya diskriminasi tersebut. Menurut suatu perkiraan, diskriminasi ini dilakukan di luar kesadaran pelaku sistem moneter. Mereka tidak sadar bahwa sistem pembiayaan moneter tidak pernah memodali pribumi dengan bantuan kredit wira swasta yang cukup, sesuai kemapuan sektor moneter. BI sudah merasa cukup bila sudah membantu pribumi menjadi wira swastawan dengan KIK dan KMKP. Sistem pembiayaan yang diskriminatif terhadap pribumi itulah yang menjadi dosa terbesar otoritas moneter.

 

2. 7. Peraturan Ekonomi

Sejak Deregulasi Perbankan berlaku,1 Juni 1983, beruntun aneka ragam peraturan deregulasi dan debirokratisasi ekonomi diumumkan teknokrat pemerintah. Sebenarnya ada baiknya bila peraturan-peraturan tersebut ditinjau kembali dari segi ekonomi (the economics of economic regulations). Selanjutnya, peraturan-peraturan itu kita tempatkan pada proporsi sebenarnya agar jangan ada salah tafsir, seolah-olah peraturan-peraturan tersebut dapat menggantikan kebijaksanaan ekonomi atau sebagai penerapan ilmu ekonomi.

Apakah Peraturan Ekonomi itu? Dalam pertandingan sepak bola berlaku aturan main (spelregels, rules of the game), yang sedikitpun tidak bisa disamakan dengan permainan sepak bola. Peraturan sepak bola menetapkan, antara lain, pemain tidak boleh main kasar, tidak boleh menyentuh bola kecuali penjaga gawang, jangan off-side, dan pakaian harus seragam. Peraturan juga menentukan lebar dan tinggi gawang serta ukuran lapangan. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa peraturan itu sederhana dan boleh dikatakan tuntas (exhaustive), sulit ditambah peratauran baru. Hakekatnya sederhana saja, yaitu harus paham dan tidak boleh tanpa paham.

Aturan main sepak bola hanyalah alat bantu agar pertadingan berlangsung tertib, sportif, dan aman. Tanpa harus paham dan tidak boleh paham maka pertandingan pastilah kacau balau. Tujuan peraturan ekonomi pun mirip dengan aturan main sepakbola, yaitu untuk membantu kelancaran permainan, dalam hal ini kegiatan ekonomi.

Benang merah seluruh tulisan ini tidak mengenai hasil pertarungan ekonomi di bidang produksi, investasi, ekspor impor atau lainnya, melainkan mengenai rangkaian mekanisme sebab musabab hasil-hasil ekonomi. Dengan kata lain, yang terpenting bukannya laba Bank Bumi Daya sama dengan 100 – 40 = 60, tapi bagaimana bank tersebut sampai bisa dengan penerimaan 100 dan biaya 40.

Kaitan sebab musabab dalam benang merah tadi dikenal dan disebut sebagai
hukum-hukum ekonomi. Hukum-hukum ini dapat dinyatakan secara verbal meupun secara matematis, yaitu dalam rumus atau kurva. Di bawah ini adalah contoh hubungan sebab musabab berbentuk rumus

  1. dY = 0,6L + 1,2K + 0,8T
  2. S = 0,14Y

Keterangan:

dY = pertambahan pendapatan nasional;

L = investasi tenaga kerja;

T = investasi teknologi;

S = saving nasional;

K = modal.

Contoh rumus di atas menunjukkan hubungan fungsional antara investasi dan pendapatan nasional Indonesia pada 1990. Dengan bantuan rumus ini bisa ditetapkan berbagai kebijakan (strategi) ekonomi berdasarkan berbagai pilihan yang tersedia. Menurut rumus tersebut, pertambahan pendapatan nasional ditentukan oleh tiga faktor, yakni tenaga kerja, modal dan teknologi. Tabungan nasional ditentukan oleh pendapatan nasional. Pengaruh setiap faktor penentu terhadap pendapatan dan tabungan terlihat dari koefisien masing-masing faktor.

Menurut rumus (1), bila strategi pada 1990 adalah berinvestasi pada tenaga kerja, modal, dan teknologi masing-masing Rp 150 trilyun, Rp 200 trilyun dan Rp 50 trilyun, maka pendapatan nasional akan bertambah dengan 0,6 x 150 + 1,2 x 200 + 0,8 x 50 = Rp 370 trilyun. Bila pendapatan nasional pada 1989 berjumlah Rp 3.100 trilyun, maka pada 1990 akan menjadi Rp 3.470 trilyun ,yang berarti mengalami pertumbuhan 12% dan pertumbuhan riil 4%, bila tingkat inflasi 8%. Tabungan nasional 1990 akan berjumlah 0,14 x Rp 3.470 trilyun = Rp 486 trilyun, sudah melebihi alokasi investasi total (Rp 400 trilyun) sehingga tidak memerlukan pinjaman luar negeri.

Selama beberapa tahun terakhir ini, dan juga dalam repelita V, prioritas kebijakan ekonomi ditekankan pada ekspor non migas. Rupanya kita lupa bahwa sekalipun ekspor non migas menduduki tempat strategis, dalam konteks stagnasi ekonomi dewasa ini, impor menjadi jauh lebih startegis untuk segera ditangani ketimbang ekspor. Itu karena ekspor mengurangi persediaan barang-barang dalam negeri, sedang impor justru memperbesar persediaan.

Selama ini produksi dalam negeri kita, termasuk produksi non-migas untuk ekspor, sangat tergantung pada impor alat-alat modal dan bahan baku. Bila persediaan dalam negeri menurun, sementara produksi tetap, tentu tambahan impor diperlukan. Kenyataannya, sejak 1983 investasi dalam negeri justru lesu sehingga impor cenderung menurun. Kelesuan impor ini akhirnya memperkuat kelesuan investasi, sehingga stagnasi terjadi di mana-mana. Demikian seterusnya.

Istilah pembangunan tinggal landas sangat populer dalam repelita, meski modus operandinya tidak pernah diformulasikan. Yang selama ini dikemukakan hanyalah bahwa pembangunan tinggal landas mencakup bidang-bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, agama, sosial, kebudayaan, bahkan pertahanan keamanan (hankam). Sekalipun pernyataan ini benar, namun perlu kiranya disadari bahwa menu utama pembangunan tersebut adalah pembangunan ekonomi. Bila bidang ekonomi mengalami kegagalan, maka seluruh pembangunan di berbagai bidanng tadi juga akan gagal. Oleh sebab itu, seyogianya model ekonomi untuk pembangunan tinggal landas dirumuskan sehingga bisa dijadikan acuan.

Harus kita akui secara jujur bahwa model ekonomi tinggal landas tidak pernah ada, karena memang tidak mungkin dirumuskan. Konsep tinggal landas hanyalah konsep sejarah ekonomi yang tidak mengandung makna operasional berdasarkan perinsip-perinsip ekonomi. Tinggal landas hanyalah fenomena ex-post (hasil sejarah) dan bukan fenomena ex-ante yang dapat direncanakan. Barangkali perlu juga diketahui bahwa tidak ada satu pun negara di dunia ini yang pernah menggunakan konsep tinggal landas dalam perencanaan pembangunan ekonominya. Karena itu, dengan mudah dapat dipahami bahwa “spelregels” repelita dan pembangunan tinggal landas tidak mungkin dirumuskan.

Di bawah ini dilanjutkan kajian dengan membahas dua buah peraturan, yaitu Peraturan Kenaikan Tarif Listrik 24% dan Paket Peraturan tentang Deregulasi Keuangan dan Perbankan (Pakto 1988).

1). Peraturan Kenaikan Tarif Listrik 24%

Spelregels dalam peraturan baru ini sederhana sekali, karena hanya mengharuskan para pemakai listrik untuk melaporkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) mereka. Modus operandi peraturan tersebut juga sederhana, karena mengacu pada hukum permintaan dan penawaran elementer.

Maksud pemerintah menaikkan tarif listrik 24%, agar Perusahaan Listri Negara (PLN) memperoleh sejumlah dana tertentu yang diperlukan. Menurut hukum permintaan dan teori harga, sebenarnya tersedia dua alternatif bagi PLN untuk mendapatkan dana tersebut, yaitu dengan menaikkan atau menurunkan harga. Perbedaan dua pilihan itu terletak pada dampaknya. Untuk menentukan pilihan, seyogianya diketahui terlebih dahulu elastisitas pemakaian listrik.

Peningkatan tarif listrik seperti sekarang ini membuat masyarakat harus berhemat, sehingga bisa dipastikan pemakaian listrik akan berkurang. Berkurangnya pemakaian listrik tentunya akan menyebabkan penerimaan PLN turun kecuali permintaan terhadap listrik inelastis. Inelastis artinya turunnya volume pemakaian listrik (misalnya dari 400 menjadi 380) jauh lebih kecil daripada 24% kenaikan tarif, sehingga penerimaan akan meningkat, yaitu dari Rp 8000,- (400 x Rp 20) menjadi Rp 9120,- (380 x Rp 24). Sebaliknya, bila pemakaian lebih besar dari pada peningkatan tarif, penerimaan PLN akan turun misalnya, dari Rp 8000,- (400 x Rp 20) menjadi Rp 7680,- (320 x Rp 24).

Penurunan tarif listrik, sebaliknya, pasti akan menambah pemakaian lsitrik. Supaya penerimaan sebelum kenaikan tarif lebih besar dari pada setelahnya, pemakaian listrik harus bersifat elastis sekali. Artinya; kenaikan volume pemakaian listrik relatif lebih besar daripada penurunan tarif sehingga pendapatan naik Rp 8000,- (400 x Rp 20) menjadi Rp 9000, (500 x Rp 18).

Bila tarif naik, pendapatan efektif para pelanggan akan berkurang. Dengan sendirinya pemakaian listrik rumah tangga juga akan berkurang, sekalipun pengurangannya tidak sebesar dampak kenaikan tarif. Selain menyebabkan pemakaian listrik berkurang, kenaikan tarif akan menyebabkan pemakaian dan pembelian barang-barang rumah tangga yang menggunakan tenaga listrik turut berkurang, sehingga berdampak pada industri peralatan rumah tangga tadi.

Efek langsung lain dari kenaikan tarif terlihat pada kenaikan biaya produksi, lenih-lebih biaya produksi para produsen yang banyak menggunakan listrik. Tabel di bawah ini menunjukkan persentase pengeluaran biaya-biaya bahan bakar, tenaga listrik, dan gas pada beberapa industri.

Tabel : 2.2

Persentase Biaya Bahan Bakar pada Beberapa Industri

 

Industri

(%)

Mesin listrik

3,7

Logam

4,0

Besi & Baja

16,1

Kertas dll

24,6

Gelas dll

35,3

Barang bangunan

35,5

Keramik, Porselin dll

40,3

Sumber : BPS

 

Kenaikan listrik menyebabkan daya saing industri-industri pemakai listrik berkurang, meski mereka telah berusaha membebankan tambahan biaya listrik tadi kepada pembeli, yaitu dengan menaikkan harga, atau dengan menekan upah pekerja sampai pada tingkat subsisten.

Penurunan pemakaian listrik, sebagai dampak dari kenaikan tarif, akan memperbesar kapasitas tidak terpakai (excess capacity) PLN. Kapasitas tak terpakai tersebut akan semakin besar sampai pemakai listrik kembali.

Persoalan lain akibat kenaikan tarif ialah bertambah parahnya pemakaian listrik ilegal, di samping meningkatnya penunggakan pembayaran rekening listrik, terutama dari instansi pemerintah, sumber penerimaan PLN cukup besar.

Sebenarnya, penerimaan PLN akan menjadi lebih baik, jika suku bunga hutang PLN pada BI diturunkan sampai menyamai suku bunga pinjaman IGGI pada BI. Semua gambaran di atas sebenarnya hendak menggambarkan bahwa peningkatan tarif listrik tersebut hanyalah memikirkan hasilnya, yakni penerimaan PLN dari penjualan listrik semata, tanpa memperhitungkan rentetan permainan sebelum penerimaan tersebut masuk kas.

 

2). Pakto 1988

Berbeda dengan peraturan di atas, Pakto 1988 tidak mengacu pada modus operandi permintaan dan penawaran uang. Pakto 1988 juga memperhitungkan fungsi bank dan lembaga finansial terhadap peredaran uang maupun pengaruhnya atas perkembangan pasar uang dan pasar modal. Konsentrasi Pakto 1988 hanya ada pada aturan permainan bukan pada permainan di lapangan moneter, sehingga memutar balikkan prosedur yang normal, yaitu dari:

 

Cakupan Pakto 1988 sangat luas, antara lain meliputi sebagai berikut.

  • Keharusan memenuhi persyaratan modal, sistem, dan ijin bila hendak mendirikan bank dan lembaga keuangan lainnya di kota dan di daerah, atau bila akan melakukan merjer dan menarik partisipasi modal asing.
  • Keharusan memenuhi koefisien tentang sehat tidaknya lembaga keuangan.
  • Cara menjalankan transaksi call oney, Certificates of Deposits, Sertifikan Bank Indonesia (SBI), devisa-swap, dan kertas yang harus digunakan.
  • Tugas-tugas yang harus dipenuhi money changers.
  • Penurunan reserve ratio, yaitu alat kontrol BI terhadap likuiditas yang harus dipelihara bank komersial dari 15% menjadi 2%.
  • Ketentuan bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diperbolehkan mentransfer 50% depositonya di bank pemerintah ke bank swasta.
  • Pengenaan pajak baru sebesar 15% terhadap pendapatan dari deposito berjangka, sertifikat deposito, dan lain sebagainya.

Karena Pakto’88 tidak mengacu pada model ekonomi mana pun seperti dikatakan di atas, banyak soal kebijaksanaan moneter dan ekonomi yang timbul tidak terjawab, di antaranya sebagai berikut.

  1. Apakah perekonomian kita oleh BI dianggap elastis terhadap kehadiran lembaga keuangan (institution elastic), sehingga BI mempertimbangkan untuk mendorong berdirinya bank-bank baru? Jika betul demikian, mengapa bank-bank pemerintah yang oligopolis dan bermodal kuat tidak diikutsertakan dan diperluas cakupannya untuk maksud-maksud tersebut?
  2. Bukankah perekonomian kita, lebih-lebih perekonomian rakyat pedalaman, dewasa ini lebih memerlukan spesialisasi fungsi bank? Bukankah petani kecil sudah terjerat oleh sistem ijon dan tengkulak, sehingga perkreditan swasta yang didirikan kelak akan semakin menambah penderitaan mereka, karena pendapatannya akan semakin dikuras oleh swasta tersebut.
  3. Bukankan bank-bank swasta baru dan lama, lebih-lebih dengan kesempatan yang diberikan BI untuk mengalihkan 50% deposito BUMN, akan menggerogoti kegiatan bank-bank pemerintah? Big Five BUMN perdagangan telah mengalami hal tersebut sehingga sekarang menjadi kerdil karena disudutkan perusahaan-perusahaan swasta. Dalam hubungan ini perlu diperhatikan apa makna undian berhadiah Rp 500 juta yang digerakkan beberapa bank monopoli swasta. BI menganggapnya gejala normal persaingan yang tidak perlu dicegah. Pada hal tujuan utama undian berhadiah tersebut telah mengelirukan para deposan dan menggerogoti deposito bank-bank pemerintah. Undian tersebut hanya bersifat sementara dan tidak mungkin dilanjutkan sesudah suatu waktu tertentu, terlepas dari persoalan berhasil tidaknya penarikan deposito tadi. Undian tadi sama saja dengan sogok semu yang juga akan timbul dengan kelonggaran mentransfer 50% deposito BUMN tadi.
  4. Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah megapa rasio cadangan diturunkan menjadi 2%? Apakah rr yang semula 15% dianggap menghambat perkembangan moneter dan ekonomi hingga harus dirubah secara drastis?
  5. Praktik devisa-swap selama ini menimbulkan dua gejala yang bertentangan. Di satu sisi Bank Indonesia (BI) memberikan pengertian artificial, seolah-olah devisa-swap menjadi komplementer terhadap persediaan devisa Indonesia, di sisi lain swasta tetap saja harus berkompetisi untuk mendapatkan devisa tersebut. Artinya, bila suku bunga kredit dalam negeri diturunkan menjadi normal, maka sama sekali tidak ada tempat bagi devisa swap sebagai alat pembiayaan. Bila suku bunga tadi tetap tinggi seperti sekarang, maka ongkos suku bunga devisa swap akan tetap tinggi dan melemahkan daya saing Indonesia.
  6. Mengapa pendapatan dari deposito dikenai pajak hanya 15%, sehingga tidak sesuai dengan UU Pajak Penghasilan 1984? Bukankah pengenaan pajak tersebut melanggar prinsip BI selama ini, yang menganggap bahwa pembebasan pajak semula adalah dimaksudkan untuk memperbesar jumlah tabungan?
  7. Apakah money changers di Indonesia dianggap hanya melakukan transaksi traveller’s cheques dan mata uang asing dengan para turis semata, tanpa melakukan spekulasi devisa?

Semua “pak-pak” tadi disebut sebagai tindakan deregulasi dan debirokratisasi. Namun sebutan tersebut menjadi mis nomer (salah nama), karena tidak satu pun yang in concreto menyebut regulasi dan birokrasi mana, yang dihilangkan karena selama ini telah menghambat perkembangan ekonomi.

Karena itu, pak-pak tersebut hanya menjadi atauran main (rules of the game) dari sebuah permainan yang belum diketahui. Dengan kata lain, “pak-pak” tersebut semuanya verpak-king (bungkus) saja dari sesuatu yang tidak kita ketahui apa isinya. Melihat gejala ini, timbul satu ketakutan, yaitu apabila pak-pak lain muncul seperti yang dijanjikan para teknokrat, kita akan semakin dalam ditindih timbunan ribuan kilo kertas-kertas peraturan.

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan satu pertanyaan, tahu dan sadarkah kita sekarang mengapa staf Bank Dunia dan pakar ekonomi dari negara-negara IGGI, entah itu dari Amerika Serikat, Jepang atau Eropa Barat, selalu memuji-muji kesuksesan kita dalam pelaksanaan deregulasi dan debirokratisasi? Kendati demikian, kebenaran tidak mungkin dapat dihilangkan oleh gemuruhnya suara terompet.

 

2.8. RUU Perbankan akan Disahkan?

Dalam perekonomian yang sudah maju, mekanisme harga menjadi alat untuk mengalokasikan sumber-sumber produksi. Pemakaian uang, terlebih aset finansial, meningkat, sehingga pangsanya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) bertambah besar. Kondisi ini menyebabkan munculnya aneka ragam lembaga perantara keuangan, sendi perekonomian yang sudah maju.

Pertumbuhan riil Produk Domestik Bruto (PDB) dan pendapatan nasional mendorong timbulnya ekspansi, lebih-lebih oleh unit-unit produksi dalam sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan lebih pesat (leading sector). Ekspansi selalu membutuhkan dana eksternal, seperti investasi dan pinjaman dari luar perusahaan, dana internal, meliputi tabungan, laba, dan penyusutan. Oleh sebab itu, semakin pesat pertumbuhan PDB, semakin besar dana eksternal dan internal yang mereka butuhkan. Umumnya pengusaha menutup kebutuhan ini dengan tabungan. Namun, tidak sedikit dari mereka berani mengambil resiko dengan berekspansi melebihi tabungannya sehingga selalu memerlukan dana.

Lembaga-lembaga keuangan menjadi perantara dalam proses transfer dana tersebut. Mereka menjadi perantara dengan menerbitkan aneka ragam instrumen finansial untuk dijual kepada mereka yang mempunyai dana surplus, dan membeli aneka ragam instrumen finansial dari para investor berdasarkan perhitungan portfolio.

Selain menjalankan fungsi moneter dengan mengambil bagian dalam sistem pembayaran, lembaga keuangan juga menjalankan fungsi-fungsi berikut. Fungsi mobilisasi ; lembaga finansial mengumpulkan dana kecil yang tersebar, dan menyalurkannya ke dalam investasi yang lebih besar

  1. Fungsi likuiditas; lembaga keuangan mempunyai kemampuan untuk memelihara likuiditas alat-alat finansial, dan menjamin supaya alat-alat tersebut dapat dicairkan menjadi uang tunai. Pencairan dapat dilakukan dengan segera tanpa menunggu alat-alat tersebut jatuh tempo, mengingat tidak semua alat finansial dicairkan dalam waktu bersamaan, sebagaimana dikatakan hukum-angka-besar (law of great numbers).
  2. Fungsi keahlian; pelaku lembaga finansial umumnya adalah ahli-ahli finansial, yang mampu mengevaluasi kredit dan keadaan ekonomi. Keprofesian ahli-ahli ini menentukan produktivitas sistem finansial.
  3. Fungsi penyatuan maturity; bank-bank dan lembaga keuangan bukan bank mampu menyediakan dana setiap saat, tanpa terikat pada jatuh temponya portfolio alat-alat finansial.

Perluasan pasar alat-alat finansial adalah konsekuensi pertumbuhan riil perekonomian, untuk menciptakan likuiditas perekonomian yang lebih baik.

Pertumbuhan riil perekonomian tidak terjadi secara otomatis, fleksibel, serta berbiaya rendah. Terutama di negara-negara sedang berkembang, pertumbuhan riil perekonomian tidak selalu berlangsung mulus, karena menghadapi berbagai kendala, seperti kesenjangan distribusi pendapatan nasional, peraturan dan perundang-undangan yang kurang cocok, serta sikap sosial yang tidak mendukung.

Spesialisasi bank dan LKBB tak lain adalah untuk menciptakan lembaga perantara keuangan yang efisien dan produktif. Karena itu, perencanaan spesialisasi tersebut juga harus benar-benar memadai, jangan sampai menciptakan mercu suar finansial, menghambat pertumbuhan ekonomi.

Efesiensi Bank dan Lembaga Kredit Bukan Bank (LKBB) tidak diukur dari jumlah dana yang berhasil dimobilisir, kompleksitas, ataupun kecanggihan lembaga tersebut. Efisiensi itu ditentukan oleh efisiensi pemakaian dana yang ada sehingga lembaga keuangan yang membiayai impor barang-barang mewah atau real estate, tidak lebih berhasil dari yang membiayai bidang-bidang yang berkaitan dengan kepentingan rakyat dan perluasaan lapangan kerja.

Struktur perbankan di Indonesia diatur dengan Undang-Undang (UU) sebagai berikut.

1). UU Pokok Perbankan No 14 tahun 1967

2). UU No 13, 1968, tentang Bank Sentral

3). UU No 17, 1968, tentang Bank Negara Indonesia 1946

4). UU No 18, 1968, tentang Bank Dagang Negara

5). UU No 19, 1968, tentang Bank Bumi Daya

6). UU No 20, 1968, tentang Bank Rakyat Indonesia

7). UU No 21, 1968, tentang Bank Ekspor Impor Indonesia

Bank-bank pemerintah, bank-bank swasta nasional, bank asing, dan LKBB hasil patungan permerintah-swasta-asing dan nasional, didirikan berdasarkan UU Pokok Perbankan 1967. Bank-bank pemerintah meliputi Bapindo, Bank Pembangunan Daerah, dan Bank Koperasi.

Sejak 1968, terjadi spesialisasi perbankan berdasarkan bidang kegiatan dan jangka waktu pinjaman. Spesialisasi per bidang kegiatan pada bank-bank komersial pemerintah adalah sebagai berikut : BNI mengkhususkan pada sektor industri, BDN pada sektor pertambangan, BBD pada sektor perkebunan dan kehutanan, BRI pada sektor perekonomian rakyat umumnya, Bank Exim pada ekspor dan impor, dan BTN pada pengumpulan deposito dan pembiayaan perumahan.

Spesialisasi per jangka waktu pinjaman (term lending) yang terjadi di antara bank dan LKBB adalah sebagai berikut: bank-bank komersial pemerintah maupun swasta mengutamakan kegiatan pembiayaan dan investasi jangka pendek. Sebaliknya, LKBB, Bapindo, BPD, dan bank-bank swasta tertentu mengkhususkan pada pembiayaan jangka panjang. Spesialisasi lain adalah dalam hal penciptaan uang cek. Hanya bank-bank komersial (bank umum dan devisa) saja yang terlibat sebagai pencipta uang giro.

Maksud spesialisasi per bidang adalah agar petugas yang terlibat, selain memiliki visi, juga memiliki keahlian, dan sanggup memberikan penanganan yang lebih detail atas masalah-masalah yang dihadapi masing-masing sektor per-ekonomian. Spesialisasi perbankan berdasarkan jangka waktu pinjaman adalah untuk menyesuaikan dengan sistem likuiditas.pinjaman jangka pendek bersumber dari dana jangka pendek, dan pinjaman jangka panjang bersumber dari dana jangka panjang.

Kenyataannya, penarikan sesuai dengan sistem likuiditas di atas tidak berlaku absolut. Ada proses lain yang berlaku sesuai hukum angka besar. Dana jangka pendek tidak selalu ditarik dalam jangka yang pendek pula. Sebagian besar dana tersebut disimpan di Bank untuk jangka panjang, sehingga bisa dipergunakan oleh bank untuk investasi jangka panjang. Seandainya ada integrasi yang mantap di antara semua lembaga finansial, investasi jangka panjang seyogianya dilakukan oleh LKBB.

 

2.9. Kelemahan RUUP

Keberatan yang paling pokok terhadap Rencana Undang-Undang Perbankan (RUUP) adalah: RUUP menyederhanakan terhadap sistem perbankan di Indonesia, termasuk kegiatan bank-bank itu sendiri. RUUP seolah-olah menganggap dunia perbankan di Indonesia sangat sederhana, dan UU Perbankan yang sekarang berlaku (UU Pokok Perbankan No. 14 tahun 1967) hanyalah mempersulit fungsi perbankan.

RUUP juga menganggap sepi rumusan-rumusan UU Perbankan yang panjang lebar dan rinci mengenai tugas serta kewajiban bank pemerintah. RUUP hendak menggantikan UU Perbankan lama dengan UU Perbankan baru yang menghapuskan semua spesialisasi perbankan, tanpa penjelasan yang memadai.

Berikut ini adalah Poin-poin keberatan terhadap RUUP.

a. Penggantian dan penghapusan semula UU perbankan yang sekarang berlaku hanyalah “pennestreek” (goresan pena) semata, yang tidak memperhitungkan kontinuitas sejarah. Ini tercermin dari Bab VIII RUUP, pasal 47, 48, 49. Penjelasan pasal-pasal itu sebagai berikut.

a). Pasal 47

Dengan berlakunya RUUP nanti, kedelapan UU tersebut dinyatakan berlaku untuk jangka waktu selama-lamanya satu tahun saja dan sesudahnya hapus sama sekali. Bank-bank Pemerintah tersebut diwajibkan supaya memenuhi ketentuan-ketentuan RUUP. Bila bank-bank Pemerintah tadi setelah menyesuaikan diri dengan ketentuan dalam RUUP lebih awal dari satu tahun maka UU Perbankan sekarang ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

b). Pasal 48

Memberi ketentuan peralihan dan penyesuaian diri dalam jangka waktu satu tahun bagi bank-bank swasta yang sudah ada.

c). Pasal 49

Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) diberikan kesempatan menyesuaikan kegiatan menurut ketentuan RUUP menjadi Bank Umum saja selambat-lambatnya dalam jangka waktu yang sama (yakni satu tahun juga).

Ketiga pasal tersebut mengharuskan bank dan LKBB menyesuaikan diri dengan RUUP, tanpa menjelaskan bentuk penyesuaian yang seharusnya. Namun diperkirakan, penyesuaian yang dikehendaki hanyalah sebatas mengubah bentuk hukum lembaga-lembaga tersebut menjadi PT (Perseroan Terbatas).

Beberapa rumusan RUUP tentang ketentuan penyesuaian kegiatan perbankan dan LKBB terasa janggal. Contohnya, rumusan mengenai usaha bank; perizinan; struktur organisasi, kepengurusan; permodalan; kepemilikan; keahlian di bidang perbankan; pembukaan kantor cabang, kantor pembantu, kantor perwakilan; merger; pengawasan pembukuan; dan ketentuan pidana. Selain sangat samar, karena terlalu pendek dan sederhana, rumusan-rumusan tersebut juga tidak lazim. Rumusan tersebut disusun tanpa menggunakan istilah-istilah perbankan dan moneter yang lazim berlaku di dunia perbankan Indonesia. Padahal istilah ini sudah dibakukan serta dibukukan oleh Bank Indonesia dalam 3 jilid buku Iktisar Ketentuan-Ketentuan Perbankan Indonesia, 1982. Karena itu, rumusan tersebut tidak lengkap dan menyimpang dari UU Perbankan sekarang.

Penyimpangan dan ketidaklengkapan rumusan RUUP tadi bukanlah sekedar kelemahan redaksional. Hal itu karena memang ada perbedaan yang hakiki antara UU perbankan sekarang dengan RUUP, seperti perbedaan fungsi moneter dan finansial perbankan. UU perbankan mengutamakan spesialisasi, sedangkan RUUP menekankan penyeragaman fungsi bank dan menentukan hanya ada satu jenis bank, yaitu bank umum.

Penyeragaman fungsi semua bank dan LKBB ini sama sekali lepas dari sejarah perkembangan lembaga finansial yang biasa kita kenal. Mestinmya, jika pemerintah benar-benar bermaksud menyimpang dari sejarah, paling tidak RUUP bisa menjelaskan alasannya. Berikut ini dijelaskan beberapa pasal yang ada keterkaitan dengan perbankan.

a). Pasal 6

Bank Umum dilarang memerikan kredit tanpa jaminan. Ketentuan dalam pasal 6 ini sudah usang dalam teori perbankan modern. Bila kredit bank hanya didasarkan pada agunan belaka, maka alokasi pembiayaan hanyalah menurut harta kekayaan atau likuiditas calon nasabah. Nyatanya, pemilikan atas harta atau likuiditas belum menjamin bahwa nasabah sudah memenuhi syarat-syarat kewiraswastaan dan layak menerima kredit. Tidak jarang terjadi semakin kaya peminjam semakin miskin jiwa wirausahanya. Begitu juga sebaliknya. Semakin tidak punya jaminan semakin kuat jiwa wirausahanya, seperti beberapa pengusaha kecil kita. Sebagaian besar pengusaha kecil hanya memiliki agunan peimer berupa daya-laba, likuiditas, serta integritas. Agunan dalam bentuk hipotik, pegadaian, dan jaminan-jaminan institusional menjadi agunan sekunder.

Agunan memang penting, tapi yang paling utama adalah bagaimana menggunakan agunan tersebut. Jadi bila RUUP menghendaki kredit diberikan hanya bila ada jaminan, hanya akan membawa hidup perbankan dan lembaga finansial lain di Indonesia mundur ke belakang lebih dari 25 tahun. Oleh sebab itu, akan lebih tepat bila kita memberlakukan UU yang berlaku sekarang ketimbang mengesahkan RUUP. Yang diperlukan sekarang ini bukanlah peraturan-peraturan perundang-undangan baru, tetapi tindakan-tindakan. Tindakan yang tepat untuk menjalankan strategi perbankan dan moneter sesuai dengan kebutuhan perekonomian yang sedang berkembang pesat. Nyatanya, RUUP tidak memberikan ketentuan-ketentuan tentang operasi bank, termasuk batas-batas yang harus ditaati perbankan. Lebih dari itu, RUUP juga tidak memberi kepastian bahwa tingkat suku bunga deposito dan pinjaman dari perbankan bisa ditentukan oleh Bank Sentral.

 

Pasal 17, ayat 1

Bentuk hukum Bank Umum dapat berupa Perseroan Terbatas atau Koperasi. Pasal ini meninggalkan pertanyaan tentang: siapakah yang menentukan bentuk bank pemerintah yang harus berubah menjadi Perseroan Terbatas atau Koperasi? Apa untungnya menjadi Perseroan Terbatas atau Koperasi? Dengan pertimbangan di atas, disimpulkan, RUUP dapat merusak kehidupan perbankan dan LKBB yang sehat. Pembaruan yang hendak dituju RUUP pun masih sangat jauh untuk diwujudkan. Oleh sebab itu, yang menjadi pertanyaan besar, apakah DPR masih saja akan mengesahkan RUUP tersebut?

 

2. 10. Kelumpuhan Bank Indonesia

Menjelang akhir tahun 1996, semarak debat-kusir di kalangan para pemimpin bank dan pengamat ekonomi tentang suku bunga yang waktu itu begitu tinggi. Mereka berdebat dengan argumen-argumen yang amburadul. Memang aneh, tetapi tidak usah terlalu dirisaukan, kalau mereka bukanlah pemegang otoritas moneter. Tetapi jika BI, sebagai pemegang otoritas moneter, juga ikutan berpendapat amburadul, itu suatu tanda jaman yang kurang menyenangkan. Tanda-tanda bahwa keadaan kita sudah gawat sekali.

Gubernur BI, waktu itu dijabat oleh Dr. Soedradjad Djiwandono, dalam ceramahnya pada acara wisuda Ubika Atma Jaya, 4 Desember 1996, mengemukakan beberapa pertanyaan di bawah ini. (1) suku bunga pinjaman bank memang terlalu tinggi .., namun ketatnya persaingan antar bank merupakan salah satu faktor yang membuat suku bunga sulit turun dari sekitar 14%-17% sekarang ini; (2) ketika bank-bank swasta diam-diam menaikkan suku bunga, kenapa (sekarang) mesti diperintahkan untuk menurunkannya?; (3) penentuan persisnya suku bunga itu sangat sulit dilakukan…. partisipasi para nasabah diharapkan dalam penurunan suku bunga, tetapi mereka cenderung memilih bank yang mematok suku bunga tinggi; (4) alotnya penurunan suku bunga simpanan, pinjaman, dan sebagiannya memang karena beban kredit macet, tapi faktornya bukan itu saja; (5) perekonomian kita hitam atau putih…. kalau anda tanyakan berapa suku bunga yang persis, anda jawab sendirilah.

 

2.11. Kebijaksanaan Moneter

Tidak etis, dan barangkali juga akan menyinggung perasaan, bila dikatakan betapa hampanya analisis moneter dalam pernyataan Gubernur BI tersebut. Tetapi begitulah kenyataannya. Tidak satu pun konsep maupun argumentasi sebab-akibat analisisnya berdasarkan teori moneter. Lebih dari itu, Gubernur BI juga menunjuk penyebab suku bunga yang terlalu tinggi pada pihak yang tidak bersalah, yaitu perbankan, termasuk nasabahnya. Nyatanya, penyebabnya justru BI sendiri. BI tidak memahami lagi fungsinya yang fundamental. Mestinya, dalam perkara tersebut, BI berfungsi sebagai Bank sentral. Sebagaimana Bank Sentral negara lain, BI merupakan satu-satunya lembaga yang menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas kebijakan moneter, termasuk penentuan tingkat suku bunga berkaitan erat dengan penentuan jumlah uang beredar,fungsi utama BI.

Peranan kebijakan moneter Bank Sentral dalam perekonomian sungguh sangat penting karena ikut menentukan kestabilan seluruh perekonomian. Sedemikian pentingnya, sampai-sampai para ekonom yang dikenal sebagai pengikut mazhab moneteris, memberinya tempat yang dominan, dan menomorduakan kebijaksanaan yang lain, yaitu kebijaksanaan fiskal.

Undang-Undang BI 1968, pasal 7, meyebutkan bahwa tugas pokok Bank Sentral adalah (a) mengatur, menjaga, dan memelihara kestabilan nilai rupiah, (b) mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat. Pasal 32 undang-undang tersebut juga menyebutkan ketentuan pelaksanaan tugas pokok pasal 7 tadi. Bunyi ketentuan itu adalah BI “menetapkan tingkat dan struktur bunga”.

Di Amerika Serikat, tingkat suku bunga yang ditentukan oleh Bank Sentral, dalam hal ini Federal Reserve Bank, sangat menentukan peredaran uang. Demikian pula di Filipina, Korea, Malaysia, atau Thailand. Di negara-negara ini suku bunga merupakan instrumen moneter yang sangat ampuh.

Kebijaksanaan BI menentukan tingkat suku bunga bisa dianalogikan dengan penentuan harga beras oleh BULOG. BULOG menentukan patokan harga beras dengan mempertimbangkan faktor-faktor perekonomian makro yang tidak dipertimbangkan para pencari laba. Beberapa di antaranya adalah pembangunan sektor pertanian, termasuk kepentingan para petani, dan biaya hidup perkotaan.yang hendak dikatakan dengan analogi ini, BI juga harus patokan suku bunga makro. Dengannya BI bisa mencegah gejolak dan distorsi suku bunga karena persaingan bank dan mengatur peredaran uang.

Rupanya, anggapan bahwa setiap arus pertambahan uang beredar yang deras sebagai momok inflasi, sudah mentradisi dalam tubuh BI. Menurut BI, inflasi ditentukan oleh indeks biaya hidup. Namun nyatanya, pernahkah atau bisakah BI menanggulangi inflasi dengan menjalankan tindankan tight money policy di sektor biaya hidup? Pasti tidak, inflasi bukan ditentukan oleh biaya hidup yang cakupannya terbatas pada barang-barang konsumsi rakyat kecil saja, melainkan oleh harga seluruh pasar barang dan jasa. Bisa kita simak dengan lebih teliti, akan terlihat bahwa BI sama sekali tidak menjalankan kebijakan uang

ketat apa pun. Hal ini bisa kita lihat pada tabel berikut.

Tabel : 2.3

Alat Likuid, Total Kredit, dan Peredaran Jumlah Uang (Dalam trilyun Rupiah)

 

Ta-hun 

Alat likuid yang dipelihara bank 

Alat Likuid yang berlebihan 

Total Kredit

Perbankan 

Peredaran 

M1 

M2 

1991 

1,5 

1,3 

112,8 

26,3 

99,1 

1992 

1,8 

1,5 

122,9 

28,8 

119,1 

1994 

2,6 

1,1 

188,9 

45,4 

174,5 

1995 

3,5 

1,2 

234,6 

52,7 

222,6 

1996 

6,9 

4,6 

292,9 

64,1 

288,6 

Sumber: BI, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, 1997.

Kendati peredaran uang diperketat, seperti yang dikemukakan Gubernur BI, perbankan mengalami kelebihan likuiditas yang sangat tinggi. Kredit perbankan dan uang yang beredar, M1 dan M2, juga terus meningkat. Sekiranya BI benar-benar menjalankan pengketatan uang, ketiga faktor inilah yang seharusnya terkena dampaknya. Nyatanya, lonjakan peredaran uang tidak menyebabkan inflasi yang murni (kenaikan tingkat harga barang-barang keseluruhan), karena harga barang berkembang wajar-wajar saja sesuai dengan laju pertumbuhan produk nasional.

 

2.12. Persaingan Bebas

Masalah persaingan bebas, rasanya perlu dibicarakan di sini karena kelihatannya pemerintah sudah sepakat menjadikannya sebagai dasar kebijakan seluruh perekonomian, termasuk sektor perbankan. Persaingan bebas dilandasi paham laissez faire laissez passer, kebebasan penuh untuk berbuat sesukanya. Oleh pemerintah, kebebasan dianggap modus yang paling efektif untuk menciptakan manusia-manusia inovatif yang mau berkarya dan berani menanggung resiko. Dengan kebebasan itu pula “meritokrasi” pribadi bisa digembleng hingga berubah menjadi bermanfaat sosial.

Persaingan bebes menjadi modus yang efektif dan menguntungkan masyarakat hanya apabila produsen sedemikian banyaknya, sampai-sampai tiap-tiap produsen tidak mampu mempengaruhi tingkat harga. Persaingan bebas ini justru akan merugikan jika terjadi sebaliknya, yaitu jumlah produsen yang sangat terbatas sehingga tiap-tiap produsen akan berkuasa penuh dalam menentukan harga. Dalam kondisi seperti itu persaingan bebas hanya akan melahirkan pasar yang bersifat oligopolistis bahkan monopolistis. Pasar oligopolistis ataupun monopolistik umumnya menimbulkan distorsi harga produksi, distribusi pendapatan, berikut segala dampaknya. Itulah sebabnya pasar yang demikian itu selalu memerlukan bimbingan, pengawasan, bahkan pengendalian pemerintah dalam batas-batas tertentu, tanpa harus terjadi sentralisasi perekonomian, seperti pada perekonomian sosial komunis.

Pasar perbankan di Indonesia juga bersifat oligopolistis. Karena itu, seharusnya BI juga mengendalikan tingkat suku bunga tetap pada tingkat yang paling menguntungkan seluruh perekonomian. Bagi perbankan, yang terpenting sebenarnya bukanlah tinggi rendahnya suku bunga, melainkan rentang (spread) antara suku bunga tabungan dan kredit. Bank yang efisien, bukan bank berbiaya dan berlaba tinggi, akan sanggup menciptakan keuntungan dalam jangka pendek

Suku bunga tinggi umumnya terjadi dalam perekonomian yang masih terbelakang, misalnya perekonomian masyarakat pedalaman. Hal itu karena kemampuan menabung masyarakatnya sangat rendah., sehingga untuk meningkatkan kemampuan tersebut diperlukan rangsangan dan dorongan. Suku bunga tinggi juga terjadi bila perekonomian dilanda inflasi, seperti pada jaman ORLA dan Permulaan ORBA.

Saat ini Indonesia sudah masuk jajaran the newemerging industrializing countries, pertanda perekonomian kita sudah berkembang. Tetapi suku bunga tetap dipertahankan tinggi sehingga para penabung memperoleh rejeki nomplok.

Tabel : 2.4

Rata-rata suku bunga

Pinjaman berbagai Negara (dalam persen)

 

Jakarta

 

18,00

Manila

 

13,50

Bangkok

 

13,25

Seoul

 

10,95

Sydney

 

10,50

Taipe

 

9,25

Kuala Lumpur

 

9,25

Hongkong

 

8,50

New York

 

8,25

Singapura

 

6,44

Tokyo

 

2,70

 

Sumber : The Business Times, 1997

 

Bila dilihat dari tabel di bawah, suku bunga di Jakarta tertinggi dibanding dengan suku bunga yang berlaku di ibu kota beberapa negara Asia. Itu terjadi karena BI tidak mengendalikan tingkat suku bunga. BI justru membiarkan tingkat suku bunga ditentukan oleh persaingan bebas perbankan yang oligopolistis.

Mestinya tingkat suku bunga bisa diturunkan dengan menambah suplai uang. Namun, BI tidak kunjung melakukannnya, karena selama dua tahun terakhir tiba-tiba saja peredaran uang melonjak. Sesuai dengan tradisinya, lonjakan ini otomatis dianggap BI sebagai gejala inflasi yang harus dikekang.

Lonjakan ini memang di luar kemauan BI, namun bukan berarti BI tidak tahu menahu. Lonjakan peredaran uang saat itu sebanding dengan investasi yang semakin semarak. BI membiarkan investasi tersebut didanai oleh luar negeri.

Karena itu, tindakan yang dilakukan BI dengan mengekang peredaran uang, sungguh tidak tepat. Terjadi “anomali” dengannya. Seharusnya, tindakan pengekangan dilakukan terhadap investasi, sumber penyebab inflasi, bukan pada peredaran uang yang hanya merupakan gejala inflasi. Tindakan pengekangan yang tidak pada tempatnya ini kemudian berakibat fatal, yaitu menimbulkan ketidak seimbangan neraca pembayaran Indonesia.

 

2.13. Bagaimana Tingkat Suku Bunga Terbentuk?

Tingkat suku bunga dipengaruhi oleh jumlah uang beredar. Bila uang beredar diperlonggar, suku bunga akan cenderung menurun. Bila uang beredar diperketat, suku bunga akan meningkat. Di negara-negara yang pasar keuangannya sudah maju, suku bunga juga ditentukan melalui perdagangan alat-alat finansial, misalnya dalam operasi pasar terbuka. Pembelian surat-surat berharga oleh Bank Sentral membuat harga surat-surat tersebut cenderung naik, dan suku bunga akan turun.

Menentukan suku bunga makro bukanlah persoalan yang sederhana seperti menentukan harga sebuah meja di toko. Suku bunga makro selalu ditentukan dengan menggunakan model IS-LM. Model ini adalah model perkawinan antara keseimbangan di dua sektor, moneter dan riil.

Keseimbangan moneter terjadi jika permintaan (L) sama dengan penawaran (M). Menurut teori moneter, penawaran uang ditentukan Bank Sentral, berdasarkan rumus M =mR. Bila Bank Sentral menambah suplai uang, misalnya dengan menaikkan pengeluaran untuk gaji, maka pertambahan tersebut harus cocok dan seimbang dengan pertambahan permintaan likuiditas. Tambahan permintaan likuiditas dipergunakan untuk menambah uang transaksi, untuk jaga-jaga, dan untuk spekulasi.

Keseimbangan sektor riil terjadi apabila investasi seimbang dengan tabungan, I = S. Keseimbangan perekonomian atau keseimbangan Y tercipta bilamana sektor moneter seimbang dengan sektor riil. Keseimbangan kedua sektor tersebut menjadi satu dengan tingkat suku bunga. Oleh sebab itu suku bunga berplilaku sebagai pengikat keduanya. Bila suku bunga lebih tinggi atau lebih rendah dari suku bunga yang satu tadi, menandakan masih ada gangguan dalam perekonomian. Gangguan perekonomian bisa karena gejolak dan distorsi pada investasi, tabungan, suplai uang, ataupun pada permintaan likuiditas.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa suku bunga dan suplai uang terbentuk dari dua sumber kekuatan yang berlainan. Suku bunga terbentuk dari kekuatan penawaran dan permintaan uang, sehingga disebut terbentuk secara endogen. Di sisi lain, suplai uang terbentuk dari otonomi Bank Sentral. Dalam kasus ini, BI-lah sumber kekuatannya, sehingga disebut kekuatan eksogen (kekuatan selain kekuatan mekanisme pasar).

BI memiliki dua cara untuk menciptakan keseimbangan ekonomi, yaitu dengan menentukan suplai uang seperti dalam uraian di atas, atau dengan menentukan tingkat suku bunga. Keduanya tidak bisa dipakai secara serentak, harus dipilih salah satu. Bila BI memilih menentukan tingkat suku bunga, suplai uang akan dibiarkan berkembang secara endogen. Sebaliknya, bila yang ditentukan adalah suplai uang, suku bunga akan berkembang secara endogen.

Perubahan suplai uang ataupun tingkat bunga, baik secara eksogen ataupun endogen, selalu terjadi menurut model IS-LM. Ambil misalnya pada saat BI meningkatkan suku bunga. Kenaikan suku bunga mendorong penurunan investasi, sehingga pendapatan nasional pun cenderung menurun. Karena pendapatan nasional turun, permintaan uang juga turun sehingga suplai uang akan iku turun. Model inilah yang menjadi dasar penentuan suplai suang dan tingkat bunga oleh pemegang otoritas moneter.

 

2.14. Lumpuhnya Kebijaksanaan Moneter BI

Undang-undang Pokok Bank Sentral negara mana pun, kecuali Indonesia, secara jelas mencantumkan rumusan mengenai tanggung jawab Bank Sentral terhadap penentuan peredaran uang dan suku bunga. Undang-undang Pokok Bank Sentral Filipina no.265, 1973 misalnya, menyebutkan antara lain sebagai berikut.

1). Dewan moneter Bank Sentral Filipina wajib menetapkan suku bunga dan diskon yang dikenakan Bank Sentral atas operasi kreditnya, setelah mempertimbangkan keperluan pasar kredit, komposisi portofolio Bank Sentral serta keperluan kebijaksanaan moneter nasional.

2). Dewan moneter dapat menetapkan tingkat suku bunga maksimum yang dikenakan bank pada deposito….

3). Bila Dewan moneter menganggap perlu mencegah dan menekan inflasi, maka Dewan dapat menentukan plafon kredit dan investasi yang dilakukan bank.

4). Operasi Pasar Terbuka dilakukan Bank Sentral demi tercapainya tujuan kebijaksanaan moneter nasional. Oleh karena itu, pada waktu inflasi, Bank Sentral tidak boleh melakukan pembelian dalam Operasi Pasar Terbuka.

5). Bank Sentral melakukan rediskon, diskon, kredit, dan volume panjar bagi bank-bank dalam rangka mengawasi volume, biaya, dan kredit perbankan.

Undang-undang Pokok Bank Sentral Korea menyebutkan antara lain sebagai berikut.

 

1). Dewan moneter dapat menetapkan Cadangan Wajib perbankan (minimum ratio reserves to deposits). Rasio tersebut tidak boleh melebihi 50%.

2). Dewan moneter dapat menetapkan suku bunga maksimum yang dikenakan perbankan atas berbagai jenis kredit.

3). Pada situasi peredaran uang yang sangat pesat, Dewan moneter dapat menetapkan plafon kredit dan investasi perbankan.

4). Bank Sentral dapat menolak permohonan kredit perbankan padanya, bila kredit bersangkutan dianggap akan memberikan tekanan atas peredaran uang.

5). Bank Sentral dapat melakukan Operasi Pasar Terbuka bila terjadi ekspansi moneter dan melakukan pembelian pada waktu kontraksi uang.

6). Bank Sentral dapat merubah rediskon dan tingkat suku bunga yang dikenakannya atas pemberian kreditnya kepada bank-bank. Bank sentral menetapkan pula plafon kredit dan investasi perbankan.

Undang-undang pokok Bank Indonesia tidak mengemukakan uraian secara eksplisit. Bisa jadi inilah yang mengakibatkan pelaksanaan kebijaksanaan moneter di Indonesia tidak efektif seperti beberapa contoh berikut.

Kerap kali Gubernur Bank Indonesia (BI) mengatakan BI menjalankan Tindakan Moral Perbankan (TMP), tanpa pernah menjelaskan instrumen yang dipakai dan hasil yang konkrit dari TMP tersebut. Moral suasion BI agar bank-bank mengerem kreditnya, juga belum membawa hasil. Kredit macet semakin banyak dan kredit properti tetap saja mengucur.

BI juga sering mengatakan telah melakukan Operasi Pasar Terbuka (OPT) untuk mengatasi laju inflasi dan resesi. Tetapi OPT yang dilakukannya tidak ubahnya dengan perdagangan surat-surat berharga biasa, tidak seperti di negara lain. Di India dan Malaysia misalnya, OPT selalu dilakukan di luar saat jatuh tempo surat berharga yang diperdagangkan. Tingkat diskonto yang dipakai selalu berubah-ubah, sesuai dengan volume peredaran uang yang ditargetkan Bank Sentral. Berbeda dengan itu, BI tidak pernah membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) sebelum jatuh tempo. Tingkat diskonto dibiarkan tetap saja, tidak pernah diubah oleh BI untuk me ngikuti suatu rencana peredaran uang tertentu. Jumlah surat berhagra yang diperdagangkanpun tidak cukup banyak, sehingga pengaruhnya terhadap suplai uang hampir tidak ada, karena masing-masing saling meniadakan. Karena itu, bisa dikatakan OPT yang dilakukan BI tidak memiliki pengaruh apa pun terhadap inflasi atau resesi.

BI telah membuat blunder besar dengan mengeluarkan Pakto 1988 yang justru menimbulkan kondisi inflasi. Inflasi terjadi karena bank-bank bisa mengobral kredit setelah cadangan wajib ditetapkan hanya 2%. Pada 1996 rupa-rupanya Gubernur BI ingin mengoreksi blunder yang telah dibuatnya itu dengan menaikkan cadangan wajib menjadi 3% dan menjadi 5% per April 1997. Mengapa BI menetapkan cadangan wajib begitu rendah (3% atau pun 5%), tidak bisa diterima akal sehat. Cadangan wajib Amerika Serikat dan Korea Selatan ditentukan sebesar 20% dan 50%. Mengapa pada saat itu BI justru menaikkannya dari 2% menjadi 3% dan per April 1997 menjadi 5%, juga tidak bisa dimengerti. Menaikkan cadangan wajib berarti menaikkan suku bunga yang waktu itu, menurut Gubernur BI sendiri, sudah terlalu tinggi.

Jadi, apa yang dikatakan Gubernur BI selama ini sebagai sikap hati-hati, sebenarnya hanyalah sikap ketakutan belaka karena tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan efektif. Sikap tersebut membuat BI lumpuh total. Terlalu sibuk mengurus soal teknis operasional perbankan dan melupakan tugas menjalin hubungan intrinsik moneter. Seyogianya BI menyadari bahwa yang diperlukan dirinya adalah kepemimpinan monetaris, bukan organisatoris.

 

2.15. Jalan Keluar

Titik keseimbangan kurva IS dan LM negara yang sudah maju terjadi pada

saat kurva LM masih cukup elastis dan kurva IS inelastis terhadap suku bunga.

Grafik 2.1

Hubungan Tingkat Bunga dan Pendapatan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dalam kondisi ini, mendorong investasi tidak hanya cukup dengan kebijakan moneter, misalnya penurunan suku bunga. Stok modal mereka sudah sedemikian tinggi hingga perbedaan antara Marginal Effesiency of Capital (MEC) dengan suku bunga semakin kecil. MEC sendiri hanya bisa didorong naik dengan inovasi proses produksi dan sumber produksi yang baru, dan sebagainya.

Sistem moneter Indonesia masih dangkal, bahkan cenderung mundur dalam beberapa tahun terakhir ini. Oleh sebab itu, kurva IS apalagi LM Indonesia seperti tertera pada grafik 2.1 di atas masih cukup elastis. Sayang monetary mismanagement BI telah menyebabkan kedua kurva ini menjadi inelastis, sehingga mendorong swasta memperoleh suplai uang dari luar negeri.

Sebenarnya, inelastisitas kedua kurva ini masih bisa diubah, dan investasi bisa dinaikkan dengan menurunkan tingkat suku bunga. Untuk itu BI harus mengubah sikapnya selama ini dengan sadar mengunakan wewenangnya untuk menurunkan tingkat suku bunga. Jika suku bunga sudah diturunkan, investasi akan meningkat. Kenaikan pendapatan, pada akhirnya, akan meningkatkan permintaan dan suplai uang.

Akan sangat realistis apabila saat ini BI menentukan suku bunga simpanan tidak lebih dari 8%, sambil pemerintah mengusahakan agar tingkat inflasi biaya produksi (bukan pada indeks biaya hidup rakyat kecil) tidak melampaui 5%. Pada kondisi ini suku bunga riil akan cukup tinggi sehingga mendorong masyarakat untuk menabung. Kurs rupiah seyogianya dipatok pada kurs yang sedang berlaku agar biaya produksi tidak ikut naik akibat kenaikan kurs. Suku bunga pinjaman perbankan juga disesuaikan dengan tingkat diskonto BI, dan diusahakan supaya tidak melebihi 11%. Sekalipun rendah, tingkat suku bunga 11% masih memberikan spread yang menguntungkan bagi perbankan. Berkurangnya pendapatan bunga dari para debitur dikompensasi dengan pembayaran bunga yang rendah kepada deposan, nasabah dan Bank Sentral. Dengan cara ini BI benar-benar bertindak sebagai banker’s bank melalui cheap money policy. Seandainya perluasan peredaran uang ini menimbulkan ancaman inflasi, maka harus menggunakan reserve ratio (rr) sebagai instrumen yang aktif untuk mengawasi kegiatan perbankan. Itu berarti rr 5% harus dinaikkan pada tingkat yang memadai. Perlu juga diingat bahwa kenaikan harga akibat perluasan peredaran uang tidak otomatis merupakan gejala inflasi. Kenaikan itu bisa juga menjadi boom conditions yang menguntungkan pengusaha.

Monetary mismanagement BI selama ini telah menyebabkan subtitusi dana dalam negeri, akibat dana dari luar negeri, hingga menimbulkan tragedi nasional: Indonesia menjadi negara penghutang devisa terbesar kedua di dunia. Dengan cheap money policy, BI sebenarnya dapat meniadakan kerugian substitusi tadi dan sekaligus menghentikan segala bentuk pinjaman luar negeri swasta.

BI tidak perlu ragu berkonsultasi dan meminta bantuan pada International Monetary Fund (IMF) untuk merumuskan studi yang komprehensif, dan langkah konkret yang harus diambil, untuk mengatasi kemelut keuangan dan devisa dewasa ini. Kemelut sebagai cerminan goncangnya fundamental-ekonomi Indonesia ini akan memuncak bila kelumpuhan BI dibiarkan berlanjut terus.

Dalam jangka panjang, kelumpuhan BI bisa diatasi bila Undang-undang BI 1968, yang sangat ketinggalan jaman itu, diubah secara fundamental. Undang-undang perbankan hasil perubahan UU Bank 1968 yang berlaku sekarang ini, juga masih memerlukan pembaruan kembali. Dengan menjamurnya jumlah bank di Indonesia, bank-bank mengalami diseconomies of scale, karena aset moneter dan keuangan sangat tersebar tipis untuk semua bank. Di lain pihak, orientasi aset fisik perbankan terletak pada investasi dalam perusahaan-perusahaan konglomerasi milik pribadi-pribadi.

Yang diuraikan di atas baru tadi, menunjukkan salah satu kelemahan fundamental BI. Masih banyak lagi kekurangan BI yang lain. Beberapa di antaranya adalah menyangkut tugas dan perluasan personalia Dewan Moneter, koordinasi kebijaksanaan moneter dan fiskal, pengendalian peredaran uang dan kredit perbankan, penentuan suku bunga atas pelbagai alat moneter dan finansial, serta pengendalian devisa dan neraca pembayaran.

 

2.16. Krisis Moneter

Perekonomian Indonesia diterpa krisis moneter, manakala ekonomi sedang berkesinambungan, otoritas moneter menganggap kemelut tersebut sebagai “wabah mata uang”, yang mengimbas (contagion) ke beberapa negara ASEAN, Korea Selatan, dan Jepang, seperti flu Hongkong. Para spekulan mata uang dari luar negeri dituduh sebagai dalang semua kekacauan ini.

Kemelut yang muncul seperti wabah ini, mengesankan bahwa penyakit yang kita hadapi sama dengan yang mereka hadapi. Memang, masalah pokok di negara-negara ini adalah kekurangan devisa. Permasalahan ini muncul, salah satunya, karena hutang luar negeri yang jumlahnya cukup besar, jatuh tempo secara bersamaan.

Kendati demikian, tiap negara memiliki cara yang berbeda-beda dalam menangani masalah ini, sehingga tingkat kerusakan yang diderita pun berbeda. Dalam hal penurunan mata uang, misalnya, bath merosot sampai 50%, ringgit 40% sementara rupiah mencapai 80%.

Dari beberapa negara yang terkena krisis moneter, Indonesia adalah yang paling parah. Karena kurs dollar terhadap rupiah semakin membumbung, banyak perusahaan semakin tidak berdaya. Bukan hanya perusahaan besar saja yang harus gulung tikar, perusahaan tahu tempe juga terancam bangkrut. Akibatnya, pengangguran menjadi-jadi. Pemerintah memperkirakan pengangguran saat ini telah mencapai 7-8 juta orang. Langkanya pasokan barang di pasaran menyebabkan harga-harga melonjak. Pada Januari 1988, inflasi mencapai 6%.

Menghadapi segala kemelut ini, otoritas moneter, pihak yang sebenarnya paling dekat dengan sumber permasalahan, terlihat belum menangani semua permasalahan ini secara serius. Otoritas moneter bukannya menangani sumber penyakitnya secara tuntas, melainkan justru berkutat pada usaha-usaha untuk mengatasi gejala penyakitnya.

 

2.17. Bantuan IMF

Apakah kita bisa mengelus dada lega untuk melihat keroyalan IMF menyediakan dana bantuan sebesar US $ 23 milyar, yang bila ditambah dengan bantuan beberapa negara lain (multilateral) jumlahnya menjadi US$43 milyar? Dana bantuan sebesar itu sama jumlahnya dengan dua kali persediaan devisa Indonesia dewasa ini, atau dalam leksikon BI sebanyak 1 ¼ tahun impor.

Dana raksasa sebesar US$43 milyar tadi mencerminkan betapa dhasyatnya kemelut moneter di Indonesia sekarang ini. IMF memperkirakan krisis tersebut akan berlanjut dua hingga tiga tahun mendatang. Selama kurun waktu itu, di mana dana siaga IMF bisa kita pakai, pemerintah tidak cukup hanya menangani masalah kurs rupiah, SBI, pengetatan uang, likuidasi perbankan, atau perbaikan tata niaga segelintir komoditi. Pemerintah harus meneropong persoalan tersebut dari perspektif transformasi ekonomi dan moneter dalam arti luas, jauh ke depan; yang tentu saja memakan waktu dua hingga tiga tahun. Lewat langkah transformasi tersebut, perekonomian kita diharapkan akan berada dalam rel produksi yang efisien dari persaingan global yang sehat. Bila kita telaah lebih dalam, krisis moneter-tanpa disadari-adalah ciptaan otoritas moneter sendiri.

Paket bantuan IMF tetapi diikat oleh suatu caveat emptor, di situ IMF membebaskan diri dari segala tanggung jawab atas semua hasil usaha penanggulangan kemelut moneter dewasa ini. Caveat tersebut merupakan akibat logis dari sikap otoritas moneter yang ingin menjadi raja di rumah sendiri, tidak ingin digurui apalagi didikte oleh syarat-syarat yang mengikat, dan keharusan menjalankan tindakan-tindakan seperti yang ditentukan oleh IMF. Akibatnya, team IMF menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu yang amat singkat, dan hanya menggariskan tindakan-tindakan umum. Seluruh pelaksanaannya dipercayakan pada pemerintah. Walaupun demikian, hal tersebut tidak mengurangi keikhlasan IMF menyediakan dana siaga tadi.

Persoalannya, apakah otoritas moneter sanggup memanfaatkan dana tersebut? Rasanya meragukan, terlebih bila memperhatikan pengalaman selama ini, pada saat tindakan kebijakan otoritas moneter tanpa koordinasi.

Harus disadari bahwa pengucuran dana siaga yang begitu besar jumlahnya itu menurut berbagai macam persiapan. Salah satunya, pemerintah harus membuat pola dan model pendekatan untuk mengatasi kemelut moneter, berikut langkah-langkah kebijakan yang bertalian. Ibarat seorang desainer, pemerintah harus terlebih dahulu mempersiapkan patron sebelum melakukan pengguntingan bahan pakaian.

Agar penggunaan dana siaga tersebut berjalan dengan baik, diperlukan rumusan model moneter beserta tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mencapai sasaran-sasaran yang diinginkan. Tindakan yang dilakukan harus logis, ilmiah, dan objektif (tidak ada pendiktean), sehingga menjadi terpadu dan terkoordinasi. Mempersiapkan model, rincian tindakan, dan sasaran memakan waktu paling cepat tiga hingga empat bulan, sekalipun dilakukan oleh team ahli dan IMF atau lembaga keuangan internasional lainnya.

Sebelum mengucurkan bantuannya, IMF pasti akan menagih model pendekatan bersangkutan. Model tersebut digunakan sebagai dasar acuan dalam perundingan Indonesia dengan IMF, sekaligus merupakan medan adu argumentasi bagi tepat tidaknya jumlah bantuan yang dibutuhkan.

Secara eksplisit otoritas moneter tidak menginginkan IMF ikut serta menyusun model yang dimaksud. Tentu saja tugas tersebut akan menjadi tantangan berat, karena ototritas moneter terbiasa menjalankan kebijaksanaan moneter dan fiskal secara terpisah-pisah, tanpa arah dan kendali. Di bawah ini contoh-contoh kebijakan otoritas moneter tersebut.

Pertama, langkah mengambangkan rupiah sejak agustus 1997 sebenarnya tidak perlu terjadi. Terlalu panjang dan memakan waktu untuk menjelaskannya. Cukuplah dicatat bahwa terdepresiasinya rupiah dari Rp 2.500,- menjadi Rp 3.500,-/US$ dalam tempo dua bulan, telah mengalihkan persoalan kurs menjadi masalah resesi industri. Resesi industri, pada gilirannya, akan menurunkan laju pertumbuhan pendapatan nasional 1997.

Usaha untuk mengatasi resesi tadi, nampaknya, bukanlah dengan memperketat likuiditas, melainkan dengan memperluas likuiditas dan menurunkan suku bunga secara drastis. Dalam pada itu, BI menganggap suku bunga SBI-lah yang menentukan suku bunga kredit perbankan, padahal ketika BI melonjakkan suku bunga SBI, kemudian menurunkannya kembali empat kali berturut-turut, suku bunga perbankan tetap saja tinggi. Akibatnya, banyak industri yang menderita, bahkan terancam gulung tikar. Namun demikian, BI membiarkan saja nasib industri-industri tersebut bertambah parah, dan krisis moneter berlanjut terus!

Kedua, Paket Peraturan 3 November 1997 di sektor riil sama sekali tidak ada dampaknya atas krisis moneter atau kemelut neraca pembayaran.

Ketiga, tindakan otoritas moneter melikuidasi 16 bank tidak jelas orientasinya, baik dalam rangka penanganan kemelut moneter maupun reformasi sistem perbankan. Kriteria untuk melakukan likuidasi tersebut kabur total, dan membuat tindakan bersangkutan cacat hukum. Likuidasi tersebut merupakan contoh par excellence dari pengobatan yang tidak sesuai dengan penyakitnya. Semua mengetahui keenam belas bank yang dilikuidasi mempunyai masalah masing-masing. Namun masalah tersebut tidak ada artinya dibandingkan dengan akibat luas dari tindakan likuidasi tersebut. Alasan BI melakukan likuidasi terhadap bank-bank tersebut adalah gara-gara mereka sering melanggar patokan tertentu yang ditetapkan BI (legal lending limit, capital adequacy ratio), terlambat melaporkan laporan keuangan, atau menyusun laporan keuangan fiktif. Pelanggaran semacam ini memang layak mendapat hukuman, yaitu dikenai denda setinggi-tingginya. Kiranya ada tindakan kriminal oleh direksi perbankan, masalah tersebut bukan lagi urusan BI, tetapi urusan kepolisian dan kejaksaan. Rupanya otoritas moneter tidak menyadari lagi bahwa satu-satunya kriterium bagi likuidasi yang berlaku di negara mana pun adalah bank dinyatakan pailit atau bankrut menurut hukum, yaitu apabila bank bersangkutan tidak sanggup lagi menutup tagihan dari para nasabah dan krediturnya. Sesudah bank dinyatakan pailit, bank tersebut dilikuidasi dan ijin usahanya dicabut demi hukum. Likuidasi adalah tindakan hukum oleh pengadilan dan bukan tindakan moneter BI.

Tindakan likuidasi tersebut mematikan karya dan menghilangkan pendapatan ribuan karyawan bank yang sama sekali tidak berdosa. Perusahaan-perusahaan yang menjadi nasabah bank-bank tersebut akan terganggu, bahkan terhenti kegiatannya, yang pada gilirannya, akan mengganggu ekonomi para karyawan perusahaan tersebut. Rasanya di luar perikemanusiaan dan etika Hak Asasi Manusia (HAM) bila karyawan yang ribuan jumlahnya itu menjadi pengangguran yang dipaksakan otoritas moneter. Masih lebih tepat dan menguntungkan apabila otoritas moneter sendiri mengambil alih manajemen bank-bank sedang dalam likuidasi, dan memproduktifkan kembali peralatan modal, komputer, dan gedung-gedung yang sekarang ini idel saja. Transformasi dan reformasi kegiatan bisa saja dilangsungkan, sedangkan soal-soal kepemilikan diurus belakangan. Yang terpenting dijaga adalah penggunaan alat-alat dan tenaga produktif agar tidak dimandegkan begitu saja tanpa perhitungan.

Ketidakmampuan otoritas moneter menjalankan tugas fundamentalnya menjadi kabut yang sangat pekat, yang akan menutupi usaha memanfaatkan dana siaga IMF dalam menangani kemelut moneter dewasa ini. Sebagian besar tulisan dalam bab ini menunjukkan kelemahan otoritas moneter.

 

2.18. Currency Board System (CBS) Merugikan Indonesia

Menteri Keuangan (Menkeu) meyampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa pemerintah telah memutuskan hendak memberlakukan Currency Board System (CBS). Pernyataan tersebut sungguh mengejutkan dan terkesan terburu-buru. Betapa tidak. Pernyataan itu dikeluarkan Menkeu tanpa terlebih dahulu mendengarkan pendapat Gubernur BI, anggota Dewan Moneter. Menkeu juga terkesan mengabaikan IMF, kendati Indonesia telah menyerahkan Letter of Intent kepadanya pada 15 Januari 1998. Nampaknya, Menkeu sedang menghadapi dilema, sehingga harus menentukan jawaban secepatnya, guna mengatasi penderitaan rakyat yang semakin hari bertambah parah akibat krisis moneter dan ekonomi sekarang ini.

Entah suatu keberuntungan entah bukan, di luar dugaan, Prof Steve H Hanke dari Johns Hopkins University, USA, muncul membawa suatu formula yang dianggap mujarab, yaitu CBS. Prof Hanke mengungkapkan rahasia CBS yang telah berhasil diterapkan di berbagai negara. Karena itu, dia diterima sebagai sosok deus-ex-macina, yang membawa suatu sistem baru, sebagai panacea satu-satunya kemelut ekonomi Indonesia. Tanpa pernah sekalipun diragukan kredibilitasnya serta keahliannya, Prof Hanke diangkat sebagai penasehat Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEK).

 

2.19. Sistem Bank Sentral Indonesia versus CBS Hongkong

Sebelum membandingkan sistem Bank Sentral Indonesia dengan Sistem Dewan Mata Uang (Currency board – CB) Hongkong, perlu diingat kembali bahwa struktur dan sistem moneter finansial suatu negara, ditentukan oleh perkembangan ekonominya. Perkembangan ekonomi yang berbeda menciptakan sistem perbankan dan keuangan yang berbeda pula. Demikian pula dengan Indonesia dan negara-negara lain, seperti Hongkong. Selama ini, sistem perbankan dan keuangan Indonesia memakai sistem Bank Sentral, sedang Hongkong, akhir-akhir ini, menggunakan Sistem Devisa Dewan Mata Uang. Dalam percakapan sehari-hari, Sistem Dewan Mata Uang (SDMU) sering dikacaukan dengan Dewan Mata Uang (DMU). Kata “dewan” mengacu pada suatu badan, sedang “sistem” mencerminkan sebuah struktur maupun koordinasi di antara bagian-bagiannya, yang terjalin utuh sebagai kesatuan.

Sepintas lalu, sistem DMU bisa dikatakan cukup sederhana. DMU bertindak seperti suatu clearing house atas transaksi neraca pembayaran, dan berjalan secara otomatis, tanpa perlu koordinasi yang rumit. Perekonomian serta kegiatan perbankan yang dilayani umumnya kecil dan homogen, seperti yang terjadi di Hongkong.

Di negara ini, terdapat 70 bank dengan 431 cabang. Bank-bank tersebut sebagian besar adalah bank komersial dengan sistem universal banking. Lembaga Keuangan non-bank terbatas pada enam bursa efek yang terutama berkecimpung dalam transaksi securities dari Eropa dan Amerika. Bank-bank komersial berkonsentrasi melayani perdagangan luar negeri, termasuk perdagangan ekspor, mengingat industri Hongkong terspesialisasi pada ekspor. Sistem DMU dibentuk oleh tiga bank, yaitu Hongkong Bank, Bank of China, dan Standard Chartered Bank. Ketiga bank ini diberi wewenang untuk mencetak uang kertas (notes) untuk memenuhi permintaan likuiditas transaksi masyarakat.

Bertolak belakang dengan Hongkong, struktur perekonomian Indonesia sangat luas dan terdiversifikasi. Sedemikian luasnya sehingga memerlukan pembiayaan yang heterogen dari bank dan lembaga keuangan bukan bank. Investasi dalam negeri sangat dominan, dan merupakan sumber utama kredit serta alat-alat keuangan. Dalam keadaan semacam ini, peran Bank Sentral menjadi sangat strategis, bukan saja sebagai development agent, tapi sebagai pemrakarsa dan pendorong pembangunan di berbagai bidang. Bank Sentral juga menjadi lembaga pemberi kredit APBN pemerintah.

Dalam hal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Hongkong berbeda dengan Indonesia. APBN Hongkong didanai oleh sistem perpajakan dalam negeri, dan tidak bergantung pada penerimaan bea impor atau ekspor, mengingat Hongkong menganut sistem perdagangan bebas. Oleh sebab itu, di Hongkong, sumber yang mendominasi pemberian kredit dan peredaran uang adalah neraca pembayaran, bukan investasi, seperti di Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, Hongkong bisa memberlakukan model moneter yang sangat sederhana, yakni jumlah uang beredar ditentukan oleh koefisien tertentu dari pendapatan, atau M = kY (k = M/Y atau Marshallian k; M = uang beredar; Y = pendapatan). Tingkat suku bunga (i) tidak lagi menjadi persoalan seperti dalam sistem Bank Sentral, karena dapat dikuasai sepenuhnya oleh perbankan.

Di Indonesia atau negara-negara penganut sistem Bank Sentral, faktor (i) dikendalikan oleh Bank Sentral, bukan perbankan. Seperti telah dikupas pada bagian muka buku ini, tingkat suku bunga ditentukan oleh tingkat investasi dan tabungan di satu pihak, serta suplai dan permintaan uang di lain pihak. Karena itu, Bank Sentral juga perlu mengendalikan peredaran uang dan tabungan. Tabungan di Indonesia umunya disalurkan secara langsung dalam bentuk investasi, sementara di Hongkong, tabungan disalurkan melalui lembaga bank.

Pola konsumsi dan tabungan Hongkong dan Indonesia berbeda. Distribusi pendapatan Hongkong lebih merata dibandingkan dengan Indonesia. Pola konsumsi dan tabungan dapat diprediksi dengan mudah, karena tidak terlalu berfluktuasi. Setiap pendapatan yang tidak dikonsumsi otomatis menjadi tabungan, yang bisa dikonversikan dalam bentuk devisa dengan segera.

Persediaan devisa, per definisi, ditentukan oleh neraca pembayaran. Rumusnya adalah dD = X-M+K, dimana dD = pertambahan devisa; X = ekspor; M = impor; dan K = modal impor sektor non bank). Faktor K Indonesia bisa positif atau negatif, dan harus selalu diawasi, sementra faktor K Hngkong selalu negatif. Artinya, Hongkong bisa terus memupuk dan menimbun persediaan devisa, yang otomatis merupakan sumber pendapatan suku bunga devisa. Jadi, pemupukan devisa di Hongkong berlangsung otomatis, tanpa dimanipulasi dengan kebijakan kurs tertentu, entah itu fixed rate atau floating rate. Kurs dollar Hongkong dipatok secara permanen pada dollar Amerika secara administratif saja. Kurs administratif ini membuat dollar Amerika, mata uang jangkar (anchor), bisa bebas beredar di Hongkong dalam paritas yang tidak berubah.

Setelah Hongkong kembali kepangkuan Republik Rakyat Cina (RRC), dollar Hongkong dibiarkan berdiri sendiri. Prinsip yang dipakai adalah satu negara dua sistem mata uang dan dua otoritas moneter. Di RRC berlaku sistem BS, sementara di Hongkong tetap sistem DMU. Hal ini bisa kelihatan dalam beberapa artikel Hukum Dasar Hongkong yang berbunyi seperti pada nomor-nomor berikut ini.

Nomor    109 :    Status Hongkong dilindungi sebagi pusat finansial internasional

Nomor    111 : Mata uang sah adalah dollar Hongkong yang dilindungi oleh cadangan devisa 100%

Nomor     112:     Hongkong tidak memberlakukan pengawasan devisa    

Pada 1996, persediaan devisa Hongkong mencapai US$64 milyar atau 40% dari Gross Domestic Product (GDP). Persediaan devisa Indonesia, pada tahun yang sama, hanya mencapai US$20 milyar, tidak lebih dari 1% GDP. Jumlah ini pun bisa tercapai karena hutang devisa Indonesia US$ 137,424 milyar (per 31 Desember 1997).

Uraian di depan, jelas kiranya bahwa dilihat dari kaca mata moneter maupun fiskal, peranan Bank Sentral di Indonesia tidak mungkin digantikan oleh Dewan Mata Uang. Bila tokoh sistem DMU tetap dipaksakan, hanya akan membuat perekonomian Indonesia semakin parah.

 

2.20. Reformasi Total (In Optima Forma)

Reformasi yang digerakkan oleh para mahasiswa generasi 1998, memiliki kesamaan yang fundamental dengan revolusi 1945. Keduanya menciptakan pembaruan searah secara tiba-tiba, meski konsep perubahan tersebut dari semula tidak jelas. Keduanya menggambarkan tumbangnya Goliat raksasa di tangan Daud. Kekuasaan penjajah yang bercokol teguh selama lebih dari tiga abad, tumbang hanya dengan kekuatan bambu runcing; dan kekuatan raksasa yang selama tiga dasa warsa lebih leluasa menjarah kuasa politik, hukum, dan ekonomi rontok oleh aksi mahasiswa yang masih muda belia dalam pendidikan dan pengalaman.

Meski demikian, hingga sekarang, reformasi total belum terlaksana. Boleh dikatakan, turunnya presiden Soeharto secara paksa barulah 90% reformasi. Sisanya, masih saja sama di tangan pemerintah yang sekarang. Reformasi murni dan ikhlas bisa terselenggara bila sisa yang 10% tersebut dimatikan seluruhnya dan dikubur dalam-dalam agar tidak bisa dihidupkan dan dinikmati kembali. Pembaruan yang dijalankan pemerintah juga masih terbatas pada bidang politik dan hukum. Itu pun dilakukan dengan tidak transparan sehingga menciptakan keraguan yang sangat mendalam. Bidang ekonomi, terutama moneter, tetap belum tersentuh.

Menjadi sebuah pertanyaan, mengapa alam kemakmuran hasil pembangunan selama 30 tahun terakhir, sekonyong-konyong berubah menjadi penderitaan bagi rakyat? Lebih mengherankan lagi, mengapa penderitaan tersebut dibiarkan berlanjut seolah-olah tidak bisa dan tidak perlu dicegah. Krisis moneter saat ini telah merembet menjadi krisis ekonomi yang dengan cepat menyebabkan perekonomian pada ambang disintegrasi.

Mungkin pembaca akan terkejut mendengar bahwa sumber krisis moneter tersebut adalah Bank Indonesia (BI). Kelumpuhan BI telah menjadi pemicu perubahan wabah KKN, yang telah menyusup sampai di semua lapisan masyarakat, menjadi krisis moneter. Hal itu tampak menonjol dalam beberapa ilustrasi berikut.

2.21. Sektor Riil dan Sektor Moneter

Sektor riil meliputi semua kegiatan produksi dan distribusi barang dan jasa. Produksi berarti memadukan empat faktor produksi, yaitu tenaga kerja, barang modal, tanah, dan kewiraswastaan. Di dalamnya, uang hanya berfungsi sebagai factor cost, berupa upah, suku bunga, sewa tanah, dan laba.

Sektor moneter meliputi alat moneter seperti uang beredar (money in circulation) dan alat finansial, lembaga moneter, seperti bank, dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB). Sektor moneter berfungsi melayani sektor riil, hampir seperti fungsi minyak pelumas bagi seluruh mesin. Bedanya, uang tidak bersifat pasif seperti minyak pelumas, namun aktif dan dinamis menggerakan roda perekonomian sektor riil. Agar uang tidak menimbulkan gangguan dan menciptakan distorsi perekonomian, BI harus selalu menjaga agar semua perangkat moneter dalam keadaan seimbang. Keseimbangan yang diharapkan adalah keseimbangan moneter interen dengan eksteren dan keseimbangan antara sektor moneter dengan sektor riil.

Pernyataan Menkeu yang menekankan bahwa fundamental ekonomi Indonesia kuat dan tidak perlu diragukan tidak berlaku untuk sektor moneter. Sejak Pakto 1988 diterapkan, fundamental moneter menjadi rapuh sehingga menggerogoti fundamental sektor riil. Penggerogotan itu mencapai klimaksnya dengan timbulnya krisis moneter yang berawal pada pertengahan Juli 1997 lalu.

 

2. 22. Instrumen Moneter BI

Berbeda dengan sektor riil, tanggung jawab sektor moneter hanya berada

dalam satu tanaga, yaitu BI sebagai Bank Sentral. Tanggung jawab tersebut diterjemahkan dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan moneter BI.

Hubungan variabel moneter sangat kompleks dan multi dimensional, sehingga hubungan yang pasti tidak mudah diperoleh. Sebagai contoh, bila volume uang beredar ditambah, uang akan mengalir ke segala penjuru. Sukar untuk menentukan bagaimana dan seberapa besar dampak pertambahan uang tersebut terhadap produksi, konsumsi, inflasi, transaksi saham, ataupun kurs rupiah. Meski demikian, segala kerumitan itu bisa disederhanakan menjadi sebuah hubungan sebab akibat variabel-variabelnya. Untuk merumuskan bentuk hubungan itu, diperlukan kemampuan untuk melakukan analisis ilmiah berdasarkan teori moneter. Sayang, kemampuan itu sepertinya tidak dimiliki BI sehingga tindakan dan publikasinya tidak layak sebagai tindakan Bank Sentral.

Keputusan BI menaikkan suku bunga SBI menjadi ilustrasi yang cukup gamblang lemahnya analisis BI. Menurut BI, suku bunga tinggi akan menyedot uang yang saat ini berlimpah, sehingga mengurangi permintaan agregat terhadap valuta asing (valas). Dengan begitu, kurs rupiah diharapkan akan menguat dan laju inflasi bisa diturunkan. Kenaikan suku bunga juga diharapkan dapat memperbesar tabungan.

Keputusan maupun tujuan BI tersebut, semuanya melanggar asas dan prinsip moneter. Bila BI hendak mengurangi uang yang beredar, janganlah menggunakan SBI. Dalam taraf perkembangan perbankan sekarang ini, ada satu cara yang bisa dilakukan BI, yaitu mewajibkan bank memperbesar simpanan wajib (sw) melalui peningkatan reserve ratio (rr). Secara teknis moneter, hasilnya bisa diketahui dari adanya hubungan multiplier uang dan uang primer.

Perlu juga dicatat, sekalipun volume uang beredar dapat dikurangi, belum tentu hal itu dapat memperkuat kurs dan neraca pembayaran. Mengurangi permintaan agregat belum berarti mengurangi permintaan valas karena bisa saja permintaan valas dan kurs akan semakin menambah permintaan agregat.

Lebih fatal lagi adalah kekeliruan BI menganggap bahwa suku bunga yang lebih tinggi akan memperbesar tabungan. Mungkin tabungan pribadi bisa meningkat, namun tabungan makro pasti akan turun. Yang harus dijalankan sekarang justru bukan pengetatan uang dan suku bunga yang tinggi, tetapi cheap money policy dengan suku bunga sangat rendah. Itu diperlukan agar perekonomian kembali bergairah dan lapangan kerja semakin terbuka.

 

2.23. Peraturan-peraturan BI

Kelemahan dalam menjalankan instrumen moneter, rupanya mendorong BI mengalihkan perhatian pada peraturan. Sayang, seperti halnya dengan sistem deregulasi dan debirokratisasi, BI menetapkan peraturan dengan segera dan ad-hoc saja, tanpa terlebih dahulu meneliti kemgungkinan hasil yang akan dicapai. Peraturan yang dibuat umumnya hanya untuk menyelesaikan persoalan yang symptomatis, bukan persoalan mendalam dan fundamental. Alhasil peraturan tersebut telah berubah menjadi tujuan (ends) bukan sebagai alat (means).

Tindakan BI melikuidasi dan melakukan penyehatan terhadap beberapa bank merupakan ilustrasi yang cukup menarik. Secara umum bahwa Bank Sentral negara manapun tidak berwenang melikuidasi bank. Meski demikian, BI tetap saja melikuidasi bank tanpa memberi penjelasan. BI hanya menggunakan alasan pelanggaran administratif, bukan moneter, untuk mendukung likuiditas tersebut. Rupanya, BI tidak menyadari akibat tindakannya itu. Perbankan tidak hanya kehilangan peran sebagai lembaga perantara keuangan (disintermediasi), namun juga harus mengalami rush besar-besaran oleh nasabah sehingga memerlukan kucuran Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) sebesar Rp 120 Trilyun. Pengangguran menjadi semakin banyak, pendapatan semakin berkurang dan peralatan modal juga semakin non aktif.

 

2.24. Hutang Komersial Luar Negeri Swasta (off-shore loan)

Bisa dikatakan, dalam hutang inilah terletak sumber mala petaka moneter dan ekonomi Indonesia. Karena yang bertanggung jawab atas munculnya sumber mala petaka tersebut adalah BI, maka BI-lah yang harus dipersalahkan dan menjadi penyebab utama. Seandainya BI benar-benar mengemban tugasnya mengawasi perkembangan devisa dan neraca pembayaran, swasta tidak akan menjadi begitu leluasa dan sembrono mengambil pinjamn luar negeri.

BI merupakan satu-satunya lembaga yang bisa dan harus mengetahui ketika tidak tersedia dana valas ekstra di luar persediaan rutin, seperti yang terjadi pada awal 1998 ini. Hingga akhir maret 1998, pinjaman luar negeri yang harus dilunasi mencapai US$ 20 –30 milyar, melebihi jumlah persediaan devisa. Kebutuhan devisa demikian besar menyebabkan kurs rupiah semakin terpuruk.

Natura non facit saltum, begitulah yang dikatakan Alfred Marshall. Alam, demikian juga dengan hukum ekonomi, berjalan gradual. Begitu pula dengan pelunasan hutang luar negeri kita. Pelunasan itu sudah di luar batas-batas hukum ekonomi yang normal. Abnormalitas tersebut dengan sendirinya tercermin pada kurs rupiah yang melonjak hingga 2 kali lipat selama paro kedua 1997, dan hampir 5 kali lipat selama Januari – Juni 1998.

Akhir-akhir ini, Gubernur BI mulai angkat tangan kebingungan dan mengatakan tidak mengerti mengapa kurs rupiah bisa jatuh begitu tajam. Padahal, BI telah bersusah payah mengatur peredaran uang, SBI, suku bunga, likuiditas, dan disintermediasi perbankan.

Selain eksportir dan turis, tidak ada seorang pun yang tahan atas pukulan dahsyat kenaikan kurs dolar. Penderitaan mendadak muncul sewaktu Indonesia sedang menikmati kemakmuran dari perekonomian yang sedang tinggal landas. Harga impor menjadi sangat tinggi sehingga perusahaan yang bergantung pada bahan baku impor mulai berguguran. IPTN, yang 100% tergantung pada impor, juga pasti bangkrut. Begitu pula perakitan mobil dan krakatau steel. Perusahaan kecil pun tidak luput dari kenaikan ongkos produksi. Masalah PHK, jutaan pengangguran, turunnya pendapatan, naiknya harga sembako, obat-obatan, dan seterusnya, semuanya terpulang pada kurs rupiah.

 

2.25. Jalan Keluar

Hingga saat ini, pemerintah masih saja menempuh jalan berliku-liku yang justru untuk melindungi hutang swasta melalui moratorium. Pemerintah tidak menyadari bahwa penjadwalan kembali cicilan tetap membebani neraca pembayaran sehingga rupiah tidak mungkin menguat.

Salah satu jalan keluar dari bahaya disintegrasi perekonomian kita, BI harus menghapus seluruh pinjaman off-share swasta dari peredaran. Untuk maksud tersebut tidak ada jalan lain selain dengan menghapus semua investasi dan deposito para konglomerat di luar negeri. Rasanya tidak tepat, bila BI membiarkan para konglomerat menyimpan valas mereka di luar negeri, sementara negara sedang mengalami kekurangan devisa. Apalagi mengingat sifat valas yang fungible, sehingga bukan tidak mungkin pinjaman tersebut tersalur secara efektif untuk melunasi hutang swasta. Sebagai kompensasi penghapusan valas tersebut, BI membayar konglomerat bersangkutan dalam rupiah atau dalam bentuk saham dalam investasi

 

2.26. Peran IMF

Kendati keperluan valas sekarang ini sangat mendesak, pinjaman IMF tidak diperlukan, terutama karena saat ini kita semakin tercengkram hutang valas swasta dan pemerintah yang sudah tidak terbayar lagi.

Sangat meragukan penggunaan hutang raksasa US$ 43 milyar dari IMF. Perlu ditekankan bahwa pentingnya merumuskan sebuah model moneter sebagai plan of action penggunaan pinjaman IMF tersebut, dan sebagai pegangan dari terciptanya kelak dana ekstra bagi perluasannya. Keraguan semakin kuat, mengingat team IMF sendiri ternyata juga menyaksikan dan mendukung berbagai tindakan moneter BI yang sungguh sangat menyesatkan. Letter of Intent, sekalipun telah diperbaiki, sama sekali belum bisa menjadi pegangan bagi reformasi moneter dan restrukturisasi perekonomian.

 

2.27. Kesimpulan

Uraian di atas bisa disimpulkan bahwa segala kemelut perekonomian sekarang ini tidak lepas dari kesalahan yang dilakukan BI. Meskipun demikian, untuk keluar dari kemelut ini, tentunya diperlukan juga reformasi di bidang non ekonomi. Aliansi keduanya diartikan sebagai reformasi in optima forma atau reformasi total.

Sebagai akibat masih tersisanya pemerintahan sekarang dengan rezim lalu, reformasi in optima forma belum dan tidak mungkin terselesaikan secara tuntas oleh perangkat negara sekarang ini. Karena itu, diperlukan suatu wadah yang bisa menjadi saluran efektif dari suara-suara reformasi yang masih terus berlanjut. Hanya wadah inilah yang dapat mengisi kekosongan untuk menghilangkan kemacetan-kemacetan dewasa ini.